Chapter 12: hello, i think i'm going to throw some pebbles (prepare yourself!)

14.3K 2.5K 143
                                    

chapter 12: hello, i think i'm going to throw some pebbles (prepare yourself!)






"Jadi gimana? Lo udah ketemu si Damar ini belum?" tanya Eva begitu dia mengangkat panggilanku. Sekarang hari Sabtu, dan memang setiap akhir pekan, aku dan Eva selalu mengobrol lewat telepon.

Aku memutar kedua bola mataku (walaupun aku tahu dia tidak bisa melihatnya) dan mendesah pelan. "Lo pikir gampang apa nyari Damar ini?"

Aku mendengar Eva tertawa di seberang sana. "Yah, kali aja, kan?" Kemudian dia melanjutkan, "Tapi udah ada tanda-tandanya belum?"

Aku pun menceritakan kepada Eva tentang hasil penyelidikan terakhirku.

"Wah, itu yang Dimas Airlangga mencurigakan banget—inisial namanya sama gitu," komentar Eva. "Tampangnya kayak gimana, Ra?"

"Lebih mirip Damar daripada kalau gue bandingin Zikri sama Damar," jawabku. "Mukanya Zikri agak lebih lonjong. Yang sedikit ngebedain Dimas sama Damar itu telinganya. Telinga Dimas lebih kecil daripada telinganya Damar, tapi foto Damar kan blur, jadi susah juga mastiinnya."

"Fix banget ini, mah," kata Eva sok tahu. "Udah lo tangkep aja itu si Dimas."

"Emang gampang apa? Dia juga kakak kelas gue. Ya kali gue tiba-tiba dateng dan nangkep dia. Iya, kalau dia beneran Damar, kalau enggak? Kan malu-maluin banget," kataku.

"Coba aja kali. Kalau dia beneran Damar gimana? Kan lo nanti rugi enggak buru-buru nangkep dia," balas Eva.

"Kalau dia beneran Damar, gue enggak punya buktinya. Dia bisa aja ngelak dan kabur. Lagi pula—" Aku teringat sesuatu. Buru-buru aku bertanya, "Eva, lo tahu enggak, gimana caranya gue tahu kalau ada cyborg di sekitar gue? Maksudnya, misalnya nih, gue ketemu sama Damar, nah, gimana caranya gue tahu kalau dia cyborg—selain gue suruh dia buka baju."

Eva terdiam agak lama, sebelum akhirnya menjawab, "Iya, ya, kita enggak pernah diajarin itu di SCN. Nanti gue tanya deh, ke Profesor Ned. Dia mungkin tahu."

"Makasih, Eva!" kataku.

Setelah itu, giliran Eva yang menceritakan hari-harinya di SCN. Mendengar ceritanya itu, membuatku kangen sekali dengan SCN. Dan itu artinya, aku semakin bersemangat mencari Damar.

Aku harus menemukan cowok itu sesegera mungkin.

*

Kata Eva, dia akan bertanya ke Profesor Ned (guru yang mengajar tentang bagian-bagian tubuh robot) tentang bagaimana caranya aku mengenali jika ada cyborg lain di sekitarku saat pelajarannya, dan dia akan mengabariku sore ini.

Maka, sambil menunggu kabar dari Eva, aku memutuskan untuk memikirkan dan menulis langkah-langkah yang akan kulakukan untuk mencari Damar di buku merahku.

"Jadi gimana? Percaya kan sama gue, kalau nyari Damar ini susah?" tanya Farel yang tiba-tiba menampakkan wajahnya di ambang pintu kamarku.

Aku yang sedang duduk di meja belajar, menoleh dan menatapnya dengan sebal. "Kalau lo enggak punya cara buat ngebantu, mendingan lo diam aja, deh," gerutuku.

Tapi, Farel justru masuk ke dalam kamar dan duduk di kasurku. "Gue tahu cara buat ngebantu."

"Apa?" tanyaku, agak sangsi.

"Lo udah dapet nama orang-orang yang lo curigai?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Baru dua orang, sih."

"Gue tebak, lo pasti baru nge-stalk orang itu di internet atau nanya-nanya sama orang lain," kata Farel.

Aku mengangguk. "Iya, emang," jawabku. Apa yang salah dari itu?

"Saran gue, lo deketin satu-satu tersangka-tersangka lo. Lo kan cewek, jadi kemungkinan terburuknya, lo cuma bakal dikira lagi naksir doang," kata Farel lalu berdiri.

Aku menatap adikku itu dengan tatapan tidak percaya. "Udah? Gitu doang?"

