Bagian enam
PERGI!
-
-
-
-
-
-Jam sudah menunjukkan pukul sebelas pagi dan Radit tak kunjung bangun dari tidurnya. Memilih untuk membiarkannya sebentar lagi karena Livia sedang mengaduk nasi goreng di wajan.
Semalam, listrik kembali menyala pada pukul empat pagi. Pada saat itu juga, Arga memilih pulang alih-alih menginap seperti biasanya. Menulikan telinga saat Radit menawarinya untuk menginap saja atau mengingatkan Arga bahwa pada jam itu masih rawan akan kejahatan. Namun, Arga sudah pergi dengan motornya.
Tiba-tiba genggamannya pada gagang spatula menguat tatkala mengingat kembali hal memalukan yang terjadi semalam. Livia memenjamkan mata sebentar untuk meredam segala rasa malu pada dirinya. Livia bahkan nyaris pingsan saat itu jika Radit tak menariknya dan memarahinya karena sudah memeluk Arga.
"Bangsul! Malu banget, gue. Bayangin aja sehari udah dua kali malu karena Arga." Ucapnya pelan. "Ck. Yailah. Kenapa sih sama kemarin?"
Dari kejauhan, Radit mengernyit heran saat melihat Livia sedang menghentakan kakinya berulang kali dengan tangan mengepal gemas. Mencoba tetap tenang saat dirinya berusaha menjauhkan pikiran sekiranya Adiknya itu butuh obat dari RSJ. "Kenapa lagi tuh orang?" Bisiknya pelan. Pada akhirnya Radit memutuskan untuk menghampiri Livia karena sepertinya gadis itu sedang membuat nasi goreng. "Wah, enak nih!"
Livia yang sedang menuang nasi goreng kedalam mangkuk yang besar, menatap Radit sinis. Bukan apa-apa ya, Radit itu semalam seperti orang goblok yang bukan membantu Livia keluar dari situasi yang memalukan, Kakaknya itu malah memarahinya didepan Arga. Kurang malu apa lagi Livia? Benar-benar! Rasanya, hari ini pun Livia masih kesal luar biasa.
Tiba-tiba terlintas dipikiran untuk menampar Radit dengan pantat wajan ini. Masih panas dan mungkin cukup untuk membalaskan dendamnya. Tapi, mengingat lagi Livia bisa saja dicoret dari kartu keluarga jika melakukannya. "Diem, lo!"
"Dih, ngomong gitu doang udah sensi lo!"
Livia menghela napas. "Gue masih kesel ya sama lo."
Radit melotot. "Lho? Kenapa sama gue? Harusnya sama Arga lah. Udah tau Adik kesayangan gue lagi minta dipeluk manja, eh dia malah pulang. Jadi kes--"
"Diem, bangke!" Livia siap untuk melemparkan sendok jika Radit masih melanjutkan ucapannya. "Nggak ada ya gue kesel gara-gara itu. Lo tuh, gue kan lagi malu kenapa makin buat gue malu sih? Lagian kenapa bisa-bisanya yang nyampe ke dapur duluan itu Arga? Kenapa? Semua itu udah salah lo."
"Ya kan lagi gelap gitu, gue nggak bisa liat."
"SIAPA JUGA YANG BISA LIHAT? SEMUA ORANG JUGA NGGAK BISA LIHAT RADITYA GREYNDARA!" Livia mengelus dadanya. Berusaha menahan emosinya lagi. "Lo tuh, nggak bisa lihat tapi bisa ya pecahin vas bunga!"
Livia duduk. Mengambil piring dan mengisinya dengan nasi goreng lalu memberikannya pada Radit. Mengingat tentang vas bunga, sungguh kekesalannya berlipat ganda. Ingat bukan, insiden vas bunga yang tidak diketahui siapa yang membuat benda itu pecah. Ternyata Radit-lah biang keroknya. Pria itu memang tidak memecahkan vas bunga secara langsung, karena kakinya terbentur meja yang diatasnya terdapat vas bunga. Alhasil, vas bunga itu jatuh dan membuat semua orang panik. "Malah nuduh setan lagi. Setan ketawa-ketawa kali pas denger lo ngomong begitu. Dasar tukang fitnah!"
KAMU SEDANG MEMBACA
IMPOSSIBLE✔
Novela JuvenilBersama dengannya, adalah suatu ketidakmungkinan. 📍31082018