□10. Jadi kita baikan, nih?

3K 176 5
                                    

Bagian sepuluh

Jangan sekarang, nggak lucu jadiannya diteras rumah lo.

-
-
-
-
-

Selama hidup, Alya tidak pernah melihat Arga segabut ini. Bolak-balik di depan televisi, melempar kacang kedalam mulutnya yang selalu berakhir dilantai, atau menaik-turunkan volume televisi berulang-kali.

Seharusnya, saat melihat tumpukan piring kotor atau baju yang belum dijemur, Alya bisa memberi pekerjaan itu pada adiknya. Setidaknya, membantu dirinya mengerjakan segala pekerjaan rumah, masih terasa manfaatnya bagi kedua belah pihak.

Namun, sadar jika dirinya sudah menjemur pakaian dua jam yang lalu, atau kini dirinya masih bergelut dengan air dan sabun cuci piring, tentu Alya kini hanya bisa menatap aneh tingkah Arga yang tak seperti biasa. Berlagak seolah baru patah hati, atau sedang memikirkan sesuatu, Alya masih tidak percaya bahwa dihadapannya adalah Arga, adik satu-satunya yang dia punya. "Kenapa lo? Diputusin pacar?"

"Nggak usah bahas yang nggak ada. Lo ngejek gue?"

"Sewot amat. Nanya baik-baik lho. Jangan sampe nih piring mendarat dibibir lo itu."

"Bodo."

Alya menggeleng pelan. Mood dipagi hari Arga sedang tidak baik. "Kemarin es krim cokelat buat Livia udah gue kasih."

"Lo bilang dari siapa?"

"Dari gue lah. Kan lo suruh gue bilang gitu. Ya kan?"

Arga mengangguk lesu. Mengingat kembali bagaimana kemarin dia dengan semangatnya menceritakan rencananya memberi es krim cokelat pada Livia menggunakan jalur Alya pada orang yang bersangkutan langsung. Bohong jika dirinya tidak merasa malu pada Livia. Apalagi, dirinya dengan terang-terangan menunjukan kekhawatirannya pada gadis itu.

Lalu, belum reda rasa malunya, Livia sudah membuat dirinya kebingungan dengan perkataan gadis itu pada malam sebelumnya. Permintaan maaf dan ... apa itu? Menyatakan perasaan? Arga sungguh tak habis pikir. Livia? Sudah mencintainya sebelum dirinya menyukai gadis itu? Astaga, apalagi ini?

Jadi, selama ini bukan hanya dirinya yang merasa sakit hati? Tapi Livia juga. Apalagi, Arga dengan jahatnya meninggalkan Livia dan menjauhi gadis itu?

Jadi, kali ini ... Dirinya yang terlihat bersalah? Atau selama ini Arga-lah yang salah. Bukan Livia yang menyakitinya, tapi Arga-lah yang menyakiti gadis itu.

Arga menggeleng. Tidak, ini salah.

Pada malam itu, seharusnya Arga yang meminta maaf.

Meminta maaf karena telah meninggalkannya.

Maaf telah berusaha menghindarinya.

Maaf telah membencinya.

Lalu, minta maaf atas perasaan Livia.

Beberapa menit bergelut dengan pikirannya, pada akhirnya Arga berdiri. Mengambil kunci motor lalu meninggalkan Alya yang masih mencuci piring.

Arga harus minta maaf secara langsung sekaligus berterima kasih.

Berterima kasih karena sudah bertahan dan ... mencintainya.

IMPOSSIBLE✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang