Bab 25 - Aku takut

1.3K 87 0
                                    

Dengan sangat berat hati, aku berangkat kerja. Caesar masih koma, tapi  nenek Caesar melamarku. Rasanya terbebani dengan perasaan ini. Kalau bisa aku memilih,  aku akan jatuh hati pada Caesar dan menerimanya. Tapi berkali-kali pun aku memikirkannya,  kita nggak cocok.  Aku nggak nyaman kalau harus menjalin hubungan spesial dengannya. Tapi apa aku punya pilihan? Apa aku tega menolak sahabatku sendiri yang sedang sekarat? Untung saja nenek memberiku waktu. Aku akan berusaha mengunjunginya terus,  sampai ia tersadar. Aku harus bicara langsung dengannya.

Saat aku baru saja akan memasuki pintu kantor,  tiba-tiba sebuah mobil putih melesat. Membuat pandanganku silau karena pantulan cahaya darinya. Pengemudi itu keluar dari pintu,  dan itu, Alvan.

Ia mengitari mobilnya dan membuka pintu mobil kanannya untuk seseorang. Seorang perempuan keluar.  Orang itu mengenakan kemeja peach,  dan celana hitam.  Simple namun elegan. Hidungnya mancung, kulitnya putih langsat, bibirnya merah penuh. Mereka berjalan mendekat. Sekilas mirip seseorang. Namun mataku buram,  efek setrlah menatap sinar matahari langsung dalam waktu yang lama.

"Bungas,  kenapa?" Aku mengatur pencahayaan di pupilku.  Samar-samar wajahnya mulai terlihat. Zulfa?

"Hei!" Tangannya menyentuh bahuku, dan di sebelahnya sudah kada Alvan tengah mengernyit. Aku jadi tidak tahu harus gimana.

"Ah,  Zulfa? Kukira siapa ..., maaf mataku lagi buram."

"Eh, itu ada Mas Dipyo," kataku mengalihkan perhatian. "Mas Dipyo!" Mas Dipyo baru saja memasuki gerbang,  menjadi penyelamatku.

"Hei Bungas, Zulfa," sapanya pada kami.  

"Hai Mas," balas kami berbarengan.  Aku dan Zulfa. Dalam hati aku heran bagaimana Alvan bisa berbaikan dengan Zulfa. Sedangkan Alvan kepadaku masih dingin seperti biasa. Bungkam.

Tiba-tiba Zulfa terhuyung, dan Alvan langsung sigap menangkapnya.  "Sudah kubilang harusnya kamu ndak perlu masuk kerja hari ini," ujarnya kemudian. Aku sukses melongo melihat pemandangan ini.

Zulfa hanya mengangguk dan tersenyum. "Ck,  dasar keras kepala.  Ya sudah,  kamu masuk saja Zul," katanya.  Tiba-tiba Alvan menoleh ke arahku, "Bungas, titip Zulfa ya. Tolong antar dia.  Kondisinya lagi nggak stabil." Hmm?  Apa katanya?  Dia bicara denganku kan?

Dengan segala kejadian yang sulit kupahami, aku hanya mengangguk dan bergegas menuntun Zulfa. 

Bisa kurasakan Alvan masih memperhatikan  dari luar sana. Hubungan mereka sudah kembali. Tapi, perasaanku Zulfa ini hanya memanfaatkan Alvan. Dari awal kelakuan Zulfa ini aneh.  Oke, coba kita tes Zulfa. Apa dia hanya akting? Aku menyandung sebelah kakinya. Tiba-tiba Zulfa langsung jatuh tersungkur. Aku merasa badannya benar-benar limbung seperti tak ada daya.  Ambruk seketika. Astaghfirullah! Dia beneran sakit? Aku gemetar. Buru-buru aku membantu Zulfa berdiri. Keringat dingin bermunculan di dahinya, badannya menggigil. Kenapa dia?  Ada apa dengannya? 

"Zul, kamu nda apa-apa? Ma-maaf,  aku ngga hati-hati ...."

"Zulfa!" pekik Alvan berlari cepat, mengecek kondisi Zulfa dan segara membantunya berdiri. "Kubilang hati-hati," bentaknya padaku. Aku terlonjak. Jantungku berdebar kencang.  Alvan marah?

"Maaf ...," lirihku tak mampu menatapnya.

