□04. Jangan salahin Radit.

3.5K 197 0
                                    

Bagian empat

A-arga? Kok disini? S-sejak kapan?

-
-
-
-
-
-

"Nggak tau ah, Nek. Emang cuma pengen pulang cepet-cepet kali."

Livia menggeleng pelan. Masih berpikir sekiranya apa alasan Arga pulang cepat. Apalagi, saat dirinya telah menuntaskan tantangan Rafa.

Semuanya bingung, bahkan Rafa menyusul Arga yang sudah di parkiran. Saat kembali, Rafa hanya mengatakan Arga hanya ingin pulang.

Padahal, tidak ada yang menentang acara reuni ini. Semua menikmatinya. Namun, rasanya tepat sekali, setelah Livia mengeluarkan sebuah kalimat tentu untuk Arga, pria itu seolah-olah tau dan merasa terusik. Itu adalah pemikiran konyol Livia tadi. Namun, Ratna dan yang lainnya tetap percaya dengan jawaban Arga.

"Yaudah deh. Firasat gue doang kali."

Ratna mendengus. Melempar bantal miliknya tepat pada wajah Livia. "Lo tuh jangan selalu berpikir semua sikap Arga itu karena lo. Kalian tuh temenan doang. Secara kasarnya lo sama Arga nggak ada hubungan apa-apa. Jangan kayak cewek yang lagi uring-uringan karena ketahuan selingkuh, deh. Inget, kalian tuh CUMA temen. Apapun yang terjadi sama kalian, ya karena kalian sendiri. Lo kalau ngerasa Arga makin dingin sama lo, dari semenjak lo tolak dia bukannya emang udah dingin? Atau lo yang curiga Arga tertarik sama lo karena lo kangen sama dia, padahal liat lo aja mungkin dia udah males. Udah deh, masing-masing aja. Jangan terlalu berpusat sama Arga. Gila nanti lo. Nggak mau lagi gue temenan sama lo."

Ratna menghela napas. Lalu kembali melanjutkan. "Terus hilangin deh pemikiran lo kalo Arga jadi suka lagi sama lo cuma karena dikangenin sama lo. Cih, itumah harapan lo doang kali. Arga pulang karena pengen, bukan karena ucapan lo itu. Halu."

Livia mendelik. Melirik Ratna sinis. "Jahat banget sih."

Ratna tertawa pelan. Sebenarnya, caranya dalam menceramahi Livia menurutnya sudah benar. Livia ini bukan tipe orang yang dibicarakan dengan lembut akan melunak. Justru, makin pelan makin tidak tau diri. Bandel, tidak mau tau, dan susah diatur. Itulah Livia. Tapi, ya begitu-begitu juga, Livia adalah sahabat sejati Ratna. Mau bagaimanapun Livia, Ratna akan tetap membutuhkannya pun sebaliknya.

Apalagi kalau sedang BU alias butuh uang. Tidak perlu pikir-pikir, cusss langsung menghadap sahabat tersayang.

"Lo mau tidur disini? Gue ambil baju ganti dulu kalau gitu."

Livia menggeleng pelan. "Gue pulang aja. Masih sakit hati sama lo."

"Terserah. Tapi gue nggak antar ya. Mal--"

"Iya, babik. Nyaho-nyaho. Nggak usah ngomong lagi, bisa?"

"Dih, marah-marah. Cepet tua lo!"

"Bodo. Biar tua tetep cantik. Awet muda sepanjang masa, itu adalah nama belakang gue." Livia berdiri. "Dah, gue pulang nih. Jangan diem-diem nangisin gue ya. Gue tau, gue orangnya ngangenin tingkat dewa."

Ratna berdecih pun tetap mengantar Livia sampai pagar rumah. "Hati-hati. Kalau diculik jangan telpon gue." Ratna tertawa pelan saat melihat wajah Livia seperti sudah siap akan menerkamnya. "Gue nggak ada duit, Liv. Minta sama Arga aja. Siapa tau dari abis itu lo sama Arga pacaran terus lo merasa berterima kasih sama penculik gara-gara Arga baper lagi sama lo. Terus dimuat di koran kalau korban merasa bersyukur bahwa penculik menjadi jalan atas jodohnya. Lucu pasti."

IMPOSSIBLE✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang