Aroma cokelat panas terhirup oleh indra penciumanku kala aku bergerak dari dapur menuju ruang tamu, tempat Jungkook sedang duduk santai sambil memandang sesuatu di layar tabletnya. Menyadari keberadaanku di sekitarnya, ia menoleh padaku, tersenyum, lantas menggeser tubuhnya untuk memberi tempat padaku. Padahal sebenarnya, dia tidak perlu bergeser lantaran masih banyak tempat tersisa untukku di sofa panjang yang ia duduki.
Kami baru saja selesai makan malam. Setelah itu, masing-masing anggota keluarga akan memiliki kegiatannya sendiri. Anak-anak dengan tugas mereka, Jungkook dengan pekerjaannya, dan aku dengan drama di televisi. Namun malam ini, Jungkook sepertinya tidak memiliki pekerjaan yang harus diselesaikan di rumah, begitupun aku yang agak malas memirsa drama. Menemani suami yang sedang bersantai, kupikir bukan ide yang buruk.
"Cokelat?" tawarku.
Priaku membetulkan posisi duduknya, kemudian meraih mug berisi cokelat hangat yang kubuatkan untuknya. Aku duduk di sebelahnya, meraih tablet yang ia letakkan di pangkuannya.
"Uh? Situs jual-beli rumah?" gumamku heran. "Untuk apa kau membuka situs ini?"
Sambil meletakkan mugnya di atas meja yang berada di depan kami, Jungkook berkata, "Kupikir sudah waktunya kita pindah ke rumah yang lebih besar."
"Ha?" Aku masih dalam mode heran. "Tunggu! Apa ini alasan kau memintaku memperlihatkan buku tabungan kita tadi pagi?"
Priaku mengangguk. "Dengan uang tabungan kita, kupikir kita bisa membeli satu rumah yang lebih besar dari rumah ini."
"Kenapa kita harus pindah, sih? Memangnya kenapa dengan rumah ini?" tanyaku, merasa tidak rela meninggalkan rumah yang telah kuurus selama bertahun-tahun.
"Sayang," suamiku mulai menjelaskan, "rumah ini terlalu kecil untuk dihuni empat orang. Coba pikirkan, bagaimana kalau Taya dan Jeongsan tumbuh lebih besar dari yang sekarang? Kita tidak mungkin membiarkan Jeongsan terus-terusan tidur bersama kita, kan? Sudah waktunya dia belajar mandiri dan itu dimulai dari tidur sendiri di kamarnya."
"Iya, sih. Tapi—tunggu! Kau benar-benar ingin pindah karena ingin mengajari Jeongsan agar biasa hidup mandiri, kan? Bukan supaya tidak ada penghalang di antara kita saat tidur, kan?"
"Ya ..., karena itu juga, sih." Priaku tertawa.
Aku mendorong tubuhnya. "Apa-apaan! Jeongsan itu masih kecil untuk tidur sendiri, kau tahu!"
"Masih kecil, bagaimana? Dulu Taya juga punya kamar sendiri sejak usianya empat tahun. Sejak dia masuk pendidikan usia dini, malahan," Jungkook membela diri. "Pokoknya, sebelum musim semi tahun depan, aku mau kita pindah."
Aku tidak berkata apa-apa lagi begitu Jungkook sudah memutuskan ingin pindah. Dia adalah pemimpin keluarga ini, jadi ... aku hanya mengikut saja. Lagi pula, kupikir ucapannya benar. Rumah ini terlalu kecil untuk kami berempat.
Aku menyandarkan kepalaku di pundaknya sembari melihat-lihat gambar rumah yang terpampang di layar tabletnya. Kami berdiskusi kecil setiap kali ada rumah yang kami anggap cocok untuk keluarga ini mengingat ada banyak hal yang perlu diperhatikan.
"Ini terlalu jauh dari pusat kota."
"Terlalu mahal. Uang tabungan kita nanti akan tersisa sedikit kalau membeli rumah ini."
"Aku tidak suka rumah bertingkat. Aku lelah kalau setiap hari harus naik-turun tangga. Repot membersihkannya."
Kami masih sibuk mencari rumah dari berbagai situs jual beli-rumah yang dibukanya ketika Jeongsan menghampiri. Sambil memperlihatkan buku gambarnya, ia berkata, "Eomma, Appa, tebak Jeongsan gambal apa?"
Aku dan ayahnya mengalihkan perhatian dari layar tablet ke buku gambar Jeongsan. Di sana tergambar hewan yang tampak seperti kelinci—ada dua telinga panjang di kepalanya. Namun, hidung hewan itu tidak terlihat seperti hidung kelinci, melainkan tampak seperti hidung ... babi.
Apakah ini ...
"Ini monstel kelinci-babi ... woaaaah!" Jeongsan menjawab pertanyaannya sendiri sambil menirukan suara monster.
Aku tertawa pelan. Aku menoleh ke arah Jungkook. Dia balas melihat ke arahku. Oh, kupikir dia mengerti mengapa aku memandangnya. "Jeongsan kok bisa menggambar monster kelinci-babi seperti ini? Memangnya Jeongsan sudah pernah lihat?"
Putraku menggeleng. "Belum. Tapi pasti wajahnya sepelti ini, Eomma. Menyelamkan."
Aku menoleh ke arah Jungkook, lalu tertawa lagi. "Anakmu bilang wajahmu menyeramkan."
"Apanya? Itu bukan aku!" Jungkook protes.
"Iya, Eomma. Ini gambal monstel kelinci-babi, bukan gambal Appa."
Appa-mu kan monster kelinci-babinya, Jeon Jeongsan.
"Tuh, kan? Jeongsan saja bilang itu bukan Appa-nya, tapi monster. Iya, kan, Jeongsan?"
"Iya."
"Tapi, Appa kan seperti monster, Jeongsan. Dia besar dan memakan apa saja." Aku tidak mau kalah. "Dia seperti monster kelinci-babi."
"Jangan dengarkan apa kata Eomma, oke?" bantah Jungkook. "Omong-omong, kita akan pindah rumah. Pindah ke rumah yang tidak ada monsternya."
"Yah ..." Jeongsan tiba-tiba mendesah kecewa. Aku mulai khawatir. Jika pindah rumah, mungkin akan sulit bagi anak-anak untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Duh, bagaimana ini?
"Jeongsan belum mengalahkan monstel di lumah ini, Appa."
Eh?
"Kalau Jeongsan pindah, namanya pengecut. Langel tidak ada yang pengecut, Appa."
Aku dan Jungkook saling berpandangan, lalu tertawa. Astaga. Kenapa di kepala Jeongsan hanya ada monster dan ranger? Duh!
"Ya, sudah," Appa-nya bersuara, "kalau kita jadi pindah rumah, monster kelinci-babinya juga akan ikut bersama kita."
"YEEY!!!"
Duh! Jeongsan ... Jeongsan.
-THE END-
Yang di mulmed itu fanart Monster Kelinci-Babi buatan Farah ^^
Makasih, Farah, untuk fanart (sekaligus ide yang tidak sengaja didapat setelah melihat fanart itu).
KAMU SEDANG MEMBACA
JEON FAMILY STORIES SEASON 2 [SUDAH TERBIT]
FanfictionSeason kedua dari kumpulan cerita yang ringan dan manis tentang keluarga kecil kamu dengan Jeon Jungkook dan anak-anak kalian--Jeon Taya dan Jeon Jeongsan. Highest rank #45 dalam FANFICTION - 16/03/2017