epilogue

5K 515 70
                                    

"Pah," panggil Kuki seraya terengah, meski ia baru saja meneguk sebotol penuh air mineral.

"Masih kuat gak kamu?" papanya tertawa kecil melihat Kuki sudah kehabisan tenaga, padahal cuma lebih beberapa meter dari trayek bersepeda mereka yang biasa.

"Ntar dulu deh, Pah, istirahat lagi, bentar." Sorot mata Kuki penuh permohonan membuat Dyo menyerah dan menuruti putranya. Mereka menepi dan duduk di sisi trotoar jalan, di bawah naungan pohon.

Untuk beberapa saat, mereka hanya memperhatikan lalu lalang orang yang jogging maupun bersepeda juga seperti mereka.

"Pah," panggilan Kuki kembali membuat Dyo melirik. "aku jadi inget waktu papa ngajarin aku sepeda dulu, pas aku kecil."

Dyo tersenyum mengingat masa itu lagi, "Iya, yang papa pernah diem-diem nyopot roda kecil di sepeda roda empat kamu kan? Terus kamu pas udah ngerasa bisa, kamu langsung ngebut, nyusruk di pasir?"

Kuki tertawa, berapa kalipun itu diceritakan kembali, tetap lucu, dan ia ingat detailnya.

"Pas udah gede aku sadar lho, Pah."

"Sadar apa?"

"Sadar kalo papa semangat dan usaha banget supaya aku bisa naik sepeda karena papa ngeliat temen-temen aku di sekolah pada naik sepeda kan? Papa gak mau anak papa ngerasa ditinggal kan?"

Sinar mata Dyo perlahan melembut, senyuman di wajahnya makin lebar, ia jadi teringat isi surat Kuki untuknya yang diberikan saat ia ulang tahun, masih ia ingat sampai sekarang.

"Pah, papa ada sama aku pas aku bisa jalan pertama kali terus pas aku bisa naik sepeda pertama kali, bisa naik motor pertama kali, bisa naik mobil pertama kali—walaupun sampe sekarang belom diizinin bawa mobil papa—semua awal langkah aku selalu sama papa. Dari papa aku belajar banyak, termasuk tadi, papa gak mau bikin aku ngerasa aku ditinggalin kalo gak bisa naik sepeda.

"Aku jadi paham kalo keluarga gak bakal ninggalin aku sendirian, selalu ngeusahain yang terbaik buat aku, selalu jadi tempat aku pulang, papa, mama, Dek Chanu, Dek Anggi,"

Dyo berkedip-kedip, ia jarang menangis tapi ketika putra sulungnya tiba-tiba seperti ini, seperti ada sesuatu yang mendesak untuk keluar di matanya.

"Sekarang giliran aku, mau jadi yang terbaik buat kalian semua. Papa tunggu ya, bentar lagi aku sukses, bikin bangga ."

Dengan pertahanan air mata yang tinggal setengah, Dyo menatap anak sulungnya lalu menepuk-nepuk punggungnya,

"Iya, papa tunggu, tapi kamu harus tau Kak, gak usah nunggu sukses juga papa udah dan selalu bangga sama kamu. Denger kamu ngomong gitu tadi aja, udah masuk daftar momen terbaik papa selama jadi ayah."

Kuki tersenyum memamerkan gigi kelincinya yang lucu, untuk sekejap, Dyo merasa seperti melihat Kuki kecil, yang masih belum bisa naik sepeda roda dua, yang merengek minta dibelikan mainan gelembung dan es krim.

Waktu sudah berlalu dengan cepat, kini putra sulungnya itu sudah semakin tinggi, semakin dewasa, dan sudah memahami banyak hal. Ah, betapa cepat Pangeran kecil ini tumbuh.

"Nah, udah istirahatnya? Lanjut jalan lagi?" tanya Dyo, masih dengan pancaran sinar bangga, bangkit berdiri dan mengulurkan tangan.

Kuki menangkap uluran tangan itu lalu bangun dan mengepalkan tangannya ke udara, "Yuk lanjut! Beliin bubur sumsum buat mama sama adek kan abis ini?"

"Iya,"

"Aku dua porsi ya Pah? Ya? Ya?"

Dyo menggeleng-geleng sambil tertawa, "Iya, Kak."

First Son, First Prince and His Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang