Akhirnya pelantikan OSIS secara umum resmi digelar. Senin pagi selesai upacara, murid di SMA Gugus Bangsa ditahan di lapangan untuk menyaksikan pemasangan almet yang sebenarnya bagi sebagian anak nggak penting.
Ajay dan Fiyah telah turun dari podium dan langsung banjir ucapan selamnoat, bunga, dan nggak ketinggalan coklat. Apalagi, Ajay, dia baru saja menjadi ketua OSIS perempuan pertama di Gugus Bangsa, nggak heran dia banyak banget dapet kadonya. Meski demikian, ada yang meragukan kemampuan Ajay sebagai pemimpin.
Sifat Rama yang sekarang mutlak bukan ketua OSIS lagi perlahan melunak. Ia lebih menjadi perhatian pada angakatan Fiyah, belum lagi dari tadi Rama terus memberi semangat pada Ajay dan Fiyah. Belum ada satu kata pedaspun yang Rama lontarkan hari ini.
"Congrats!" seru Rama ketika semua anggota OSIS berkumpul di sebelah masjid sekolah. "Makasih untuk kalian semua. Makasih untuk tahunan gue yang udah setahun mengabdi pada OSIS dan makasih untuk tahunan Ajay yang udah mau repot karena OSIS dan menanggung beban yang kami wariskan."
Semua anggota OSIS tersenyum, mungkin karena perubahan Rama. "Dan gue benar-benar minta maaf untuk segala kesalahan yang gue lakuin, yang angkatan gue perbuat. Jujur, itu semua untuk ngelatih mental kalian aja. Gue juga ngebatin diomongin sana kalian terus," ada nada humor diakhir kalimat Rama.
"Tobat nih, Ram?" celetuk Andra.
Rama terkekeh lalu menatap Yose yang sudah siap dengan kameranya. "Smile!"
Dengan gerakan tiba-tiba, semua anggota OSIS memberi senyum kearah kamera Yose. Gila, gila, gila. Disuruh foto langsung cepet.
Yang terjadi selanjutnya adalah OSIS saling berjabat tangan lalu memberi semangat. Sebenarnya, Fiyah benar-benar sangat menanti momen ini. Satu persatu anggota OSIS meninggalkan koridor samping masjid menuju kelas. Hanya ada Fiyah, Tara, dan Nicholas disini. Mereka mengobrol banyak karena kebetulan mereka satu kelas.
"Nanti aja masuk kelasnya," ujar Tara menghempaskan tubuhnya ke kursi panjang warna cokelat. "Gue bosen pelajaran Bu Rosi."
Fiyah manggut-manggut. Memang benar, pelajaran Bahasa Inggris yang diajarkan bu Rosi membuatnya mengantuk sepanjang kelas beliau belajar. Siapapun kalau mendengar bu Rosi menjelaskan pasti berasa lagi di ceritain dongeng. "Bilang aja alasannya OSIS."
"Tar, lo mau pake almet gue nggak?" tawar Nicholas melepaskan jaket almetnya.
Tara menggeleng cepat. "Ew, geli gue."
Fiyah menoleh ke kiri, hanya ada lorong koridor yang kosong. Kepalanya ia tolehkan ke kanan, ke arah masjid, disana ada cowok jangkung yang awalnya Fiyah kira penampakan.
Sisa air menetes dari rambutnya, tangannya sibuk menurunkan gulungan celana abu-abu. Saat cowok itu menoleh kearahnya, wajahnya berseri efek air wudhu.
"Subhanallah, Ishak," gumam Tara di sampingnya.
Wajah Ishak kembali menunduk ketika Fiyah memandangnya dengan rasa kagum. Ia jalan menunduk tanpa menoleh sedikitpun kearah mereka bertiga.
Nicholas bangkit lalu berseru. "Ishak!"
Cowok itu menoleh. "Kenapa, Chol?"
Nicholas mengernyit. "Eum, rada ambigu ya, Shak."
"Sori deh, Nichol," ralat Ishak seraya terkekeh pelan. "Eum, gue ditungguin Bu Erda, nih. Kalau ada perlu, nanti gue samperin lo, deh. Assalamualaikum."
Nichol manggut-manggut, Fiyah dan Tara melongo. Orang sibuk begitu, ya?
+++
Bunyi klik dari kamera membuat Ishak mengerjap beberapa kali. Ishak memanyunkan bibirnya kala Diaz memotret tanpa aba-aba.
"Ish, apaan, sih," risih Diaz. "Nanti Bu Erda balik baru tau rasa lo."
