confused kuki

3.7K 484 260
                                    

Yeri memalingkan wajahnya cepat ketika melihat sosok Kuki yang turun dari boncengan motor Chanu di parkiran sekolah yang harus ia lewati untuk mencapai gerbang masuk. Ia mengembuskan napas keras, harusnya ia tahu, di saat ia setengah mati menghindari seseorang, pasti orang itu akan muncul begitu saja seperti jerawat.

Sebelum Yeri mempercepat langkahnya, Kuki dan Chanu sudah keburu melihatnya. "Hai, Yer!" Sapa Kuki.

Hai katanya.

Hai.

Setelah apa yang terjadi kemarin ketika mereka makan es krim?

Setelah Kuki kemungkinan besar membaca isi jurnalnya?

Kuki bersikap seperti tidak ada yang terjadi sejak kemarin dan Yeri tidak tahu apakah ia harus senang, sedih, atau kesal karena itu. Di satu sisi, ia merasa yakin Kuki membacanya, ia pastilah tahu siapa yang dimaksud Yeri dalam puisi di jurnalnya, di sisi lain ia kesal karena sikap Kuki yang tetap tidak peduli. Atau mungkin pura-pura tidak peduli.

Ia kesal karena seolah hanya dia yang kerepotan dengan perasaan ini, sementara subjek utamanya sama sekali tidak peduli.

Apa salah jika jauh dalam hati Yeri, ia berharap Kuki akan mengatakan sesuatu setelah isi perasaannya dibaca secara gamblang lewat jurnal itu? Apa salah jika Yeri berpikir, kalau setelah membacanya, Kuki bersikap seperti tidak apa-apa begini artinya Kuki tidak punya perasaan yang sama dengannya?

Itu yang dipikirkan Yeri semalaman, setelah bolak-balik bingung ingin membakar jurnalnya atau membuangnya.

Ia tidak bisa memutuskan, mana yang lebih baik? Kuki tahu perasaannya dan bersikap biasa saja seperti sekarang? Menimbulkan berbagai spekulasi menyakitkan dalam kepalanya, atau Kuki tahu perasaannya lalu bersikap canggung?

Laki-laki itu benar-benar sulit dibaca, sekalipun Yeri sudah mengenalnya sejak kecil.

Yeri menggigit bibir, mungkin begini lebih baik, anggap saja kemarin tidak pernah terjadi.

"Hai." Jawabnya, berusaha menyembunyikan perasaan tertahan seakan ada bongkahan batu besar dalam perutnya. Sejak kapan membalas sapaan Kuki menjadi sesulit ini? Yeri mulai benci pada dirinya sendiri karena membiarkan perasaan merepotkan ini tumbuh sejak lama.

Chanu melirik Yeri, mungkin menyadari ada yang aneh dari nada suara Yeri walaupun Yeri hanya mengeluarkan satu kata dari mulutnya.

"Kirain udah gak bareng Kak Chanu lagi berangkatnya." Komentar Yeri, masih dengan suara sedikit tercekat.

"Masihlaaah. Kan motornya baru dateng minggu depan. Hehe." Wajah Kuki berseri-seri. Tidak sadar kalau Yeri sedang menunduk, langkahnya melambat.

"Aku duluan ya." Chanu berkata mirip gumaman, ia melirik Yeri sekilas lagi sebelum berkata pada kakaknya. "Hari ini jadwal aku piket."

"Hari gini ada ya murid model Dekchanu, jadwal piket aja udah kayak jadwal rapat presiden." Kuki menggeleng-geleng sambil merogoh saku jaketnya, mencari permen karet.

"Ya daripada lo, gak pernah piket." Yeri masih dalam upayanya bersikap biasa. "Gue juga duluan ya ke kelas, buru-buru nih, mau nyalin PR." Satu kebohongan lolos dari mulutnya.

Kuki melirik Yeri setelah gagal menemukan permen karet dari jaketnya. "Tumben nyalin PR? Biasanya lo rajin? PR apaan emang?"

"Hm, PR B.Ind." Sahut Yeri, meloloskan satu kebohongan lagi.

"Bikin puisi?"

"Iya." Yeri menjawab asal.

"Kenapa gak ambil dari jurnal lo aja?"

First Son, First Prince and His Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang