Bagian tujuh
Liv, gue minta maaf.
-
-
-
-
-Boneka monyet kok mirip muka lo ya, Ga!
Arga menggeleng pelan. Menatap sendu boneka monyet ukuran sedang yang selalu menempati meja belajarnya. Terlintas dipikiran dengan tiba-tiba saat dimana boneka itu pertama kalinya berada disana.
"Gue beli ginian beneran emang mirip kayak lo. Taruh disini ya, biar inget gue terus."
"Males banget. Setiap belajar liat muka dia."
"Kembaran lo, Arga. Jangan begitu!"
"Bangke!"
"Tante!!! Arga ngomong kasar."
Dulu, Livia adalah orang yang paling sering menganggunya dibanding kakaknya sendiri. Sering mengejeknya, memarahinya, menasehatinya, dan selalu bersamanya.
Bahkan, Arga ingat sekali setiap hari jum'at, Arga akan selalu menjemput Livia untuk pergi kemanapun. Entah makan-makan, jalan-jalan, atau bahkan hanya keliling kota. Pokoknya, hari jum'at tidak boleh dilewatkan begitu saja.
Hingga rutinitas itu hilang begitu saja, tentu membuat sesuatu didalam dirinya terasa hampa. Arga tentu tidak ingin menginginkan hal seperti ini. Rasanya, jika Arga bisa kembali pada satu waktu, Arga akan pergi ke saat dimana dirinya menyatakan perasaannya pada Livia. Saat dimana semua terasa berbeda 180°. Arga ingin menarik ucapannya. Jika bisa memilih satu kali saja, Arga ingin kembali bersama Livia. Tidak dalam ikatan apapun, hanya bersamanya saja, Arga sudah merasa cukup. Jika saja...
"Arga?"
Arga menoleh. Menaikan satu alis tatkala mendapati Kakak perempuannya sudah berdiri didepan pintu. "Kenapa?"
"Mau kerumah temen."
"Terus?"
Alya, Kakak Arga, melempar kunci mobil. Tersenyum tipis sambil berkata. "Nggak usah dijelasin, udah tau dong."
-
-
-
-
-💦💦💦
"Liv, gue minta maaf."
Livia mendongak. Menatap Afkar tak habis pikir. Setelah semua yang Livia lewati, kenapa terlalu mudah bagi Afkar? Apa semua masalah di dunia ini, selalu terselesaikan hanya dengan kata maaf?
Livia tidak jahat. Dirinya pun sudah berusaha menuruti situasi dan memaafkan Afkar yang sudah puluhan kali meminta maaf sejak kedatangannya. Namun, hingga setengah jam Livia terduduk ditanah dengan Afkar yang terus menawarkan pertolongan, Livia tak bisa menemukan alasan apa untuk bisa memaafkan pria itu. Rasanya, tidak adil bagi kehidupannya dimasa lalu. Sakit dan malu itu, terlalu mahal jika dibayar dengan kata maaf. Livia tidak sebaik itu juga.
"Pergi, Kar. Gue mohon."
"Gue bakal pergi, Liv. Tapi tolong, lo berdiri dulu. Jangan kayak gini."
"Nggak usah peduli sama gue. Lo pergi dan hilang lagi aja udah bantu gue."
"Liv.."
Livia mengalihkan pandangan. Duduk ditanah dengan Afkar dihadapannya, sungguh bukan hal yang luar biasa. Namun, kenapa hatinya tidak mengatakan itu? "Pergi." Please.
"Kalau gitu, gue ngomong aja sekarang."
Apa lagi?
"Gue mau minta maaf atas segala hal. Apapun itu. Termasuk perjanjian dengan Bella."
"Afkar.."
"Gue nggak ada maksud buat nyakitin perasaan lo, Liv. Nggak ada sama sekali." Afkar menghela napas. "Semuanya karena Bella. Dia yang suruh gue buat jadiin lo pacar selama dua hari. Lalu, gue bakal balikan sama dia."
