Sedih

10 0 0
                                    

Kakiku akhirnya berhenti di depan kursi taman sekolah, tempat Dirga pertama kali menawarkanku pulang.  Mengingat semua itu hatiku makin teriris, semua yang telah kami lakukan seperti debu, lenyap begitu saja dalam sesaat.

Air mataku tak berhenti mengalir, bahkan saat aku meminta untuk jangan keluar mereka tetap menetes. Perasaan ini..

Apakah ini yang dinamakan patah hati?

Aku baru menyukai Dirga, berbunga-bunga, nyaman, dan sekarang dengan cepatnya berubah menjadi sesakit ini?

Hiks

Hiks..

Ku gerakan tangan menutup kedua mata, agar wajahku tak tampak oleh orang-orang yang lewat. Untungnya taman ini berada dekat parkiran, jadi sedikit yang melintasinya.

Bel sudah berbunyi sejak aku duduk. Semoga buk Sri tidak mengajar hari ini, agar aku terbebas dari hukumannya.

"Audien?"

Suara itu..

Aku sungguh berharap yang kudengar adalah suara Dirga, memanggilku lembut seperti yang biasa ia lakukan agar jantungku kembali berdebar.

Raka..

Namun bukan dia, itu suara sahabatku. Aku melepas tanganku dan membuka mata, menatap Raka yang tengah membelalak dihadapanku. Ia sangat panik melihatku dengan mata sembab, hidung merah, dan rambut acak-acakan.

Raka berlutut dihadapanku, menggenggam tanganku. "Lo kenapa Din? Ngapain disini??" nadanya terdengar panik.

Aku mengusap air mata, "Ng—gak ap—a ko—k" jawabku terbata sambil mengendalikan nafasku.

Ia kemudian beranjak duduk disebelahku, tangannya masih menggamit jemariku. "Cerita ke gue, lo ada masalah apa?"

"Gara-gara Dirga?" Sambungnya seolah bisa membaca pikiranku.

Hiks..

Mendengar nama Dirga aku kembali terisak, dadaku sangat sesak, rasanya seperti mau mati. Aku tidak sanggup menahan tangisanku lebih lama lagi.

Raka mengulurkan tangannya, mendekapku perlahan-lahan. Menepuk-nepuk pundak dan kepalaku bersamaan, membuat perasaan ku sedikit lebih tenang. Aku bisa merasakan kehangatan Raka, ia benar-benar menyayangiku dengan tulus.

"Jangan nangis.." katanya lembut.

"Gue gak suka cewek yang gue sayang sedih.."

Kalimat Raka justru membuat jantungku semakin terasa sakit. Raka menyayangiku, sedangkan Dirga memperlakukanku seperti sampah. Ia membuatku nyaman lalu membuangku begitu saja seenaknya. Apa yang sebenarnya ia inginkan?

Aku perlahan melepaskan pelukannya, "Gue gak apa-apa kok.." kataku berusaha tegar, supaya Raka tidak terlalu memikirkanku.

Tangannya mengusap pipiku, menghapus air mataku. Kemudian beralih membelai rambutku, "Mau gue temenin disini?"

Raka adalah ketua Osis, membolos bersamaku seperti ini bukanlah hal yang pentas ia lakukan.

"Gak usah Ka,, gue juga mau kekelas.." Kataku menolak. Lagipula bu Sri sepertinya memang tidak sekolah. Karena jika iya, beliau pasti mencariku sampai ketemu.

Raka menatapku, "Beneran? Gak apa-apa kok. Gue bisa gak ikut kelas hari ini buat nemenin lo." Ia tetap menghkawatirkanku.

Aku tersenyum simpul, "Iya,, gue mau belajar aja.." keputusanku sudah bulat.

Mengenal SeseorangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang