Gue sama Aisha telah tiba di Jakarta, tepatnya di Stasiun Jakarta Kota. Gue langung pulang karena badan gue agak sakit. Mulanya, Aisha mengajak gue untuk makan terlebih dahulu. Namun berhubung badan gue sakit, gue tolak ajakannya. Padahal lo semua tahu, kesempatan tidak akan datang 2 kali kecuali Tuhan mengizinkan.
Gue segera mencari ojek. Dan sungguh, cuaca sore ini panas sekali. Matahari tidak seperti biasanya. Udah badan gue panas, masih ditambah cuaca panas. Uh.. double panas jadinya. Akhirnya, gue dapet tukang ojek, eh.. maksud gue ojek. Gue segera naik dan menunjukkan alamat rumah gue. Gue pulang.
***
"Plengki!!!!" teriak gue pada Plengki karena di depannya ada anak kucing 3, lucu-lucu pula.
"Meong..." jawab Plengki datar.
"Zomi mana? Mereka anaknya Zomi Pleng??"
"Meong... meongg.."
Tiba-tiba Plengki berlari dan dengan segera gue ikuti. Dia berlari ke arah kamar gue. Gue sendiri heran, kenapa sih Plengki kaya' orang panik. Tunggu! Orang? Hehe,.. 😆. Dan tak disangka, tak diduga. Ada Zomi tidur di kasur gue.
"Plengki.. Zomi tidur. Lo mau apa? Zomi nakalin lo?? Atau.. Lo yang nakalin Zomi??"
"Meong..."
Entah mengapa Plengki seperti memberi isyarat ke gue. Gue masih belum ngerti. Mungkin, jika Plengki bisa berbicara, dia akan membicarakannya. Dan mungkin, Plengki kesal sama gue karena gue orangnya lola. Kalau dipikir-pikir nih, jika gue jadi Plengki dan majikan gue nggak ngerti-ngerti, gue pasti juga bakalan emosi. Nggak hanya itu, kalau gue, gue juga bakal mencakari majikan gue ini. Perlahan, gue membangunkan Zomi. Namun, tidak ada pergerakan dari Zomi. Gue lantas menoleh ke arah Plengki yang berada di belakang gue. Dia lalu mempraktikkan gaya kucing mati. Dan Zomi?? Berarti...
"Zomi gue!!!!" teriak gue meluk Zomi yang tanpa sadar gue melupakan rasa sakit gue.
"Meong...." ucap Plengki yang sepertinya juga berduka.
Gue lalu menguburkan Zomi di belakang rumah. Gue sangat sedih atas kematian Zomi. Gue mendoakan arwahnya agar tidak berbuat usil sama seperti ketika dia masih hidup. Plengki duduk di samping gue. Gue sedih. Bukan sedih karena Zomi mati, namun sedih karena nanti tidak ada yang mengurus anak-anaknya. Dan ujung-ujungnya, gue lagi. Hehe, bercanda. Gue sedih dua-duanya kok.
"Pleng. Masuk yuk.. kita ikhlaskan saja, semoga arwah Zomi tenang di sana."
"Meong.."
***
"Duh.. gue pusing deh! Yang satu nangis, yang satu nakal, yang satunya lagi diam kaya' patung. Kalian yang sabar ya.. gue lagi buatin makan nih.." ucap gue di dapur dan ditemani oleh ketiga anak almarhumah Zomi.
"Meong..."
"Meong... meong..."
"Meong..."
"Meong...." Plengki ikut-ikutan.
"Plengki lo diem aja ya! Jangan ikut-ikutan!!"
Akhirnya, makanan untuk ketiga anak kucing ini siap. Mereka lantas menyantap makanan dengan lahap. Gue nggak habis pikir, ternyata punya anak kucing susahnya minta ampun. Gue nggak tahu lagi harus kemanain anak kucing ini.
Ketiga anak almarhumah Zomi ini gue beri nama. Pertama, kucing yang bandelnya minta ampun dan susah diem namanya Zeo. Wajar kalau dia bandel, soalnya dia cowok. Kedua, kucing yang cengeng, dan berisik tiap kali dinakalin sama Zeo namanya Zoi. Dia cowok, namun entah mengapa, dia bisa cengeng seperti itu. Hm.. bawaan lahir mungkin. Dan yang ketiga, kucing manis dan penurut namanya Zea. Kucing ini cantik, pendiam, nurut, nggak nakal, dan nggak cengeng. Sama kaya' majikannya. Bedanya, kalau majikannya itu ganteng.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Jomblo Ngenes
HumorGue Arya, dan gue jomblo. Jomblo ngenes tepatnya. Jadi jomblo selama bertahun-tahun itu pahit. Sampai gue pengen muntah dibuatnya. Bebas sih bebas. Tetapi, kita nggak akan pernah bisa pamer gebetan ke manapun kita pergi. Sesek. Senep. Baper. Laper...