Farel mengangguk. "Gitu doang. Tapi gue yakin, buat ngelakuin 'gitu doang' itu susah—seenggaknya buat lo."

Kemudian, anak itu melangkah pergi meninggalkan kamarku. Absurd sekali!

Tapi, aku tidak bisa tidak memikirkan ucapannya. Sebenarnya, aku pernah memikirkan itu—mendatangi satu-satu para tersangkaku. Tapi, aku selalu berpikir, nanti saja saat aku sudah yakin bahwa orang itu Damar.

Namun, setelah kupikir-pikir lagi, bagaimana caranya aku yakin kalau orang itu Damar selain dengan mendekatinya? Aku sudah mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang Zikri dan Dimas dari internet. Aku juga sudah bertanya tentang kedua orang itu ke beberapa temanku. Apa lagi yang bisa kulakukan?

Saat aku sedang sibuk berpikir dan merenungkan ucapan Farel, ponselku berbunyi—menandakan ada pesan masuk. Aku pun mengambil ponselku dan membaca pesan itu.

Eva: Profesor Ned juga kurang tahu. Gue tadi disuruh nanya ke Profesor Belinda, soalnya dulu cyborg-cyborg emang berusaha mengenali sesama, jadilah gue ke guru sejarah.

Laura: Terus gimana? Profesor Belinda ngasih tahu gak?

Eva: Katanya, dulu ada alatnya, tapi sekarang udah enggak ada karena justru bahaya kalau ditemuin manusia normal. Jadi sejak alat itu enggak digunain, cyborg paling ngelempar orang lain dengan kerikil atau sesuatu yang keras. Nanti kan kalau kena bagian tubuh robotnya bakal bunyi. Atau dipukul juga bisa, walaupun sakit.

Aku berusaha mencerna informasi dari Eva.

Laura: Jadi, gue harus nimpuk orang-orang gitu?!

Eva: Sepertinya. Oh ya, karena gue baik, gue tadi nanya ke Profesor Ned bagian tubuh robotnya Damar (Damar ternyata terkenal di kalangan profesor). Profesor kurang tahu, tapi setahu dia (dan udah pasti), punggungnya sebagian besar dari logam, jadi good luck! : )

Aku mendesah pelan. Apa ini bisa lebih buruk lagi?

*

"Saran adek lo bener juga, Ra," kata Risya pagi itu sewaktu aku menceritakan tentang saran Farel dan informasi dari Eva.

"Jadi menurut lo, gue harus nyamperin Zikri sama Dimas—yang gue sama sekali enggak kenal—dan nimpuk punggung mereka pakai batu gitu?" tanyaku. Mengatakannya saja membuatku ngeri.

Risya mengangkat bahunya. "Untuk sekarang kayaknya cuma ada jalan itu aja," jawabnya.

Aku mendesah pelan.

"Oke gini aja. Mendingan lo pikirin soal nimpuk pakai batu itu belakangan aja, dan coba deketin mereka dulu," usul Risya.

"Tapi kata adek gue kan, kemungkinannya gue bakal dikira naksir mereka. Nah, kalau gitu, gimana gue bisa deketin dua-duanya sekaligus? Ya kali gue naksir dua orang dan ngegebet dua orang itu barengan," kataku.

Risya berpikir sejenak. "Gini aja deh. Lo deketin Dimas, gue deketin Zikri. Gimana? Kebetulan, gue juga udah pernah ngobrol sama Zikri soal buku gitu. Nanti gue bakal laporin setiap gerak-geriknya ke lo."

Aku menatap Risya, tidak percaya. "Lo serius mau ngelakuin itu?" tanyaku.

Risya mengangguk. "Iya. Enggak apa-apa, kok. Gue juga seneng—berasa kayak detektif."

Aku memeluk Risya. "Makasih! Lo baik banget."

Risya tertawa. "Nah, jangan seneng dulu. Lo harus mikirin cara supaya bisa deket sama Dimas. Dia enggak gampang lho, buat dideketin, dan dia punya pacar."

Oh, iya! Dia punya pacar. Aduh, bagaimana ini?!

Melihat ekspresiku, Risya tertawa. "Gue yakin, lo bisa, kok. Pikirin aja caranya."

Aku terdiam, berusaha memikirkan cara supaya bisa dekat dengan Dimas tanpa menimbulkan kecurigaan. Satu-satunya yang muncul di pikiranku adalah Aga—dia kan kenal Dimas, seharusnya dia bisa membantuku.

Ah iya, Aga pasti mau membantuku. Aku akan bicara dengannya nanti.[]

11 Maret 2017

Hello, Would You Like to Be My Cyborg?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang