20. Malam yang Mencekam

97 11 21
                                    

   Seminggu telah berlalu, hari ini, gue memutuskan untuk menuruti ajakan Guruh. Waktu menunjukkan pukul 04.00 WIB, memang masih terlalu pagi. Banget malah. Gue sengaja bangun pagi agar nanti sampai di Yogyakartanya tidak kemalaman. Gue lalu menyiapkan semua barang yang ingin gue bawa. Dan rupanya, tas gue tidak muat. Pasalnya, barang yang gue bawa melebihi daya tampung tas gue. Huh! Gue jadi harus mengurangi kapasitas barang gue. Oke, fiks!!

   Setelah semua siap, gue bergegas mandi dan memakai baju terkeren yang gue punya. Nggak keren-keren amat sih. Tetapi lumayan lah..

   Hari sudah mulai pagi, matahari mulai menampakkan sinarnya. Gue lalu berpamitan dengan kedua orang tua gue.

"Ma.. pa.. Arya pamit ya??" pamit gue.

"Hati-hati ya.. uangnya cukup tidak??" tanya papa.

"Mudah-mudahan cukup pa.." jawab gue.

"Ya sudah, kalau uangnya cukup.. Gih, sana!" balas papa.

"Hihh.. papa gimana sih? Gue kan cuman basa-basi biar uangnya ditambah.. eh malah enggak ditambah. Pakai diusir segala lagi.." batin gue sedikit kesal.

   Gue lalu mencium tangan mereka. Tak lupa, gue berpamitan dengan si ganteng Alfin, dan si cantik Adzkia. Setelah semua beres, gue pergi naik ojek menuju Stasiun Jakarta Kota.

***

   Perjalanan ditempuh selama 8 jam. Ya.. lumayan cepat lah. Perkiraan gue sih, gue sampai di sana pukul 3 sore, atau paling enggak sore hari lah. Dan ini sudah jam setengah tiga sore. Tinggal beberapa menit lagi gue sampai. Suasana cukup dingin karena di luar sana hujan. Gue hanya bisa meratapi nasib gue di jendela kereta seraya meletakkan tangan gue di jendelanya. Sumpah. Mirip sama orang yang lagi putus cinta. Namun di sini konteksnya bukan putus cinta, melainkan putus jodoh. Hwaaaa.. Aisha... 😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭 #kebanyakan ya?? 😆

"Kapan sampainya coba? Gue mual nih. Nggak betah lama-lama di kereta." ucap gue pelan seraya memandang seisi kereta.

   Tak disangka, muncul sosok pria bertubuh kekar di samping gue. Dia langsung duduk begitu saja di samping gue seenak jidat. Gue kesel. Dia tuh harusnya tahu diri sedikit lah. Badan udah gede, masih aja nyelip di sini. Uhh...

   Gue mulai merasa nggak enak. Yang tadinya gue duduknya longgar, sekarang menjadi sempit pit pit pit. Sontak gue teringat sama cerita papa dahulu, kalau ketemu sama orang yang tinggi, berbadan besar, gerak-gerik mencurigakan harus segera dijauhi. Kemungkinan besar dia adalah preman. Gue panik. Ya jelas lah. Gimana nggak panik kalau di sampingnya ada preman?? Gue lalu mengeluarkan ide gue yang tinggal satu. Beneran kok tinggal satu. Gue nggak bohong. Gue buru-buru pergi ke kamar mandi. Tak lupa, tasnya gue bawa. Takut ada apa-apa sama doi. #doi di sini maksudnya tas. Jangan salfok oke?? Nanti ada aqua loh..

***

"Mateng deh gue! Kamar mandinya sempit, bau lagi. Mana keretanya dari tadi goyang-goyang terus. Nggak tahu gue mual apa?! Peka dong...." keluh gue di kamar mandi. "Ngg.. premannya sudah pergi belum ya? Semoga aja udah pergi.." lanjut gue.

   Perut gue nggak enak. Rasanya gue pengen muntah saat ini juga. Gue lalu membuka tas gue, berharap ada plastik di dalamnya. Namun...

"Dompet gue? Dompet upin-ipin gue?? What!! Dompet gue hilang!!!!!" gue teriak panik, tapi pelan. Kalau keras, ya nanti seisi kereta denger lah. Terus pintu kamar mandi didobrak, dan mereka memergoki gue sedang mencari dompet gue. Parahnya kalau mereka memergoki gue ketika gue melinguk ke klosetnya. Nah.. parah kan? Duh, malunya andai seperti itu...

Balada Jomblo NgenesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang