Bagian dua puluh dua
Birisik, gi, idih piling sini, najis!
-
-
-
-
-Selama hidup, Livia tidak pernah melihat secara langsung bagaimana seseorang mencoba membunuh dirinya sendiri.
Tidak pernah terbayangkan olehnya, Livia terlibat langsung bahkan menjadi orang yang mencegah Aneila untuk bunuh diri.
Setelah pengakuan Arga pada Aneila saat itu, Aneila begitu marah dan sangat membenci dirinya. Jika saja Livia tidak menepis tangan Aneila yang akan menusuk perutnya sendiri, mungkin kini Aneila terbaring sekarat di rumah sakit.
"Yaampun Arga, tadi lo liat kan si Aneila mau bunuh diri? Untung tangan gue cepet buat nepis, sekarang dia diperiksa cuma karena luka gores ditangannya."
"Sebenernya gue marah sama lo, Livia. Lo nekat banget tadi. Kalo pisau itu kena lo gimana?"
"Gue panik, Ga, soalnya beneran kejadian didepan mata gue. Aneila mau bunuh diri, gue cuma refleks cegah dia,"
"Tapi lo beneran nggak apa-apa kan?"
Livia mengangguk mantap. "Beneran, serius!"
Tak lama terdengar suara pintu dibuka. Livia maupun Arga mendekati Dokter yang keluar bersama ibu Aneila. "Keadaan Aneila gimana, dok?"
"Lengannya tergores, jadi butuh beberapa jahitan. Sekarang Aneila sedang istirahat,"
"Baiklah, terima kasih, dok."
"Sama-sama, saya permisi dulu."
Arga tersenyum. Kini tatapannya beralih pada ibu Aneila. "Maaf tante, gara-gara saya Aneila jadi terluka,"
"Nggak masalah, Arga. Aneila baik-baik aja udah cukup buat tante. Tindakan kamu sudah benar kok, dengan begitu semoga saja Aneila cepat sadar dengan perilakunya."
"Semoga, tante. Kalau begitu saya sama Livia pamit pulang, sudah malam dan kami harus sekolah besok. Kalau sekiranya butuh bantuan, tante hubungi Arga aja."
"Tante akan hubungi kamu kalau butuh bantuan, terima kasih sebelumnya Arga."
"Sama-sama tante, saya pamit."
"Saya juga pamit tante, semoga Aneila cepat sembuh."
"Amin, terima kasih Livia. Hati-hati dijalan."
Livia tersenyum tipis sebelum Arga membawanya pergi dari rumah sakit.
-
-
-
-
-💦💦💦
"Hari ini lo ngelewatin banyak hal Livia, sekarang lo istirahat, besok gue jemput."
Livia tersenyum tipis. Menggenggam tangan Arga setelah turun dari motor terasa lebih menyenangkan jika dibandingkan dengan berada di kamar dan tidur sampai besok pagi. Lagipun, hari ini terasa amat singkat dan terlalu berharga jika diakhiri begitu saja. "Sebentar aja, gini dulu ya. Kangen tau!"
"Tangan gue dipegang mulu, udah ijin belum sama yang punya?"
"Yang punya kan gue, terserah gue lah!"
KAMU SEDANG MEMBACA
IMPOSSIBLE✔
Ficção AdolescenteBersama dengannya, adalah suatu ketidakmungkinan. 📍31082018