double Y

6.9K 595 69
                                    

Anak laki-laki jangkung dengan mata bulat membelalak dan berkilat-kilat—mengingatkan pada ayahnya—dan bekas luka samar di dekat tulang pipi yang ia dapat karena jatuh ketika bertengkar memperebutkan nintendo dengan adiknya sewaktu kecil dulu itu menuruni tangga dengan tergesa-gesa, seragam putihnya bahkan tidak masuk ke celana abunya dan rambutnya masih belum tersentuh sisir.

"MAH, MAH, MAH, LIAT TOPI SAMA DASI AKU GAK??" Suaranya dengan cepat menciptakan keributan kecil di ruang makan yang tadinya tenang tersebut.

"Hayo, kebiasaan kan." Dyo berkomentar pendek setelah melirik sekilas putra sulungnya yang sempat mencomot makanan yang tersaji di meja di tengah pencarian topi dan dasinya.

"MAAAH, AKU UPACARA. NANTI DIJEMUR KALO GAK PAKE DASI SAMA TOPI." Ujarnya lagi, kali ini dengan mulut penuh makanan.

"Kamu kan udah sering Mama bilangin, gantung topi sama dasinya di gantungan belakang pintu di kamar. Masa gitu aja susah sih?" Nisa berbalik dari konter, meletakkan empat gelas susu full cream di atas meja.

"Udah aku taro situ, Maaaah!! Terus ilang, gak ada."

"Masa ilang, emangnya siapa yang mau ngambil." Chanu meraih satu gelas yang paling dekat dengannya lalu memberikannya pada adik perempuannya lebih dulu. "Itu mah kamu aja lupa naro."

"YEEE, BENERAN. Kayaknya di kamar aku ada jinnya deh." Tangannya menepuk pundak Chanu, minta diambilkan susu juga seolah mengulurkan tangan ke seberang meja membutuhkan tenaga yang setara dengan memindahkan batu kali.

"Di manapun pasti emang ada jin, Kak. Manusia gak hidup sendirian di muka bumi, pasti ada--."
"Bangsa jin, makhluk halus. Iya, Pah, aku tau."

Hanya Kuki, anak sulungnya yang bisa memotong ceramah Dyo tanpa merasa bersalah.

Dyo hanya menarik napas, sudah sangat paham kelakuan anaknya lalu hanya memperingatkan Kuki supaya duduk selagi meminum susunya.

"Minum jangan sambil berdiri gitu ah,"

"Mah?? Gimana dong?? Aku gak mau dijemur suruh hormat bendera." Kuki memasang tampang memelas. "Aku gak masuk aja ya? Mama telepon wali kelas aku."

"Eeeeh, apa-apaan. Masa gak ada topi sama dasi aja gak masuk??. Kamu udah kelas tiga. Jangan coba-coba bolos."

Untuk sejenak Kuki bersyukur Nisa tidak mengatakan itu sambil memotong-motong sayur, karena pasti menambah kesan horror, ditambah lagi bonus tatapan Dyo dari balik cangkir kopi yang kini terarah lurus padanya.

"Ayo sini, Mama cari. Kalo nanti Mama liat ada di kamar kamu, gimana?"

"Hehe." Kuki tahu pasti bahwa Nisa akan menemukan topi dan dasinya. Semua ibu di dunia punya keahlian khusus menemukan barang yang kita cari. Dan ia sudah siap mendengar: 'Nih, ini apaaa? Kamu nyarinya pake mulut sih, bukan pake mata.'

"Kakak kamu," Dyo memulai ketika Kuki dan Nisa berlalu ke kamar Kuki, "Ada perubahan gak di sekolah?"

"Perubahan maksudnya gimana, Pah?" Chanu yang sudah selesai sarapan mengenakan jaketnya.

"Perubahan, jadi lebih rajin gitu? Sekarang kan dia udah kelas tiga." Ada pengharapan dalam suara Dyo membuat putra keduanya harus berpikir sedikit keras sebelum menjawab.

"Kalo rajin atau nggaknya aku gak tau sih, Pah. Aku harus tanya temen sekelasnya. Tapi sejauh ini, Kakak gak sebadung waktu kelas dua sih."

Dan Dyo tahu 'sejauh ini' yang dimaksud anaknya itu berarti baru tiga minggu, belum bisa dipastikan kalau Kuki tidak akan badung lagi ke depannya. Ingatan Dyo berputar pada semester tahun lalu, sewaktu Kuki kelas dua, Dyo harus 'ditahan' dulu oleh Kepala Sekolah seusai mengambil rapor Kuki karena Kepala Sekolah merasa perlu memberitahu bagaimana Kuki di sekolah (pernah membuat keonaran dengan menyalakan petasan di dalam kelas, dan menyalakan spring cooler di lapangan rumput ketika sedang dilangsungkan upacara) serta membicarakan nilai-nilai Kuki yang sedikit mengkhawatirkan.

First Son, First Prince and His Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang