"Pah, berhenti dulu dong, Pah." Kuki setengah berteriak pada papanya yang mengayuh sepeda dengan bersemangat di depan.
"Kamu gimana sih, masa lima menit sekali minta istirahat."
"Aus Pah, auuus." Kuki meneguk air putih dalam botol biru yang disiapkan mamanya.
"Hayo, minumnya sambil duduk." Dyo memarkirkan sepedanya di depan dekat sepeda Kuki lalu menyandarkan punggung di jembatan yang membentang di danau buatan kompleks tersebut.
Kuki menurut dan duduk di bagian bawah pagar jembatan di sebelah Dyo, meneguk airnya lagi.
Setelah usaha keras dari mulai memercikkan air ke wajah Kuki, menggulungnya yang tidur pulas dengan selimut sampai seperti dadar guling, dan mematikan AC kamar, akhirnya Dyo bisa membangunkan putra sulungnya itu untuk sholat subuh dan menahannya tidak tidur lagi supaya langsung menemaninya bersepeda keliling cluster.
Sebenarnya Kuki sudah nyaris mendamparkan tubuhnya kembali ke kasur masih mengenakan sarung, karena baginya, hakikat hari libur adalah memberikan kesempatan bagi umat manusia untuk bangun siang dan tidak mandi, namun Dyo menggunakan senjata terakhirnya yaitu mengancam akan menjual kembali motor baru Kuki. Demi mendengar itu, Kuki langsung tegak bangun, melesat menggunakan hoodie, celana pendek, dan helm sepeda.
"Yuk Pah! Sepedaan sampe ujung benua pun aku siap!" Serunya walaupun matanya masih beler
Dua bulan sekali memang Dyo megkhususkan jadwal Sabtu paginya untuk bersepeda, kadang sendiri, kadang bersama anak-anak. Anak-anak yang dimaksud di sini adalah Dekchanu karena biasanya, untuk menggerakkan jempol kakinya di Sabtu pagi saja, Dekuki malas.
Biasanya kalau bersepeda dengan Nisa, mereka sambil membawa Dek Anggi, sekaligus mengajak Dek Anggi yang masih bersepeda roda empat itu keliling cluster, lalu pulang setelah membeli bubur ayam
Kalau dengan Dekchanu, Dyo sudah punya trayek sepeda sendiri, sampai memutari cluster dua kali. Setelah itu mereka akan duduk sambil membeli bubur ayam atau bubur sumsum di pinggiran ruko sambil mengobrolkan penggunaan sepeda listrik di masa depan.
Dyo melirik Dekuki yang kini sedang mengaduk-aduk isi saku celananya, mencari earphone. Kalau bersepeda dengan si sulung memang beginiah yang terjadi, lima menit sekali minta istirahat, liat tukang jajanan dikit, minta nepi. Ke mana coba staminanya yang ia gunakan setiap main basket atau futsal?
"Aku capek Pah, lamaan dulu di sini ya."
"Baru segitu capek," Dyo akhirnya ikut duduk di sebelah Kuki, ia ikut meneguk minumannya sendiri. "Katanya mau naik motor."
"Pah, naik motor mah gak usah ngegowes, gak capek."
"Papa jadi inget, dulu waktu kamu kecil, kamu narik-narik kaki Papa yang lagi tidur supaya bangun terus ngajarin kamu sepeda," senyum di wajah Dyo terulas mengingat kenangan masa kecil Dekuki, "waktu itu kamu baru bisa, tapi udah minta Papa copotin dua roda kecil yang dipasang di roda belakang."
KAMU SEDANG MEMBACA
First Son, First Prince and His Love Story
Ficção AdolescenteAnother side-story from Kyungnis Series. About their first son. M. Rizky Kusuma Haqiqi (Kuki) Enjoy! (tapi gak janji bakal rutin update, okay. hehehe)