Ia yang lunglai, Ia yang lunglai
Wanita kuat disampingnya menahan bulir yang memaksa turun
Dagingnya yang dingin hanya terbungkus oleh luka sabetan
Gugur layu diatas pangkuan perawan
Yang matanya sayu oleh duka ketujuh
Yang hatinya pilu karena mahkota duriPutranya telah tiada, putranya telah tiada
Terbujur lemah dibalut darah seluruh tubuh
Matanya semerah darah didalam mulutnya terkumpul darah
Tubuh kering kerontangnya telah mulai kaku
Dalam ingatan terakhir pada senja waktu sore
Hingga sore kelabu berwarna kesumbaIa ingin menangis, ia ingin menangis
Menangisi takdir anaknya
Menangisi hidup ibuNya
Pada lukanya muncul kelopak mawar
Bunga terakhir yang Ia berikan
KekasihNya muncul dari kejauhan
Memandang tubuh telanjang yang kini tak lagi hidup dan bernyawa'Bantulah kami ini, tolonglah kami ini'
Aku yang memandikan tubuh telanjangMu ketika Kau lahir
Aku pulalah yang harus membasuhnya ketika Kau wafat
Dengan air mata bahagia aku menerimaMu
Dengan air mata pula Kau harus kurelakan
Karena cintaMu jauh lebih besar daripada cintaku
Tapi ketahuilah kesedihan dan penderitaanku jauh lebih besar dariMu'Satu janji lagi. Satu janji lagi'
Dalam gelapnya lorong Ia masih mencari jalan
Menyusuri pekatnya malam Ia ingin kembali lagi
Dengan berbalut linen putih dan bersolek narwastu
Kembali kepada sahabatNya
Kembali lagi pada BundaNya
Yang menunggu dengan sabar dibalik pintu batuJumat Agung, 15 April 17
Babadan
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey: Sebuah Kumpulan Puisi
PoesíaSebuah antologi puisi Apa yang membuat seorang manusia menjadi manusia? Berkembang biak? Tumbuh? Atau hal lain? Bagiku manusia ada karena perjalanannya. Jejak yang mereka tinggalkan. Manusia menjadi nyata melalui berbagai gejolak. Manusia berjalan d...