Ia hanya segera menuntun Zulfa keluar kantor, dan membawanya pergi. Seketika dadaku nyeri, seluruh tubuhku lemas. Takut dan menyesal. Apa sih yang ada di pikiranku?  Apa yang terjadi dengan mereka? Tapi melihat Alvan,  aku....

****

Tidak terasa sudah 3 bulan lamanya, Caesar masih koma. Setiap hari aku mengunjunginya, menyempatkan diri menemaninya.  Novel Alvan sudah di tangan proofread, tentu saja Zulfa, jadi sekarang aku bisa mulai mengedit naskah lain. Alvan semakin akrab dengan Zulfa, mereka sangat cocok. Zulfa memberi banyak kontribusi pada novelnya,  memang mereka sama-sama pintar. Aku tidak sekompeten Zulfa. Ya sudahlah.  Sekarang fokus saja ke Caesar.

"Caesar,  bangunlah. Banyak hal yang ingin kubicarakan denganmu. Tentang perasaanku. Aku tidak baik untukmu, Caesar. Kamu terlalu baik. Kamu berhak mendapat wanita lebih baik," ujarku mengenggam tangan Caesar. "Wanita yang bisa melengkapimu, wanita yang selalu meyayangimu,  mendukungmu, wanita bermartabat, dari keluarga terhormat yang utuh dan harmonis. Aku tidak memiliki apa-apa. "

Tiba-tiba suara alat rumah sakit berbunyi. Alat yang mengontrol detak jantung berbunyi kencang. Badan Caesar kejang-kejang. Aku panik. Menjerit memanggil dokter. Kugenggam erat tangannya. Beberapa perawat berlari mendekat. Namun aku butuh dokter! Kutekan tombol darurat yang ada pada samping tempat tidur. Para perawat mengecek kondisi Caesar. Mereka melakukan CPR. Jantungku berdegup kencang, namun dadaku terasa kosong. Pikiranku melayang.  Seluruh badanku lemas dan cemas.

Dokter datang dan melakukan pertolongan darurat.  Aku terus berdoa. Tidak ada yang bisa kulakukan. Badanku menggigil, dan seorang perawat menyuruhku menunggu di luar. Sebelum keluar ku berteriak, "Caesar,  kumohon bangun! Aku janji aku mau memenuhi lamaranmu, kumohon...."

Aku tidak akan bisa memaafkan diriku kalau terjadi apa-apa. Aku benar-benar egois!

"Bungas." Itu suara Nurin.  "Ada apa?" ia mendekatiku yang sedang berjongkok dan menundukkan kepala. "Apa yang terjadi?"

"I ... ini salahku." Aku gemetar.

"Ma-maksudmu?!" Suaranya meninggi dan cemas. Aku mengeratkan pelukan pada kaki.  Menggigil.

"Apa maksudmu Bungas?! Katakan!"

"Aku ... aku hanya berbica...."

"Kamu bicara? Kamu pikir karena dia koma, dia nggak akan dengar suaramu?  Hah?! Kapan sih kamu nggak egois, Bungas? Aku benar-benar kecewa!"

Selang beberapa jam kemudian,  Alhamdulillah, Caesar sadar. ALHAMDULILLAH ..., dokter dan perawat berhasih memberikan pertolongan. Seluruh tubuhku perlahan luruh dari rasa cemas.

"Bungas...," lirihnya, memandangku. Caesar. Dia mau bicara denganku.  Aku tak mampu menatapnya. 

"Maaf, Caesar. Kamu jangan banyak bicara dulu ya. Fokus kesembuhanmu saja dulu,  jangan mikir macam-macam," kataku cemas.

"Beri aku kesempatan," lirihnya kemudian terbatuk.  Aku sigap memberinya air minum.

"Iya, Caesar. Jangan berpikir yang enggak-enggak dulu, ya?" pintaku. Aku memelas.

"Bungas," nenek Caesar memanggilku.

"Iya, Nek?"

"Sebentar bantuin Nenek bawa ini," ujarnya menunjuk di luar. Aku keluar.

"Bungas,  Nenek mohon apa pun permintaan Caesar,  Nenek mohon turuti saja. Cuma Caesar yang Nenek punya, dia anak yang baik, Bungas. Dia takkan mengecawakanmu, percaya sama Nenek."

Iya, benar.  Dia takkan mengecewakanku. Tapi aku ... aku takut mengecewakannya. 

I Will Find You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang