chapter 23: hello, please do (not) make me blush
Mengobrol dengan Aga benar-benar membuat mood-ku membaik. Setidaknya, selama sisa hari itu di sekolah, aku tidak terlalu memusingkan masalah Damar. Lebih tepatnya sih, aku tidak mau memusingkan masalah Damar. Kuputuskan, aku akan memikirkan masalah itu nanti saja—saat pikiranku sudah lebih jernih.
Tapi saat sampai di rumah, Farel—adikku yang sangat baik hati dan pengertian—kembali mengingatkanku akan masalah Damar dan PR bahasa Latinnya.
"Udah nanya ke temen lo belum soal PR gue itu? Harus dikumpulin minggu depan," kata Farel yang tiba-tiba muncul di ambang pintu kamarku.
Aku yang sedang bercerita tentang kejadian Aga dan aku di perpustakaan kepada Risya (tentu saja aku tidak menceritakan tentang isi percakapanku dan Aga—itu privasi Aga), terpaksa mengangkat wajah dari ponselku dan menatap Farel.
"Masih minggu depan, kan?" tanyaku. "Besok aja deh gue tanya ke temen gue."
Farel tiba-tiba menunjuk kaleng permen mint rasa lemon yang ada di mejaku. "Itu punya lo?"
"Bukan! Punya temen gue. Jangan diambil," kataku buru-buru. Tadi, sebelum pulang, Aga memberikan kaleng itu kepadaku. Katanya, aku akan membutuhkannya karena dia tahu aku sedang memikirkan sesuatu (dia tahu aku tidak ingin membicarakannya dan dia tidak bertanya—aku benar-benar berterima kasih kepadanya karena itu).
Farel hanya mengangkat alis kanannya. "Oh," balasnya singkat. Sebelum dia berbalik pergi meninggalkan kamarku, dia berkata, "Gue cuma mau bilang, sebaiknya lo cepet-cepet nyelesaiin PR gue, karena kayaknya, gue nemuin satu petunjuk penting yang lo lewatin."
Aku tertegun mendengaar ucapannya. Buru-buru, aku menghubungi Selma—temanku di SCN yang mengikuti kelas bahasa Latin.
*
"Demi apa adek lo bilang kayak gitu, Ra?" tanya Risya sewaktu aku menceritakan tentang Farel yang berkata bahwa dia menemukan petunjuk penting yang aku lewatkan.
Aku mengangguk. "Iya! Padahal gue yakin banget, gue udah baca setiap dokumen penting yang ada."
"Duh, cepetan selesaiin PR adek lo, dong. Gue penasaran, nih!" seru Risya. Kami sekarang sedang berada di koridor depan kelas, menunggu bel masuk berbunyi. Koridor sedang lumayan ramai, sehingga seruan Risya tadi berhasil menarik perhatian beberapa orang yang melewati kami. Risya cuma memasang cengiran di wajahnya untuk membalas tatapan-tatapan heran itu.
"Lah, gue apalagi," balasku. "Temen gue bilang, PR adek gue bakal selesai sore ini. Untung Selma—temen gue yang gue minta buat ngerjain PR adek gue—orangnya baik, dan dia emang suka bahasa Latin, jadi enggak masalah buat dia."
Risya mengangguk-angguk. "Pokoknya nanti kalau lo udah tahu, langsung kasih tahu ke gue, oke? LANGSUNG."
Aku tertawa. "Siap, bos!"
Bel masuk pun berbunyi. Aku melambaikan tangan kepada Risya dan berjalan memasuki kelasku.
*
Seperti kemarin, saat jam istirahat kedua, Risya kembali menghabiskan jam istirahat bersama Zikri, sedangkan aku menghabiskan jam istirahat di perpustakaan bersama Aga.
"Jadi gimana? Masalah lo kemarin udah selesai? Udah enggak mikir keras lagi?" tanya Aga ketika aku mengembalikan kaleng permen mint rasa lemon kepadanya. Aku sengaja menunggu untuk memberi kaleng itu di perpustakaan, walaupun aku bisa saja memberikannya di kelas karena dia teman sebangkuku. Hanya saja, aku merasa bahwa jika aku memberikan kaleng ini di kelas, kami tidak akan mengobrol lama, karena di kelas, Aga sering diajak mengobrol dengan teman-teman cowoknya (bukannya aku melarang). Jadi, aku ingin mengembalikannya di perpustakaan saja, ketika aku dan dia bisa mengobrol lebih lama.
"Enggak tahu juga." Aku menjawab pertanyaan Aga. "Tapi gue harap udah." Aku benar-benar berharap bahwa petunjuk yang akan diberikan oleh Farel memberiku titik terang dalam masalah pencarian Damar ini.
Aga mengangguk-angguk. Dia kemudian bertanya, "Ra, percaya enggak kalau lo satu-satunya temen cewek gue, yang enggak bikin gue risi?"
