Bagian tiga
Gue pulang.
-
-
-
-
-
-Bagi Livia, berada ditempat ini seperti melemparnya ke masa lalu. Dimana saat SMP, sering sekali berkumpul disini. Cafe yang tidak pernah berubah menurutnya. Dari tempat, menu makanan, hingga pemiliknya. Masih sama saat dirinya pertama kali bertemu mereka. Mereka yang kini sudah duduk melingkar membentuk lingkaran. Ada Naura, Widya, Ratna, Rafa, Yudha, Gamma, dan tentu si pria menyebalkan, Arga.
Memandang satu-persatu teman-temannya, Livia sempat berpikir bahwa takdir memang se-misterius itu. Bersama saat sekolah menengah pertama belum tentu bersama lagi saat sekolah menengah atas. Namun, tanpa direncanakan, mereka berkumpul lagi disekolah yang sama. Nusantara Bakti. Rasa-rasanya, air matanya kala itu saat perpisahan, sia-sia saja. Sebab, yang ditangisi sedang berkumpul disini. Tertawa terbahak-bahak dengan se-mangkuk keripik.
Harusnya waktu itu tidak menangis, sih. Sayang make up.
"Main, yuk."
"Main dare deh. Ayok."
"Setuju!!"
Yudha berdiri. Menghampiri pramusaji untuk meminta sebuah botol kaca bekas. Setelah dapat, pria itu kembali dengan cengengesan khas-nya. "Gue main beginian, dendam banget sama Rafa. Semoga hari ini bisa malu-maluin Rafa, ya Allah."
"Bangsat."
Widya tertawa. Tangannya merebut botol ditangan Yudha lalu memutarnya diatas meja. "Udah-udah. Liat nih."
Semua orang kini fokus pada satu botol yang sedang berputar-putar diatas meja. Menatap cemas botol pun berharap bukan diri mereka yang mendapat giliran. "Lama banget nih botol. Udah kayak film porno bikin deg-degan."
"Goblok!" Naura melempar keripik yang berada ditangannya. Melirik tajam pada Yudha yang mengaduh kesakitan.
"Sakit, bego. Mana keripik pedes lagi. Awas aja kulit gue panas-panas, salah lo."
Naura tidak mendengarkan. Kembali menatap botol yang mulai lambat. "Siapa nih?"
Perlahan, botol mulai menghentikan perputaran. Dengan cemas, semua orang menaruh harapan pada botol itu. Rasa-rasanya, jika botol adalah makhluk hidup, dia akan tertawa kencang saat beberapa pasang mata, menatap botol dengan tatapan beragam.
"Kan?!!! Rafa, kan. Mampus, lo kena."
Rafa mendesis. Menatap Yudha tajam. "Wid, jangan yang aneh-aneh."
Widya menggeleng. "Buat yang pertama, kita diskusi dulu apa tantangannya."
"Yaudah-yaudah. Apa? Awas ya kalau tantangannya aneh. Gue bisa balas dendam, lho."
Semua terkikik geli. Menatap Rafa yang sedang was-was sedikit membuat tertawa. "Ayo-ayo kita diskusi dulu."
Semua saling mendekat kecuali Rafa. Berbisik-bisik yang membuat Rafa mati penasaran. Tidak berharap apapun, karena teman-temannya tidak bisa dibilang baik hati jika sedang seperti ini. "Ngeri gue ini, astaga."
Beberapa detik berlalu, semua kembali pada tempatnya masing-masing. Tersenyum-senyum tanpa arti tentu membuat Rafa jengkel setengah mati. "Apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
IMPOSSIBLE✔
JugendliteraturBersama dengannya, adalah suatu ketidakmungkinan. 📍31082018