Livia meringis. Mengusap pipinya yang sudah basah dengan air mata. Fakta yang ditemukannya bersama Arga pada hari ke tigapuluh satu sejak perpisahan mereka, akhirnya datang dari bibir sang pelaku. Livia sudah tau itu. Sakitnya, sudah datang terlebih dahulu. Menghancurkannya tanpa ampun. Bahkan, fakta sama yang dibawa Afkar, tak membuat semua itu terasa baik-baik saja untuknya. Rasanya tetap sama. Cara menghacurkannya tetap sama. Hanya berbeda di bagian hatinya. Hatinya, menghangat saat menatap mata Afkar yang terlalu tulus mengungkapkan hal itu.
"Gue kira dengan melakukan hal yang Bella mau, semua akan balik lagi. Sama kayak dulu. Tapi Bella nggak menepati ucapannya. Dia ... dia ternyata udah punya laki-laki lain, Liv. Gue dipermainin. Gue ngerasa bersalah sama lo. Dia benci sama lo, dan itulah alasan dia ngelakuin hal itu sama lo lewat gue." Afkar mengusap kasar wajahnya. Mengingat kembali hal itu, membuat seluruh amarah yang dia pendam, meminta untuk dilepaskan. "Posisi kita sama. Gue maupun lo sama-sama dipermainin. Bedanya, lo yang paling tersakiti disini. Dari sisi manapun orang lihat, semuanya tau kalau lo terluka karena gue. Lo tersakiti karena gue."
"Dari awal lo pasti tau kalau itu salah, Kar. Lo tersakiti karena kesalahan lo, persamaannya, gue pun tersakiti karena lo. Intinya gue benci sama lo. Jadi, gue mohon lo pergi dari sini."
"Liv.."
"Gue mohon.."
"LIVIA!!"
Livia maupun Afkar menoleh. Menatap heran perempuan yang sudah membantu Livia untuk berdiri. "Kak Alya? Kakak ngapain disini?"
Alya menatap Afkar, lalu tatapannya kembali terkunci pada Livia yang Alya tau gadis itu baru saja menangis. "Lo ngapain duduk disini? Terus cowok itu siapa?"
Livia menggeleng pelan. "Tadi jatuh kak. Dia Afkar, dia tadi mau tolong aku." Livia menatap sekeliling. Lalu pandangannya terkunci pada sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari tempatnya berada. "Kak Alya habis darimana?"
"Tadi dari rumah teman. Liat lo kayak nangis-nangis terus duduk disini, gue khawatir. Arga yang suruh gue kesini, liat lo."
"Arga?" Livia kembali memandangi mobil hitam dibelakang mobil Afkar. Menatap mobil seolah-olah sedang melihat Arga. Pria itu ... bagian mana saja yang telah dia lihat? Livia mendadak panik. Arga, pria itu tidak mungkin melihat Livia menangis, bukan? Semoga, ya Tuhan.
"Kita pulang aja, Liv. Arga juga keliatan panik banget tadi. Dia juga yang lihat lo sebelum gue. Nggak tau kenapa bukan dia yang nyamperin lo dan bawa lo."
Livia tersenyum tipis. Memilih diam dan menurut saja saat Alya membawanya menuju mobil.
Memilih untuk tidak memikirkan satu hal yang dia ketahui, Livia tetap tak bisa menyembunyikan senyum simpulnya. Apa yang baru dia dengar, tak membuat semuanya terlihat indah bagai terbang dilangit. Namun, rasanya tubuhnya siap terbang seperempat jalan.
Kejadian langka, Arga mengkhawatirkannya.
Atau, Arga memang masih peduli?
-
-
-
-
-
-💦💦💦
Edit : 010920
KAMU SEDANG MEMBACA
IMPOSSIBLE✔
Fiksi RemajaBersama dengannya, adalah suatu ketidakmungkinan. 📍31082018