Aku pura-pura berpikir keras, padahal sebenarnya, aku sedang mati-matian berusaha agar wajahku tidak memerah.
Aku belum sempat menjawab ketika Aga melanjutkan, "Dari dulu banyak cewek yang mau sama gue—"
"Halah," selaku sambil tertawa.
Aga juga tertawa, lalu kembali melanjutkan, "Dan ada satu yang bersikeras banget. Gue pernah cerita, kan? Nah, saking capeknya, ya udah gue iyain aja pas dia nanya apa gue mau jadi pacarnya dia. Tapi selama kita 'pacaran', cuma dia yang nganggep gue pacar. Gue sama sekali enggak nganggep dia pacar. Gue belum pernah ketemu sama cewek yang bisa bikin gue nganggep dia itu pacar gue. Sampai lo."
Mukaku. Panas.
Tapi untungnya, Aga juga tampaknya agak grogi, jadi aku tidak merasa terlalu malu.
"Gue bisa nganggep lo pacar gue, Ra. Tapi gue penasaran, apa lo juga bisa nganggep gue pacar lo?"
Oke...?
Apa dia baru saja menembakku?
Oh tidaktidaktidak.
Aku dalam misi. Aku tidak boleh terikat terlalu dalam dengan manusia normal. Aku akan kembali ke SCN suatu hari nanti dan aku akan meninggalkan Aga.
Kenapa ini terjadi?!
Aga tampaknya agak panik karena aku tidak kunjung menjawab pertanyaannya. "Gimana, Ra? Gue serius."
Walaupun sebagian dari diriku merasa panik, aku tidak bisa menyangkal bahwa sebagian dari diriku yang lain merasa senang. Aku tahu aku suka Aga. Aku nyaman berada di dekat dia. Tapi...
Kemudian, aku teringat sesuatu.
Aku tidak peduli bagaimana ini tampaknya di depan Aga, tapi aku buru-buru berjongkok. Diam-diam aku memasukkan tangan ke dalam kaos kaki kananku, dan aku pun menekan tombol yang terletak di dalam telapak kakiku—tombol yang tidak pernah kunyalakan selama nyaris aku menjadi cyborg.
"Ra?" Suara Aga terdengar bingung. "Lo kenapa?"
Saat aku duduk dengan benar lagi dan menatap Aga, aku tertegun.
Cowok itu sedang menatapku dari balik kacamatanya. Dari tatapan dan gerak-geriknya, aku tahu dia sedang gelisah. Tapi bukan itu yang membuatku tertegun. Melainkan, pengelihatan di mata kananku berwarna merah muda selama lima detik.
Aga serius.
Aku menghela napas dalam-dalam dan kemudian tersenyum kepada Aga. Kalau dia serius, aku seharusnya tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Masalah nanti aku akan pergi... yah, itu kan masalah nanti. Aku tidak ingin memikirkannya sekarang.
"Gue bisa kok, nganggep lo sebagai pacar gue," jawabku akhirnya.
Aga menghela napas, kelewat kencang. Membuatku tertawa.
Setelah itu, Aga dan aku kembali mengobrol seperti biasa. Seolah-olah, kami barusan tidak jadian. Tapi tentu saja ada yang berbeda. Bagiku, perbedaan yang sangat jelas adalah, sekarang, setiap kali Aga melihatku, pengelihatan di mata kananku berubah merah muda selama lima detik.
Dulu aku sebal sekali melihatnya. Tapi sekarang aku malah senang dan tidak ingin warna itu hilang.
Sebelum pulang sekolah hari itu, Aga sempat memberikan kartu perpustakaannya kepadaku.
"Nih, lo pegang aja dulu. Di situ ada foto gue, kalau-kalau lo kangen," kata Aga sambil nyengir.
Konyol sekali. Untuk apa juga dia memberiku kartu perpustakaan? Tapi aku tetap menerima kartu itu dengan senang hati.
"Enggak ada yang bakal kangen lo juga, sih," kataku (bohong, tentu saja). "Tapi enggak apa-apa, deh. Siapa tahu kartu ini bisa berguna buat bersihin gigi."
Aga tertawa. Dia kemudian mengacak-acak rambutku sekilas sebelum melangkah pergi, membuatku tersenyum lebar sekali.[]
a.n
halo! Tadinya pengin double update tapi enggak jadi deh HEHE.Seperti biasa, pilih yaa x D
a) Aga itu Damar
b) Aga bukan Damar
8 Juli 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Would You Like to Be My Cyborg?
Teen FictionLaura ditugaskan oleh SCN (Sekolah Cyborg* Nusantara) untuk mencari dan membawa pulang Damar-seorang cyborg cowok yang dua tahun lalu kabur dari SCN. Damar diberitakan pindah ke sekolah manusia normal dengan identitas dan tampang yang bisa dipastika...