Kenapa?

28 4 1
                                    

Setelah kemarin yang penuh warna, aku sangat senang bisa melihatnya lagi. Siang ini adalah jadwal kami belajar bersama, Pak Bimo mengantarku ke alamat rumah Pak Durius dan Tante Maha.

Rumah Dirga ternyata stylenya mirip dengan rumahku. Ada taman, kolam, namun bedanya tidak ada rooftop. Perlahan aku memencet bel dan nampaklah seorang laki-laki yang kusukasi. Sial, aku tidak habis fikir akan mengakuinya.

"Lo telat lima belas menit.." Ujarnya sambil melempar tatapan jahil, Ya aku memang Ratunya telat.

"Macet tau!" Sebisa mungkin aku beralasan. Padahal penyebab sebenarnya karena aku memakan waktu lama dalam berdandan.

Dirga terkekeh sebentar dan mempersilahkanku untuk masuk ke ruang tamunya.

Di dinding terpajang foto masa kecilnya bersama seorang gadis cantik yang usianya berjarak sekitar tiga tahun. Wajah anak itu sungguh lucu, dengan mata dan wajah bulatnya yang hampir mirip denganku, rasanya seperti menatap foto masa kecil.

"Dia mirip lo,," Ujar Dirga sambil menatap sendu foto mereka berdua.

"Dimana adik lo? Gue pengen nyapa.!!" Aku berseru semangat.

Jika sekarang Dirga kelas Dua SMA, adiknya pasti kelas lima SD. Akan sangat seru mengobrol dengan anak yang baru remaja.

Dirga beralih menatapku, ia melangkah mendekat tanpa melepaskan pandangan sendunya. Dia kenapa?

"Dia meninggal dua tahun yang lalu.."



APA?!

Aku membelalak kaget, bagaimana mungkin? Jadi sejak kamarin aku begitu santai membicarakan topik yang sensitif baginya? Adik perempuannya sudah wafat?

"Nggak usah kaget gitu.." Katanya sambil menepuk kepalaku.

Selama ini..


Dia pasti kesepian..


Tanpa sadar air mataku menetes, aku memang gadis yang cengeng. Hari ini aku merasa sangat bersalah karena baru mengetahui soal keberadaan Adiknya, mengapa aku bisa tidak peka akan tatapan sendunya setiap kami membicarakan saudara?

"Loh Audien? Jangan nangis.."

Hiks..

Huaaa!!!

Tangisku merebak, tanganku menutup wajah malu. Rasanya sungguh sesak mengetahui selama ini Dirga tidak mengungkit saudaranya karena kebenaran ini.

Laki-laki itu mendekapku, mengusap-usap tangannya dipunggungku untuk menenangkan gadis dengan tangisan yang pecah. Bukannya aku yang menghibur Dirga, tapi malah dia yang memeluk dan menenangkanku.

"Ma—af.. g—ue.."

"Gak apa-apa Din,," Selanya ditengah proses maafku.

Aku mengadahkan kepala untuk menatapnya, ternyata matanya juga berair. Tentu dia tambah sedih mengingat almarhum adiknya ditambah menyaksikan gadis menangis dihadapannya.

Kueratkan pelukanku sambil menepuk-nepuk punggung Dirga. Kali ini harus aku yang menjadi penguat, bukan hanya berlindung dibalik dekapannya.

Hiks


Benar saja, perlahan Dirga terisak. Aku bisa merasakan luapan emosi yang seama ini ia coba bendung agar tampak tegar, luka yang ia lampiaskan lewat sikap dinginnya, kini perlahan luluh dalam tangisnya.

Mengenal SeseorangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang