Bab 20 - Di balik pintu

1.2K 93 1
                                    


Assalamu'alaikum,  Kak BlueHadBlack? Saya hanya ingin menyampaikan,  bahwa proofreader kami yang baru, mengundang Anda untuk hadir ke kantor. Beliau selaku penanggung jawab langsung. Terima kasih.

Penanggung jawab langsung? Pengganti Mas Kino? Cepat sekali dapatnya. Ya,  yang penting bukan Bungas aja. Tapi,  Bungas tidak paham tenang penanggung jawab ini kan? Harusnya iya, karena aku sudah bilang untuk kali ini jangan editor yang menjadi penanggung jawab pekerjaan dan kontrakku selama bekerja sama dengan Penerbit Alex Gagas. Tapi kalau proofreader baru terlalu beresiko, belum tentu menjamin. 

Wa'alaikumussalam,  proofreader baru?

Aku menulis jawaban tersebut, tapi aku menghapusnya.  Cancel.  Sepertinya lebih baik bilang ke manager langsung, untuk jangan proofreader baru yang jadi tanggung jawabku.

Aku meng-email permohonan kepada manager,  dan sayangnya jawaban pun tidak memuaskan,  tidak ada pegawai lain. Lalu aku butuh pikiran jernih untuk menjali kerja sama baru. 

****

Sudah hampir tiga hari
Bungas berlagak aneh. Setiap bertemu aku,  di kelas, di jalan,  berhadapan tanpa sengaja,  dia selalu berbelok, bertindak aneh,  atau terkadang ngomong sendiri. Aku biarkan dia bereksperimen dengan dirinya,  tapi lama-lama aku terganggu.

Seperti kemarin, aku sedang berjalan sambil mendengarkan musik.  Kami berpapasan,  dia memanggilku,  dan berbicara apa entahlah,  dari kejauhan. Aku dekati dia dan melepas earphone.  Tetapi dia malah pergi meninggalkanku begitu saja.  Apa aku ada salah? Karena saat itu matanya mendelik,  dan bibirnya terkatup.

Lalu tiba-tiba Bungas menghampiriku di kafe ini. Menatapku dengan pandangan aneh.

"Sendirian Al?" tanyanya yang tidak perlu kujawab, tapi aku mengangguk.

"Kayaknya kamu suka nulis ya Al?"

"Nggak juga."

"Padahal tulisanmu dulu bagus lho Al, aku baru inget,  saat kemarin aku membereskan majalah-majalahku,  ada cerpen dari kamu. Kamu Alvan Syahril dari SMA 1 Semarang kan?"

"Oh... iya.  Udah lama banget."

"Dan hampir tiap terbit,  tulisanmu ada. Sekarang juga masih suka nulis kan?" desaknya mencurigakan.

"Ah,  aku ada janji, Bungas.  Lupa. Aku duluan ya Bungas." Aku berpura-pura mengecek jam tangan,  dan berdiri.

"Buru-buru ya?" Aku mengangguk,  dan memberi salam. "Tunggu Al," panggilnya.

"Hm?" gumamku.

"Kalau nggak keberatan, nanti aku minta review-mu untuk cerpenku."

"Oh,  boleh." Aku segera pergi. Bungas makin aneh. Mungkin lebih baik aku jaga jarak juga.

****

Sekarang acara pengumuman lomba cerpen nilai lokal dan budaya. Aku sebagai juri,  menyempatkan diri hadir pada gladi resik.  Tidak disangka ada Bungas, dan dia menghampiriku dengan antusias. Baru-baru ini dia selalu mengangguku,  baik di kelas,  atau di Line,  bahkan sekarang. 

Cerpen yang Bungas buat historis,  dengan unsur budaya lokal.  Menarik. Kupikir dia bisa menjadi penulis hebat. Ternyata dia bisa masuk berkat Nurin sebagai salah satu panitia. Dia magang di Penerbit Laksana,  salah satu sponsor acara.

"Jadi kamu juga jadi panitia Al? Kok kamu nggak bilang-bilang?  Kamu kan tahu aku mau ikut lomba ini," ucapnya berlebihan.

"Ya karena bukan apa-apa.  Kan kamu semangat banget ikut lombanya," jawabku berpura-pura terkekeh.

"Begitu ya? Jadi nanti kamu besok di sini bisa nemenin aku dong? Untunglah nggak sendirian."

"Aku kan kerja Bungas."

"Oh iya ya?  Nggak apa,  kutahu panitia pasti sibuk."

****

Keesokkan harinya, selesai lomba,  Bungas mendapat penghargaan cerpen penulis pemula terfavorit pilihan pembaca. Bukan juaranya memang,  tapi Bungas sudah senang.

"Kenapa Bungas?" tanyaku saat dia menatap langit yang menjatuhkan air hujan.

"Nurin tadi ada perlu, jadi pulang duluan. He he,  ini mau pesan gojek aja," jawabnya. Mulai gelap, karena mendung, masih pukul 5 sore, aku mungkin bisa ajak Bungas.

"Ikut aku," ajakku

"Kemana?" Dia heran.

"Berkunjung ke taman kanak-kanak," jawabku.

"Hah?"

"Ke rumah belajar maksudnya."

"Oh...," ia mengangguk. "Makasih ya Al,  berkat kamu,  tulisanku bisa bagus, dan terpilih pembaca." Aku hanya menggangguk segan. 

"Uhuuuhh... siapa nih yang sok rendah hati?" ejeknya.

"Nggak perlu dibicarakan,  nanti banyak yang mengejarku."

"Wah ... narsisnya kambuh."

****

Anak-anak Rumah Pondok Karya,  adalah murid-murid Zulfa dulu. Kami mendekati anak-anak jalanan yang tidak diperhatikan. Sampai saat dia menikah, Zulfa menitipkannya kepadaku. Lewat surat. Setidaknya dia masih ingat nasib anak-anak. Kami membuat gubug tempat bernaung,  di tanah kosong,  depan rumah yang sudah lama tidak dihuni. Pinggir jalan. Di halaman kebun yang tidak terawat. Kami membersihkannya, dan membangun pondok.  Untuk sementara. Karena lahan ini luas dan kotor. Aku mengira ini tanah pemerintah karena dekat rel kereta api. Karena penduduk juga tidak mengetahuinya.

"Aku nggak tahu kamu bisa sedekat ini sama anak-anak." Khasan yang sedang melukis di vas bunga menengadah, membuatku ikut mendongak. Bungas membawakan teh botol kepadaku. 

Aku menyunggingkan senyum. "Pilih salah satu,  mengejek atau memuji," jawabku.

"Menurutmu?"

"Ejekan."

"Yah,  lupa kalau aku lagi sama mister melankolis yang sok dingin. Itu pujian." Aku hanya mengangguk.

"Tapi itu apa?" tanyanya melihat stiker pertanda bangunan yang akan digusur."

"Bukan apa-apa."

"Ini tanah Perusahaan Alex? Ayah Audy?"

"Hm...."

"Sayang sekali ya.  Kasihan anak-anak. Lalu akan pindah?" Aku memandang anak-anak yang sedang membuat kerajinan tangan, dari gantungan kunci,  vas bunga, boneka, mainan, bross, dan souvenir lainnya.

"Semoga tidak."

"Hmm...."

"Yang jaga mereka siapa?"

"Gurunya,  beliau sedang mengajukan proposal permohonan kepada pemilik tanah."

"Oh...."

Sepanjang sore Bungas menghabiskan waktu mendongeng untuk anak-anak, sembari mereka membuat kerajinan tangan. Tidak disangka dia cukup ahli dalam bercerita,  membuat anak-anak menjadi ceria dan ekspresif. Teringat masa lalu, dulu sekali,  mereka kehilangan pendongeng.

****

"Al," Bungss memanggil saat kami dalam perjalanan pulang. 

"Menurutmu apa yang membuat seseorang bersembunyi?"

Aku berpikir Bungas mengarah ke topik yang tidak ingin kubongkar. "Hmm,  hanya ingin?"

"Tidak! Karena ia hanya memandang ke salah satu sudut. Dari sudut kegelapan, ia menutup matanya tanpa tahu di balik pintu akan ada suatu yang lebih berharga."

"Kalau di balik pintu itu perampok?" kelakarku.  Merasa geli melihatnya serius dengan bicaranya yang tidak jelas. 

"Setidaknya kamu bisa berusaha menyelamatkan dirimu atau keluargamu. Usaha itu yang menentukan apa yang dibutuhkan."

"Kamu sedang berpikir tentang apa?" tanyaku gemas.

"Seseorang. Aku ingin mengenalnya lebih jauh." Tatapan matanya lurus. Menatapku dengan aura berbeda.  Sesaat aku terbawa,  tapi dengan cepat aku beralih.

I Will Find You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang