Bagian tiga puluh
Hah?
-
-
-
"Jadi, gimana ceritanya lo bisa pulang tanpa ngabarin gue?"
Pemandangan halaman belakang rumah memang tak pernah gagal membuatnya nyaman. Suasananya, benar-benar membuat semua orang yang berada disini terbuai dengan hal-hal yang ada. Apalagi, bukan hanya 6 tahun lalu, tapi untuk berberapa tahun lebih lama, halaman belakang rumah ini adalah tempat yang paling sering dikunjunginya. Hal-hal kecil hingga sebuah aktivitas besar pernah terjadi disini.
Livia bahkan masih mengingat, saat tubuhnya terselimuti lumpur yang berasal dari kebun di halaman belakang rumah ini, dan mendapat beberapa luka ditangannya karena merebut mainan Kakaknya, Radit. Saat itu, untuk pertama kalinya juga, Livia melihat sang Ayah begitu murka pada Radit karena pria itu telah mendorongnya hingga tangannya tergores kayu. Padahal, jelas, yang salah tentu Livia. Tapi, Ayah tetap memarahi Radit karena bagaimanapun menyakiti saudara sendiri adalah hal yang tak benar.
Untung saja, kejadian seperti itu tak membuat hubungannya dengan Radit menjadi renggang. Livia malah membuat Radit begitu menyayanginya, dan juga sebaliknya.
"Seharusnya lo tanya sama Kak Radit, karena dia juga yang buat gue repot karena mendadak nyuruh gue buat majuin tanggal kepulangan gue,"
Arga menghela napas. Terdengar desisan soda yang menguap ke udara setelah pria itu menekan penutup kaleng soda favoritnya. Tatapannya jelas tertuju pada awan yang mulai menggumpal gelap karena senja mulai menghilang, bibirnya menyesap sisa soda yang sudah ia tenggak habis sebelum kembali menyahut setengah berbisik, "nggak kangen gue, apa?"
Livia dengan jelas menahan tawanya. Bibirnya berkedut sukses membuat perutnya tergelitik.
Ini beneran pacarku? Pikirnya, tentu. Karena selama 6 tahun berhubungan jarak jauh, Arga tak pernah memberitahunya untuk hal-hal kecil seperti ini. Gue kangen lo, lo kemana aja, atau hal lainnya seperti pasangan lain diluar sana. Arga cenderung to the point tanpa pusing-pusing mencari bahan basa-basi untuk memperbayak durasi percakapan. Karena kadang, tanpa perlu seperti itu, Livia dan Arga bisa menghabiskan berjam-jam mengobrol hanya untuk menceritakan keseharian mereka atau menceritakan hal-hal konyol mereka.
Tapi mungkin, itu semua tidak akan berlaku kalau sudah face to face seperti ini. "Terus lo kangen gue, nggak?" Ini menjengkelkan sih, tapi kapan lagi membuat Arga kesal.
"Kemarin gue ngobrol sama temen lama gue. Kita ketemu di kafe matahari kemarin sore,"
Livia mengangguk paham. Ini diluar ekspetasinya.
"Dia bilang, dia sempet down parah karena baru ditinggal nikah pacarnya. Saat itu, mereka harus terpaksa berhubungan jarak jauh karena kerjaan. Temen gue janji, setelah pulang, mereka akan menikah," Arga menjeda, helaan napas makin terdengar berat seiring tatapan Arga jatuh pada Livia. "Tapi lo tau? Dua tahun kemudian, temen gue harus menghadapi kenyataan bahwa pacarnya udah nikah sama yang lain, dan itu terjadi tiga bulan sebelum kepulangan temen gue ini."
"Terus, temen lo gimana?"
"Yaudah, mau gimana lagi? Temen gue cuma ikhlas dan relain aja. Karena gimanapun, itu udah haknya untuk ninggalin temen gue. Karena temen gue juga nggak bisa menyalahkan pacarnya yang saat itu beralasan capek nunggu dan mau yang pasti."
KAMU SEDANG MEMBACA
IMPOSSIBLE✔
Teen FictionBersama dengannya, adalah suatu ketidakmungkinan. 📍31082018