chapter 22: hello, i want you to hear the story of my life (no, i won't sing)
Sekarang, aku benar-benar bingung.
Tadi, aku mendapat konfirmasi dari SMP Radhi bahwa benar, di situ dulu ada murid bernama Adam Radhimata. Aku bahkan meminta fotonya (aku mengaku, aku adalah teman lama Radhi, dan untungnya petugas sekolah itu kedengarannya tidak terlalu peduli). Aku pun dikirimi foto Radhi semasa SMP lewat e-mail. Dan walaupun tampak sedikit lebih culun, aku tahu itu Radhi.
Bahkan, aku juga sudah menunjukkan foto itu kepada Risya (hanya untuk memastikan saja), dan cewek itu berkata, bahwa itu memang Radhi.
Kuulangi lagi, aku benar-benar bingung.
Kalau bukan Radhi, lalu siapa Damar?
Agar benar-benar pasti, aku harus menemui Radhi. Aku harus memukul punggungnya.
Maka, aku pun mengirim pesan kepada Radhi.
Laura: Hai, Radhi. Besok jam istirahat kedua bisa ketemu enggak? Di depan gedung kantin?
Nyaris seketika, jawaban dari Radhi masuk.
Radhi: Oke, Laura.
Aku menghela napas. Pikiranku penuh dengan dugaan-dugaan dan apa yang harus kulakukan selanjutnya jika Radhi adalah Damar atau jika dia bukan Damar—sampai-sampai aku tidak memikirkan apa yang akan kukatakan ketika bertemu Radhi besok.
*
Keesokan harinya, sewaktu aku menghampiri Radhi di depan gedung kantin, barulah aku menyesal kenapa aku tidak memikirkan apa yang akan kukatakan ke Radhi—sekarang, aku panik sendiri.
Apa yang harus kukatakan kepada Radhi?!
Aku berusaha berpikir cepat sambil berjalan ke gedung kantin. Sewaktu aku sudah dekat dengan gedung itu, aku bisa melihat sosok Radhi—berdiri sendiri sambil memandang sekeliling dengan canggung.
Aku benar-benar tidak merasa bahwa itu adalah akting.
Tapi oke, singkirkan perasaan jauh-jauh. Aku harus bersikap objektif sekarang.
Jadi, aku segera menghampiri Radhi, berusaha terlihat senormal mungkin. "Hai, Rad."
Radhi mendongak dan begitu dia melihatku, dia langsung kelihatan tambah canggung. Dia menggaruk tengkuknya dan mendadak tertarik dengan sepatunya. "Hai, Ra. Kenapa?" tanyanya tanpa melihatku.
Aku menghela napas. Kuharap alasan konyol yang tadi kukarang-karang ketika berjalan ke kantin tidak terdengar begitu konyol di telinga Radhi.
"Jadi gini. Gue mau ngasih hadiah ke Risya, ya iseng-iseng aja, sih. Nah, kan lo sepupunya tuh, makanya gue nanya sama lo. Lo tahu enggak, dia sukanya apa?" tanyaku. "Gue sengaja nanya langsung, soalnya kalau di ponsel, Risya bisa baca. Kalau gue hapus chat gue sama lo, nanti dia curiga."
Oke, itu bohong. Risya tidak pernah membuka-buka ponselku.
Dan oke, oke, aku memang tidak ingin memberi Risya hadiah. Jadi, semua ucapanku tadi itu bohong.
Radhi tampak berpikir. "Setahu gue dia suka boneka beruang," jawabnya. "Katanya, itu ngingetin dia sama kakaknya."
Aku mengeluarkan buku merah dan pensilku kemudian menulis keterangan bahwa Risya menyukai boneka beruang. (Yang kulakukan barusan memang tidak penting, aku hanya melakukannya sebagai alasan agar bisa mengeluarkan pensil.)
"Oke, makasih, ya," kataku sambil—berusaha tampak senormal dan sesantai mungkin—menepuk punggungnya dengan tanganku yang memegang pensil.
"Aw!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Would You Like to Be My Cyborg?
Teen FictionLaura ditugaskan oleh SCN (Sekolah Cyborg* Nusantara) untuk mencari dan membawa pulang Damar-seorang cyborg cowok yang dua tahun lalu kabur dari SCN. Damar diberitakan pindah ke sekolah manusia normal dengan identitas dan tampang yang bisa dipastika...