Dekchanu menuruni tangga sambil membawa gelas kosong yang tadinya berisi susu dingin. Matanya memicing melihat kakaknya setengah berjongkok di depan kamar orang tuanya, merapatkan kupingnya di daun pintu.
"Kak, kamu ngapain? Nguping?" Tegur Chanu membuat Kuki sedikit terlonjak.
Kuki buru-buru menaruh telunjuknya di bibir. "Diem." Bisiknya.
Chanu tahu bahwa ia tidak pernah menguping pembicaraan siapapun kecuali memang terdengar, itu menyalahi norma sopan santun, tapi sikap kakaknya membuatnya penasaran hingga akhirnya ia ikut merendahkan tubuhnya dan mendekat sedikit ke pintu.
Terdengar percakapan Mama Papanya dengan nada yang kurang mengenakkan dari dalam kamar.
"Kenapa Kuki tiba-tiba harus berhenti les??" Intonasi Nisa seolah menuntut penjelasan yang detail sementara Dyo sebaliknya, menjawab pertanyaan Nisa dengan datar, meski ada emosi tersembunyi di sana.
"Bukan tiba-tiba Nis, kamu denger sendiri tadi anaknya bilang apa."
"Bilang apa?"
"Bilang soal guru privatnya itu anak siapa."
"Terus kenapa?" Suara Nisa mulai meruncing, "Yo, aku beneran bingung sama kamu. Kenapa kamu masih permasalahin soal dia. Kamu liat, sekarang dia udah punya anak segede Kuki, dan kamu masih antipati sama dia?? Kamu kenapa sih?"
"Kamu sengaja ya Nis?" Kali ini nada Dyo ikut menukik seperti elang yang bermanuver. "Kamu tau dari awal Aris itu anak siapa, jadi kamu sengaja ngelesin Kuki di dia."
"Yo, jangan kayak anak kecil, anak kamu udah tiga. Asumsi kamu tuh nonsense." Nisa menarik napas dalam-dalam. "Aku aja baru tau dari Kuki kalo Aris itu anaknya Aryl, kamu tau sendiri, aku gak pernah komunikasi lagi sama Aryl." Pengucapan nama itu sepertinya menimbulkan efek aneh yang berpengaruh pada atmosfer di dalam ruangan itu.
"Gimana kalo ternyata aku gak tau?"
"Apa?"
"Gimana kalo sebenernya kamu komunikasi sama dia?"
Sesuatu dalam suara ayahnya yang sedingin kutub es membuat Kuki dan Chanu berpandangan di luar kamar. Disusul jawaban Nisa yang terdengar lelah dan ingin segera menyudahi pembicaraan ini.
"Terserah kalo kamu gak percaya sama aku. Terserah kamu Yo." Desah napas Nisa mengingatkan Kuki pada sikap Mamanya setiap kali ia mencari alasan untuk bebas kewajiban cuci piring, campuran marah sekaligus pasrah. "Aku masih gak ngerti kenapa kamu masih mempermasalahkan soal Aryl. Dia punya kehidupan sendiri, sama kayak kita. Kalopun aku tau duluan Aris itu anak dia kenapa juga aku ngelarang Kuki les sama Aris? Emangnya Aris salah apa? Emangnya Aris bakal ngapain Kuki? Yang punya masalah sama kamu itu ayahnya, gak ada hubungannya sama anak-anak kita, dan itu juga udah kejadian bertaun-taun lalu, Yo. Kenapa masih diributin?"
Kuki dan Chanu saling berpandangan lagi.
"Aku juga gak ngerti sama kamu Nis, kenapa kesannya kamu masih mau berhubungan sama dia sih?"
"Di bagian mananya aku nunjukin kesan itu?"
"Kalo kamu biasa aja, aku mungkin bakal berpikiran lain. Kamu dari tadi ngotot tetep ngelesin Kuki aja udah cukup nunjukin, Nis."
"Yo,"
"Udahlah. Mulai bulan depan Kuki langsung bimbel aja, gak usah les privat segala, kalo masih kurang, aku yang bakal ngajarin, aku usahain pulang cepet. Weekend juga aku bakal tetep ngajarin."
Kuki menelan ludah, ia menatap adiknya lagi di depannya dengan wajah menggelap, seperti siap menerima siksaan.
"Kamu ternyata se-childish ini, Yo."
KAMU SEDANG MEMBACA
First Son, First Prince and His Love Story
Novela JuvenilAnother side-story from Kyungnis Series. About their first son. M. Rizky Kusuma Haqiqi (Kuki) Enjoy! (tapi gak janji bakal rutin update, okay. hehehe)