Bagian dua puluh empat
Maafin gue sekali lagi, Liv.
-
-
-
-
-Bagi sebagian orang, luka itu sudah menjadi teman abadi. Terkadang, setiap luka yang tertanam, tak pernah dianggap sebuah luka karena terbiasa. Lingkungan dan kehidupan yang keras kadang memaksa seseorang menjadi kuat bahkan disaat raga sudah rapuh karena hinaan.
Bagi Livia, bagaimanapun takaran sebuah luka, tak pernah bisa hilang begitu saja di dalam ingatannya. Rasa sakit hingga malu yang tercampur saat itu tidak bisa membuat dirinya menjadi baik lalu memaafkan orang-orang yang menyakiti dirinya. Hinaan dan cacian yang didapat hanya karena bersama Afkar kala itu, sudah menjadi alasan kuat untuk membangun benteng pertahanan. Bahkan, untuk membayangkan kembali masa kelam itu, seperti mendapat luka baru. Livia tidak mampu.
Namun, saat dirasa hidupnya mendapat sebuah kebahagiaan, rasanya luka itu seperti tertimpa sesuatu. Tak terasa, tak terlihat lagi. Memiliki teman-teman baiknya, lalu kembali bersama Arga dalam suatu hubungan, seperti memberikan dirinya alasan lain. Alasan untuk berdamai dengan masa lalunya.
Begitupun saat ini. Livia seakan memiliki alasan yang membuatnya mau bertemu Afkar hari ini. Di kafe dekat Nusantara Bakti.
"Udah lama?"
Afkar mendongak lalu tersenyum tipis. Melihat itu, mau tak mau Livia ikut tersenyum. "Maaf ya, tadi agak macet,"
"Nggak masalah, mau pesen dulu nggak?"
Livia duduk dihadapan Afkar. Melirik sebentar pada jam dinding di kafe, senyum Livia memudar. "Nggak deh, nggak bisa lama soalnya,"
"Oh oke,"
"Jadi ... kenapa lo ngajak ketemuan?"
Semalam, Livia mendapat satu pesan singkat dari Afkar lewat e-mail. Bukan tanpa berpikir Livia memutuskan ini semua, hampir separuh waktunya terbuang untuk memikirkan kembali ajakan Afkar. Karena, Livia sangat tau bahwa bertemu dengan Afkar sama dengan bertemu dengan kenangan lama. Namun, entah kenapa pagi tadi, Livia memutuskan bertemu Afkar.
Semoga pilihan yang baik.
"Gue mau minta maaf,"
"Yang mana Afkar? Lo tau kan kesalahan lo banyak banget," serius, Livia hanya bercanda. Tapi, melihat raut wajah Afkar yang terlihat tegang membuat Livia tak bisa menahan tawanya. "Bercanda Kar, serius banget."
Afkar tersenyum kaku. "Gue mau minta maaf. Semuanya Liv. Apapun itu. Kali ini gue harap lo beneran maafin gue. Gue nggak yakin gue bisa pergi dengan perasaan bersalah ini,"
"Pergi? Kemana?"
"Singapura. But, dalam jangka waktu yang belum bisa ditentukan. Jadi, gue mohon banget lo bisa maafin gue, Liv."
Livia melotot. Terkejut pun tak bisa berkata apa-apa. Perasaan ini, bukan perasaan sedih karena ditinggalkan, tapi entah kenapa Livia merasa ada sesuatu yang hilang. "Afkar..."
"Jadi gue mohon Liv---,"
"Iya! Gue maafin lo Afkar. Semoga lo bahagia dengan kehidupan lo dimanapun itu. Yaampun, kenapa berasa nggak nyangka banget ya. Padahal pernah ditinggal setahun,"
KAMU SEDANG MEMBACA
IMPOSSIBLE✔
Teen FictionBersama dengannya, adalah suatu ketidakmungkinan. 📍31082018