Bagian dua puluh lima
Nggak ada yang salah, suka sama temen sendiri.
-
-
-
-
-Jepang, adalah tempat impian Livia untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi sejak sekolah menengah pertama. Entah kenapa pilihannya itu tidak pernah berubah sampai saat ini.
Namun, entah mengapa setelah melihat reaksi orang-orang terhadap keinginannya, membuat Livia jadi bimbang. Apalagi, melihat kini teman-temannya sudah berkaca-kaca setelah mendengar pengakuannya. "Enam tahun doang kok, jangan begitu. Gue nggak tega,"
Naura menggeleng pelan, "no, gue begini beneran sedih Liv, bukan ngelarang lo kok."
Ratna mengangguk seraya menghapus air matanya yang sudah mengalir, "iya-iya jangan dipikirin. Kita cuma sedih doang kok,"
"Kenapa enam tahun sih, lama banget buset!!" Sahut Widya yang sudah lebih tenang.
"I-iya, maaf. Nggak tau kenapa pengen aja disana,"
"Lo nggak lagi kabur kan?"
Livia melotot, memukul pelan bahu Ratna. "Nggak lah, mana ada! Gue emang pengen kesana aja,"
"Ck, males ah. Kalo nggak ada lo nggak ada yang seru, Liv. Lo tau kan Ratna sama Widya itu garing banget,"
"Apaansih, gajelas lo! Ya nggak, Wid?"
"Hooh, bener."
"Tuh Liv, belum juga ditinggal otak mereka udah eror,"
Livia tersenyum tipis, "bentar lagi kita kan kelas dua belas dan pasti kita bakal kuliah di tempat yang kita mau, gue harap lo semua sehat-sehat aja walaupun gue nggak liat fisik lo. Semoga lo semua bahagia selalu walaupun gue nggak tau apa aja yang baru lo lewati. Semoga kita selalu bersama dalam beberapa tahun kedepan, kalau bisa minta sih selama-lamanya. Jangan bandel-bandel kalian, udah dewasa jangan mau diajak main-main doang sama cowok, harus bisa jaga diri dari lingkungan kalian berada. Gue sayang kalian, sumpah!"
Naura meringis, "Liv, masih lama bangke, lo jangan bikin gue mewek!"
"Sialan lo Livia, udah ngeluarin kata-kata terakhir aja!"
"Livia...."
Livia tertawa. Puas sekali melihat teman-temannya ambyar. "Kan siapa tau nggak sempet ngasih wejangan gitu, maaf ya. Hahaha,"
"Sialan, bodo gue ngambek!"
"Jangan ngambek dong, itu si Alvian gimana? Ada kemajuan nggak?"
"Jangankan kemajuan, mundur aja nggak ada. Udah, diem aja disitu. Nggak ngerti deh gue sama Alvian, nggak suka cewek apa gimana sih, sampai modelan kayak gue nggak ditanggepin gitu,"
"Maksud modelan kayak lo itu apa, Ijem? Cantik? Bohay? Eww..."
Ratna melirik sinis pada Naura, "kalo lo yang lihat emang biasa-biasa aja. Coba tanya sama laki-laki, gue tuh cakep nggak ketolongan, beuh... ngeremehin gue lo!"
"Najis! Geli ya gue,"
Livia tertawa kecil bersama Widya. Kenapa sih, kedua temannya itu tidak pernah akur sekali saja. "Udah-udah, kan tadi lagi bahas hubungan Ratna sama Alvian, kok jadi kalian yang ribut sih?"
"Naura tuh, bikin sensi mulu!"
"Nggak ada gue bikin sensi, lo tuh yang cari masalah mulu!"
"Ssstttt..." Livia menaruh telunjuknya didepan bibir, tanda teman-temannya harus benar-benar diam. "Sekarang Ratna, gue tanya serius kenapa Alvian sampai nggak respon chat lo?"
"Bukan nggak direspon lho, nek ... kayak apa ya, hambar aja gitu,"
"Kasih garem kalo hambar,"
"Na? Gue tabok lo ya?!" Ratna sudah siap dengan ancang-ancangnya tatkala Livia dengan sigap menurunkan tangan Ratna yang sudah melayang diudara. "Ck, bagus ya lo ada Livia!"
Naura menggeleng tak peduli. Lidahnya terjulur hingga membuat Ratna kembali naik pitam. "NAURA!"
Widya menghela napas pelan diikuti Livia yang sudah memijat pelipisnya saat lagi-lagi melihat Ratna kembali bergulat dengan Naura. Untuk hari ini, sudah ketiga kalinya mereka bergulat dan saling menyerang. Livia maupun Widya hanya bisa duduk menonton sambil menunggu mereka berdua kelelahan.
"Jangan tarik rambut gue, kampret!"
"Lepas cubitan lo di pinggang gue, babik!"
"RATNA!"
"Jangan teriak di kuping gue, Naura! Gila lo?"
"BODO AMAT!"
Livia menoleh, memfokuskan kembali pandangannya pada Widya yang tengah melamun. "Denger-denger lo lagi deket sama Gamma, ya?"
Widya tersentak, "hah?"
"Cerita aja, gue dengerin kok,"
"Nggak ada yang harus diceritain sih Liv, cuma deket aja, nggak lebih. Gamma-nya yang kayak ngejauhin gue gitu aja,"
"Kok bisa?"
Widya menggeleng, "nggak masalah sih, lagipun tinggal setahun lagi gue bisa ketemu sama dia, jadi nggak bakal ada kesan apa-apa selain jadi teman. Lagian, ngadi-ngadi gue demen sama dia. Ck ck, hati emang nggak ada yang tau ya Liv. Susah ngarahin hati, salah tempat mulu. Capek gue,"
"Kita emang bisa milih mau pacaran sama siapa, tapi kita nggak bisa milih mau jatuh cinta sama siapa. Selagi hati nggak masalah sama Gamma, kenapa nggak coba nerima. Nggak ada yang salah suka sama teman sendiri. Lo nggak liat ada contoh nyatanya, gue nih."
"Emang harusnya gue belajar sama lo sih Liv, pengalaman lo kan nggak main-main. Suka sama orang dua-duanya teman sendiri,"
"Nah, kayak yang gue bilang, gue nggak pernah minta jatuh cinta sama Arga. Kalo bisa minta, gue mau tetap temenan sama dia begitupun dia terhadap gue. Karena gimanapun juga, jatuh cinta sama sahabat itu kalau hubungan kalian hancur, otomatis persahabatan kalian juga berantakan. Mungkin bisa kembali, tapi itu sulit. Jarang ada yang bisa," Livia tersenyum tipis, "nah maka dari itu, gue berusaha buat mempertahankan hubungan ini sebaik mungkin. Kalau emang harus putus, gue harap secara baik-baik karena kita pun memulainya secara baik-baik, biar walaupun nggak bisa kembali jadi sahabat, seenggaknya kita berdua nggak jadi musuh."
Widya tersenyum tipis. Mendengar kalimat-kalimat yang keluar dari bibir Livia, membuat hatinya menghangat. Setidaknya Widya sedikit mendapat pencerahan untuk hubungannya dengan Gamma.
Semoga segala sesuatunya dilancarkan. Amin.
-
-
-
-
-
-💦💦💦
Edit : 031220
KAMU SEDANG MEMBACA
IMPOSSIBLE✔
Ficção AdolescenteBersama dengannya, adalah suatu ketidakmungkinan. 📍31082018