Balada Anusapati

96 0 0
                                    

Malam itu bulan mengambang mengantung ribuan jiwa iblis di balik tajamnya pucuk-pucuk cemara
Diselingi deru nafas, aroma darah terciprat berbau anyir mayit
Kuda-kuda seakan dikejar barisan serigala
Manusia-manusia seakan dikejar malaikat maut
Derit nyaring pintu ajal seakan ingin membuka lebih lebar

'Kemarilah kau! Tak usah maju satu-satu!
Majulah semua! Tak takut sedikitpun aku pada massa!'

Luka pedang masih menganga, serempetan panah belumlah mengental
Tombak masih tertusuk di kaki kanan, sedangkan tangan kiri hanya tergantung urat.

'Majulah kalian semua! Tak gentar aku!

Disambitnya parang roboh seorang begundal.
Disabetkannya lagi dua tiga nyawa tiada

'Tak usah kau maju satu-satu!
Rawa rontek jiwaku, wesi kuning tulangku
Tak barang sabetan pedang kalian bagai angin lalu!'

Malam mandi darah, bulan tersenyum dingin
Mati ajal penuh luka, diiring cemara yang berdiri diam kaku
Berdiri diam menghadap jenazah berpeluh darah
Seakan berdoa di pinggir makam.

'Matiku tak lagi seorang hina! Ajalku tak lagi seorang nista!
Majulah kalian semua!
Tameng waja kulitku! Segara geni mataku!'

Dalam gelap malam tiada bintang, bulan hanya membisu.
Diiring lantunan derap langkah kuda dan nafas yang memburu.
Luka bercampur tanah, peluh bercampur darah
Satu insan menerjang puluhan serdadu

Malam makin kelam dan angin makin dingin
Tak disangka dari belakang terdengar lesingan anak panah
Jumawa ia berdiri, masih jumawa ia bersimpuh
Dengan dua anak panah menancap di leher kekarnya
Dalam keremangan bulan wajah bengis itu menyungging senyum
Matanya berkilat penuh amarah, lidahnya tak henti merutuk hatinya tak henti mengutuk

Ia mendekat, keris ditangan kirinya, warangka ditangan kanan.
Dengan sekali gerak cepat ditebaskan keris pada leher penuh luka penuh darah
Leher yang sama terjatuh diatas tanah, mengucur darah dari bekas anak panah.
Anusapati telah menyelesaikan dendamnya.

Journey: Sebuah Kumpulan PuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang