Bagian dua puluh sembilan.
Lo ... sejak kapan ada disini?
-
-
-
6 tahun kemudian.
Seperti apa yang ia ketahui sejak remaja, jalanan Tokyo pada hari libur, tidak akan menjadi sepi. Banyak warga lokal yang lebih memilih tetap berjalan-jalan disekitar, atau dipaksa tetap beraktivitas di hari bebas ini.
Seperti saat ini, seminggu sebelum kepulangannya ke tanah air, Livia memutuskan untuk weekend terakhirnya di Jepang, dihabiskan untuk membeli oleh-oleh untuk keluarga. Apalagi, semenjak kedatangannya di kota ini, Livia belum pernah berbelanja. Hanya beberapa yang dibeli karena darurat.
Sebenarnya tak banyak yang menuntut oleh-oleh darinya, hanya saja mendengar perkataan kakaknya Radit sebulan yang lalu, sukses menaikkan hasratnya untuk membeli oleh-oleh.
"Nggak usah beliin gue oleh-oleh, lebih baik duit lo dipake buat beli baju buat anak gue,"
Ya, Livia memiliki keponakan.
Saat itu, awal bulan lalu, Livia dikejutkan dengan kabar dari Kakaknya itu. Setelah dua tahun menikah dengan Kak Alya, akhirnya Livia memiliki keponakan pertamanya, perempuan pula.
Maka dari itu, Livia menjadi semangat untuk berbelanja hari ini. Sebab, selain kemauan dirinya dan permintaan sang Kakak, Livia juga ingin, hal ini bisa menggantikan rasa bersalahnya karena tak sempat menghadiri acara pernikahan mereka. Bukan karena tak mau, tentu. Hanya saja saat itu, banyak kerjaan dan acara kantor yang tidak bisa ditinggalkan. Untung saja, Radit dan lainnya mengerti.
Terkecuali, ya, Arga. Pria itu sampai tak mau mengangkat panggilannya selama seminggu. Saat ada kesempatan bertanya, pria itu dengan angkuhnya menjawab bahwa sedang sibuk. Padahal, Livia tahu betul, pria itu tengah merajuk karena ketidakhadirannya di pesta pernikahan Radit dan Alya.
Bicara soal Arga, Livia akan sangat berani mengatakan bahwa Arga benar-benar sangat cocok dijadikan pendamping hidup. Bukan, bukan pendamping hidupnya saja, tapi untuk seluruh wanita di seluruh dunia.
Selama 6 tahun dirinya jauh dari Arga, tak ada satu haripun dimana Arga curiga dan marah karena salah paham padanya. Arga selalu berusaha menahan amarahnya dan mempercayai dirinya. Padahal, dua minggu lalu, mereka hampir berselisih paham hanya karena masalah sepele.
Jika saja Arga tak mempercayainya dan balik menuduhnya, sudah pasti hubungannya dengan Arga sudah kandas saat ini. Pasalnya saat itu, saat Arga menghubunginya, ponselnya tertinggal di atas meja kantor. Alhasil, rekan kerjanya, yang mengangkat panggilan itu.
Bukannya marah atau curiga apa yang terjadi di Jepang sana, Arga kembali menghubunginya tak lama kemudian, menanyakan keberadaan ponselnya tadi, lalu baru menjelaskan bahwa tadi, pria itu menghubunginya dan seorang pria yang mengangkatnya.
Mendengar itu, Livia memutuskan panggilan dengan cepat dengan alasan ingin istirahat.
Padahal, setelah panggilan itu terputus, Livia sudah banjir air mata. Hampir semalaman Livia menangisi itu, menangisi sikap dewasa Arga.
KAMU SEDANG MEMBACA
IMPOSSIBLE✔
Teen FictionBersama dengannya, adalah suatu ketidakmungkinan. 📍31082018