"Yeuu," cibir Diaz. "Palingan masih lama."
Ishak berbalik badan, menghadap Dinda yang baru saja terpilih menjadi sekretaris OSIS. "Din, lo duduk bareng gue aja."
Senyum merekah terukir di wajah Dinda. Siapa yang tahu kalau cewek itu diam-diam punya rasa untuk Ishak.
Diaz melotot. Sebelum Dinda membalas, ia lebih dulu menyerobot bagian Dinda berbicara. "Enak aja. Nanti masa gue duduk sama Caca, sih? Bisa pegel badan gue digebukin."
"Alay," sahut Dinda lalu kembali menatap Ishak.
Cowok itu, Ishak, menunduk. "Gimana, Din?"
"Cewek sama cowok itu nggak boleh deket-deketan."
"Kursi gue sama Ishak kan nanti nggak dempet," sela Dinda lalu bangkit dari duduknya mengusir Diaz. "Awas, ah."
Ishak tersenyum lebar. "YESS!"
Diaz meringis kesakitan ditimpuk Dinda menggunakan tempat pensilnya. Setahu Ishak, di dalam tempat pensil itu ada stepler. Siapa yang mau menolak ajakan Ishak untuk duduk bareng? Siapa yang mau menolak ajakan gebetan untuk duduk di sampingnya? Dinda nggak akan mau.
Bu Erda kembali datang dan mulai mengajar. Ishak berusaha fokus, tapi suara bisik-bisik Diaz dan Caca membuat konsentrasinya buyar. Dinda di sampingnya senyum-senyum.
"Lo ngerti nggak?" bisik Dinda mendekatkan wajahnya ke telinga Ishak.
Cowok itu sedikit menjauh lalu menggeleng. "Nggak. Lo?"
Dinda ikut menggeleng lalu nyengir. "Nggak, sih."
"HAHAHA," suara Diaz menggelegar dari belakang. "Anjir kocak!"
Seluruh pasang mata di kelas menatap Diaz. Belum lagi mata bu Erda yang hampir melompat dari tempatnya. Diaz? Nyengir cengengesan.
"Yas, berisik bego," desis Dinda, matanya nggak kalah tajam dari bu Erda di depan.
Suara tawa Diaz mulai mereda. Kini bu Erda berjalan kearahnya, menatapnya lebih sangar dari yang paling sangar. "Kenapa lagi, Pram?"
Kalau bu Erda memanggil Diaz dengan nama tengahnya, artinya dia sedang murka. Diaz harus hati-hati dalam berbicara dan pandai mengambil hati bu Erda, khususnya saat genting seperti ini.
"Diaz, Caca, keluar!" perintah bu Erda, suaranya jauh lebih seram saat ini. "Nggak ada alasan lagi!"
Dinda terkekeh pelan sementara Ishak menatap ngeri bu Erda. Setelah pengusiran secara tidak hormat ke Diaz dan Caca, bu Erda kembali menjelaskan dan memberi lima soal.
"Nih apaan, sih. Soalnya lima tapi beranak," gerutu Dinda, tangannya mencorat-coret bagian belakang buku.
Ishak mengambil pulpen biru punya Dinda lalu menulis di bagian belakangnya.
Semangat!
Senyum Dinda kian merekah menatap tulisan ceker bebek ala Ishak. Sementara Ishak yang ditatap Dinda hanya menunduk. Ishak terlalu kaku untuk ditatap. Ishak nggak akan siap.
"Gini loh, Din," Ishak menjelaskan. "Kalau nggak bisa pake rumus, pake logika aja."
Dinda mengernyit bingung. "Pake logika gimana?"
"Gunain otak lo," ujar Ishak. "Dijamin bisa, deh."
Dinda menghela napas gusar. "Otak lo sama gue kan beda, Shak."
"Iya, deh," sahut Ishak. "Yauda sini gue buatin rumus baru."
"Emang bisa?"
"Logika," ulang Ishak dibalas kekehan kecil oleh Dinda.
Author Note
Ditulis pada tanggal 24 Juni 13.23 sambil nonton Ayat Ayat Cinta di Trans TV.
Anna Minnete. HEHE
KAMU SEDANG MEMBACA
Osis vs Rohis
Teen Fiction"Kita nggak bisa pacaran. Kita jalanin aja ya." cowok itu, Ishak. Sial, airmata nya langsung mengalir begitu saja. Namun dengan segenap kekuatan untuk mengangguk, cewek itu melakukannya. "Aku nggak mau pacaran, karena takut kita putus. Cuma gamau ke...