Chapter 4: hello, (whoever you are)! i'm gonna take you home

17.9K 2.9K 102
                                    

chapter 4: hello, (whoever you are)! i'm gonna take you home





Keesokan harinya, Profesor Halim kembali memanggilku ke ruangannya setelah sarapan. Kalau keadaannya berbeda—aku pasti senang dipanggil setelah sarapan di hari Selasa karena itu artinya, aku terbebas dari pelajaran Sejarah oleh Profesor Belinda yang menyebalkan. Tapi, hari ini, aku lebih baik melihat wajah Profesor Belinda daripada dipanggil ke ruangan Profesor Halim. Aku tidak tahu apa yang menungguku di sana.

Begitu aku masuk ke ruang kepala sekolah, hanya ada Profesor Halim. Profesor tua itu sedang menulis sesuatu di atas secarik kertas. Begitu aku masuk, Profesor Halim mengangkat wajah dan tersenyum tipis. "Ayo, duduk dulu, Laura."

Aku pun duduk di depan meja Profesor Halim. "Kenapa saya dipanggil, Profesor?"

"Saya mau memberitahu tugas apa yang harus kamu jalani," jawab Profesor Halim. "Sebenarnya, setiap kali ada masalah seperti ini, tugasnya ditentukan dan dirundingkan dengan matang—biasanya memakan waktu sampai sebulan. Tapi untuk kasus kamu, untungnya, sekolah langsung mendapatkan tugas yang cocok. Saya belum bisa memberitahu kemarin karena tugasnya belum matang. Tapi hari ini sudah."

Aku menghela napas dengan lega. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya hidup satu bulan di SCN tanpa tangan kanan.

Kemudian, Profesor Halim membuka laci, mengeluarkan sebuah amplop cokelat besar, dan menyerahkannya kepadaku.

Aku menerima amplop itu tanpa berkata-kata—menunggu instruksi selanjutnya dari Profesor Halim.

"Kamu akan bersekolah di sebuah sekolah manusia normal. Nama sekolah itu adalah Harapan Mandiri, kebetulan di tahun ajaran manusia normal, sekarang mereka sedang libur pergantian semester dan tahun baru, jadi kamu bisa masuk di saat yang pas." Profesor Halim memulai.

SCN memang memiliki tahun ajaran yang berbeda dengan manusia normal. Saat tahun baru, kami tidak libur. Kami baru libur panjang di bulan Februari.

Profesor Halim pun melanjutkan, "Di sana kamu ditugaskan untuk mencari seorang cyborg bernama Damar Adhitama—"

"Sebentar," selaku. "Cyborg? Di sekolah manusia normal?"

Apa sih, yang sedang dibicarakan Profesor Halim? Ah, mungkin saja dia mengantuk. Mungkin saja dia sudah lelah sehingga dia tidak sadar akan apa yang diucapkannya. Dengan begitu, mungkin aku bisa memintanya menulis semacam surat atau apa yang membatalkan tugasku...

Tapi, saat aku menatap Profesor Halim, profesor itu tampak... segar. Yah, sesegar yang bisa diperlihatkan oleh orang yang sudah tua.

"Dengarkan dulu," kata Profesor Halim. "Damar adalah seorang remaja yang lebih tua satu tahun daripada kamu. Dulu, dia bersekolah di SCN. Kamu mungkin enggak pernah lihat karena dia sangat pendiam dan jarang keluar kamar, paling-paling hanya ke perpustakaan. Damar enggak menikmati hari-harinya di SCN.

"Suatu hari, sekitar dua tahun yang lalu, Damar kabur. Pihak sekolah menutup rapat-rapat berita ini dari, karena kalau banyak yang tahu, pasti berita ini akan dianggap meresahkan. Pihak sekolah bertanya kepada orangtua Damar apakah mereka tahu tentang rencana kabur ini, dan iya, mereka ternyata tahu. Walaupun mereka juga tahu setelah Damar kabur dan anak itu tiba-tiba saja sudah berada di depan rumahnya.

"Nah, orangtua Damar tidak mau mengembalikan Damar ke SCN. Pokoknya, mereka mau anak mereka senang. Mereka memberi kebebasan bagi Damar untuk bersekolah di mana pun anak itu mau. Tapi masalahnya, ada yang mereka tidak mau mengerti." Profesor Halim terdiam sejenak.

"Apa?" tanyaku, tidak sabar mendengar kelanjutan ceritanya.

"Jika Damar bersekolah di sekolah manusia normal, itu artinya, dia enggak bisa menggunakan bagian-bagian tubuh robotnya. Mungkin hanya di rumah, walaupun saya juga ragu. Damar benci menjadi cyborg.

"Masalahnya, jika semua bagian tubuh robotnya jarang digunakan, lama-lama bagian itu akan macet dan rusak. Butuh biaya yang besar untuk mengobati dan menggantinya. Kemungkinan terburuknya, Damar bisa lumpuh, atau bahkan meninggal."

Aku memandang Profesor Halim, terkejut.

"Kami sudah memberitahu orangtua Damar tentang ini—bahkan sampai membawa seorang dokter. Tapi, orangtua Damar tidak mau mengerti. Mereka terus berkata bahwa Damar baik-baik saja, dan kalau ada apa-apa, Damar pasti akan merasa dan bertindak sendiri. Mereka percaya Damar adalah remaja yang pintar. Itu memang benar, tapi tetap saja, apa yang dilakukannya salah.

"Orangtua Damar hanya mau memberitahu di mana Damar bersekolah. Anak itu sekarang bersekolah di Harapan Mandiri. Tapi, dengan nama palsu dan wajah yang saya yakin juga sudah agak berubah—semua itu dengan bantuan orangtuanya, jelas." Profesor Halim menunjuk amplop cokelat yang ada di tanganku. "Di dalam amplop itu ada foto Damar. Saya yakin, dia pasti berusaha mengubah tampangnya supaya tidak dikenali oleh orang-orang SCN yang bekerja di luar—memang segelintir orang-orang itu kami beritahu tentang hilangnya Damar."

Orang-orang SCN yang dimaksud Profesor Halim pasti adalah para alumni yang sekarang sedang kuliah atau bekerja dan berbaur dengan manusia normal. Di SCN, selain belajar bercocok tanam, ada banyak pelajaran yang jauh lebih penting. Salah satunya adalah cara berbaur dengan manusia normal.

Tapi, pelajaran itu sebenarnya bertujuan untuk menyiapkan kami ketika kami kuliah lalu lanjut bekerja. Kalau sekarang aku disuruh untuk berbaur... yah, aku tidak yakin. Aku belum selesai belajar.

Saat aku mengutarakan kecemasanku itu, Profesor Halim berkata, "Belajar enggak harus dari bangku sekolah, kan? Selagi kamu menjalankan tugas, kamu bisa sambil belajar."

"Tapi satu lagi," kataku. "Ini yang paling penting. Gimana caranya saya berbaur kalau saya enggak punya tangan kanan?"

"Kamu akan kami pinjamkan tangan kanan. Tapi tangan itu hanya sementara—hanya untuk menjalankan tugas ini saja. Kamu enggak bisa kabur dengan tangan itu karena pihak sekolah akan bekerja sama dengan orangtuamu untuk mengawasi kamu. Kalau kamu kabur, kami langsung bisa tahu keberadaanmu dari tangan itu."

"Tangan saya bakal ada pelacaknya?" tanyaku, ngeri membayangkan aku diamati ke mana pun aku pergi.

"Iya. Tapi tenang saja. Kamu bebas pengawasan. Pelacak itu hanya digunakan kalau memang diperlukan, seperti misalnya, kalau kamu kabur," jawab Profesor Halim.

Aku merenungkan ucapan Profesor Halim. Setelah beberapa saat, aku berkata, "Jadi, aku harus cari Damar di sekolah ini, terus... apa?"

Profesor Halim tersenyum. "Kamu harus membawa anak itu pulang."[]


14 Januari 2017

Hello, Would You Like to Be My Cyborg?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang