"Helmnya sini di gue aja, besok gue jemput."
Tercipta jeda agak panjang setelah Aris mengucapkan kalimat sarat ketegasan itu. Tangannya terulur, semakin menekankan supaya Yeri mempercayakan helmnya padanya sementara Yeri diam-diam melirik Kuki.
"Kenapa mesti ditaro di lo? Ini kan udah di depan rumah dia." Cetus Kuki dengan nada cuek yang dibuat-buat.
"Ki," sela Yeri pelan, ia menangkap mata galak Aris menyorot Kuki tajam, "lo mau ngapain sih sebenernya di sini? Udah malem."
"Ha! Itu dia! Udah malem!" Kuki memasukkan kedua tangannya ke saku jaket dan balas menatap Aris, "Kalian ganti jadwal les sekarang? Sampe malem gini? Terus lokasinya ganti juga jadi di XXI?"
Yeri tersentak. Sesuai dugannya, Theo si generasi lambe turah itu yang melaporkan. "Ki," keluhnya.
"Apa?"
"Kalo lo cuma mau protesin itu doang, mending kita omongin nanti-nanti aja, gue capek, mau tidur."
Kuki kini menoleh dan memandangi Yeri lekat-lekat, "Gue bukan cuma mau ngomongin itu."
"Terus?" Yeri diam-diam melirik Aris lagi.
"Gue mau ngomongin yang harus diomongin, soal jurnal, soal semuanya. Sorry gue telat, soalnya gue gak tau mesti gimana--"
"Pulang." Potong Yeri lagi, kali ini terdengar getir. "Plis, lo pulang aja. Gak ada yang mesti diomongin."
Yeri menundukkan kepalanya dalam-dalam, menyembunyikan ekspresinya yang sudah tidak keruan.
"Lo gak punya hak buat nentuin gue nonton sama siapa, pulang semalem apa, atau mau dengerin lo apa nggak, mending lo pulang sekarang, gue udah bilang gue capek." Masih sambil menunduk, Yeri menyerahkan helmnya pada Aris, seolah menunjukkan bahwa kini matanya sudah terbuka lebar dan sudah memilih jalan lain yang lebih baik.
Kuki menyaksikan itu dengan mulut terkatup rapat dan ada kilat kemarahan di matanya sebelum akhirnya berbalik, "Ya udah, gue pulang." Ujarnya pahit dan menjalankan motornya pergi dari situ. Menyisakan asap knalpot tipis dan sayup-sayup deru motor.
"Yer,"
Saat itulah pertahanan Yeri pupus, bulatan-bulatan air mata bergulir di pipinya dan jatuh menetes ke aspal.
"Kak, makasih ya hari ini, aku seneng, seneng banget. Sampe sepuluh menit yang lalu masih seneng." Isaknya tertahan, membuat Aris mendadak ikut merasa pedih.
Belum pernah sebelumnya ia menghadapi perempuan yang menangis seperti ini. Pikirannya sempat kosong selama beberapa detik, bingung.
Tanpa mengatakan satu patah katapun, Aris melepaskan jaket abu-abu yang dikenakannya dan mengangsurkannya ke depan Yeri.
"Sorry, gue gak sedia tisu."
Yeri akhirnya mengangkat wajah. Di bawah keremangan lampu jalan, Aris masih bisa melihat mata Yeri yang memerah karena air mata, membuat perasaannya ikut kacau.
"Udah, pake ini aja." Ujarnya lagi.
Hingga akhirnya Yeri menerima jaket itu dan memebenamkan wajahnya di jaket Aris.
Tidak sadar bahwa Aris memperhatikannya rekat, seraya memikirkan deretan kemungkinan.
Satu hal yang Aris yakin bukan hanya kemungkinan: Penyebab ini semua adalah perasaan, dan perasaan itu tidak menyangkut dirinya.
Ini tentang Kuki.
Kuki-lah yang gadis ini tangisi.
Satu-satunya gadis yang bisa mengalihkan fokus Aris dari angka dan rumus yang selalu menjadi favoritnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
First Son, First Prince and His Love Story
Ficção AdolescenteAnother side-story from Kyungnis Series. About their first son. M. Rizky Kusuma Haqiqi (Kuki) Enjoy! (tapi gak janji bakal rutin update, okay. hehehe)