chapter 6: hello, i'll help you find your guy
Aku bisa mendengar Eva tertawa di seberang sana. "Jadi gitu, Ra. Si Profesor Belinda marah besar! Coba lo di sini, lo pasti ngakak enggak berhenti dari tadi."
Aku tertawa pelan. Sekarang sudah malam, dan seharusnya aku tidur, mengingat besok aku akan memulai hari pertamaku di sekolah normal. Tapi aku tidak bisa tidur. Aku bukan orang yang gampang gugup. Tapi, ditempatkan di situasi semacam ini membuatku gugup. Bagaimana kalau aku gagal menemukan Damar? Bagaimana kalau aku tidak bisa berbaur? Bagaimana kalau aku tidak sengaja memperlihatkan kaki kanan atau tangan kananku kepada manusia-manusia normal? Bagaimana kalau aku dikucilkan selama sisa tahun ajaran? Bagaimana? Bagaimana? Bagaimana?!
Akhirnya, karena tidak bisa tidur, aku menelepon Eva. Untungnya, cewek itu juga belum tidur. Dia baru saja selesai mengerjakan PR ketika aku menelepon. Mendengar suara Eva membuat mood-ku agak sedikit membaik. Temanku itu dari tadi bercerita banyak sekali tentang kejadian yang terjadi di SCN semenjak aku pergi. Rasanya seolah-olah aku sudah pergi selama lebih dari satu tahun, padahal aku baru meninggalkan SCN selama satu minggu.
"Ra, gue ngantuk, nih. Habis ngerjain PR sejarahnya Profesor Belinda. Mata gue capek habis ngelihat tulisan banyak-banyak," keluh Eva. "Gue tidur dulu, ya, Ra. Dadah! Good luck buat sekolahnya besok."
"Iya, makasih," balasku. Setelah itu, sambungan telepon terputus dan aku mendesah pelan.
Kenapa aku harus tertimpa nasib sesial ini?
*
Keesokan harinya, aku berangkat sekolah. Hari pertamaku di sekolah normal, aku diantar oleh Mama. Ini membuatku diejek oleh Farel, tapi siapa yang peduli dengan pendapatnya?
Selama di perjalanan, aku benar-benar gugup. Saat sarapan, aku nyaris tidak bisa memasukkan makanan ke mulut. Berbagai pertanyaan yang diawali dengan kata 'bagaimana' berseliweran di benakku.
Orangtuaku mengira, aku gugup karena takut ketinggalan pelajaran. Aku menenangkan mereka dengan menjelaskan bahwa di SCN kami juga belajar pelajaran manusia normal, jadi aku tidak akan ketinggalan. Mereka juga mengira aku gugup karena akan bertemu Damar.
Hah, andai aku akan bertemu Damar. Aku saja tidak tahu apakah aku akan menemukan cowok itu atau tidak.
Ini semua gara-gara Farel! Adikku yang menyebalkan itu telah memasukkan pikiran-pikiran negatif ke dalam kepalaku. Tidak. Aku harus berpikir positif. Harus. Aku pasti akan bertemu Damar.
Sisa perjalanan ke sekolah aku habiskan dengan sibuk menyemangati diriku sendiri.
*
Akhirnya, aku sampai juga di sekolahku. Sebelumnya, aku sudah pernah satu kali datang ke sini. Waktu itu, aku harus mengukur seragam, mengambil buku, dan yah, melihat-lihat sekolah.
Ketika itu kupikir, 'aku akan baik-baik aja. Sekolah ini jauh lebih kecil kalau dibandingin SCN'. Tapi saat itu, tidak ada murid-murid yang berseliweran dan berceloteh dengan berisik. Sekarang, murid-murid itu ada.
Oke, aku bukannya takut dengan orang banyak. Di SCN, muridnya jauh lebih banyak—apalagi jika di hari pertama bersekolah dan seluruh murid dari SCND sampai SCNMA dikumpulkan di Aula Besar.
Tapi, kata-kata Farel benar. Saat ini aku dikelilingi oleh orang asing. Aku tidak kenal satu orang pun.
Aku menarik napas dalam-dalam dan mengingatkan diriku sendiri bahwa aku tidak bisa mundur sekarang. Aku akan maju, membawa Damar pulang, dan mendapatkan tangan kanan baru.
Sambil melangkah memasuki lingkungan sekolah, aku menatap tangan kananku yang ditutupi oleh sarung tangan. Mama meyakinkan pihak sekolah dengan surat dokter (dokter ini alumni SCN) bahwa aku terkena penyakit kulit dari kecil di bagian tangan kananku sehingga harus mengenakan sarung tangan sepanjang waktu.
Di dalam sarung tanganku, ada tangan yang dipinjamkan oleh pihak sekolah. Tangan itu tidak senyaman tanganku yang dulu. Tangan itu terlalu besar, dan kadang longgar. Sebisa mungkin, aku mengencangkan tangan itu lagi, tapi rasanya tetap saja agak terlalu besar. Aku punya dugaan kuat bahwa sekolah sengaja memberiku tangan yang tidak pas agar aku tidak kabur dengan tangan itu.
Yah, siapa juga yang ingin kabur? Aku ingin mendapat tangan baru yang kuinginkan.
Sambil membayangkan tangan kanan baru yang akan kudapat jika aku melewati ini dengan sukses, aku pun memantapkan diri dan mulai menjelajah sekolah.
Harapan Mandiri adalah sekolah yang cukup besar (walaupun seperti yang kubilang tadi, jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan SCN). Harapan Mandiri teridri dari tiga gedung. Gedung pertama adalah gedung yang paling besar, isinya adalah ruang-ruang kelas, tempat kegiatan belajar-mengajar berlangsung. Gedung kedua yang berkuran lebih kecil daripada gedung pertama dan terletak agak di belakang adalah gedung olahraga. Sedangkan gedung ketiga—yang paling kecil dan terletak di sebelah gedung olahraga—adalah kantin dan ruang tempat petugas sekolah tinggal.
Lapangan upacara terletak di antara gedung pertama dan gedung olahraga. Lapangan itu sekarang disesaki murid-murid yang sedang mengobrol. Begitu juga dengan gedung kantin, gedung olahraga dan gedung kelas-kelas—tempatku berada sekarang.
Artinya, orang-orang yang mengobrol itu ada di mana-mana. Dan aku sendirian.
Akhirnya, aku menutuskan menuju untuk papan pengumuman kelas. Papan itu tidak begitu ramai karena sekarang hanya pergantian semester, jadi anak-anak pasti sudah tahu kelas mereka masing-masing. Pengumuman ini lebih ditujukan untuk anak baru. Aku mendesah lega, setidaknya aku tidak harus berdesak-desakkan dengan manusia-manusia normal. Bagaimana kalau mereka menyenggol kakiku dan merasakan bahwa kakiku keras seperti terbuat dari logam (yang memang benar).
Aku memindai pengumuman dan mencari namaku di daftar kelas sepuluh. Setelah beberapa saat, akhirnya aku menemukannya. Aku masuk kelas X-MIA-5. Oke. Sekarang, aku tinggal mencari di mana kelas itu.
Aku mundur, menjauhi papan pengumuman dan mulai mencari kelas X-MIA-5 ketika sebuah pemikiran masuk ke kepalaku.
Aku kembali mendekati papan pengumuman, tapi kali ini, aku memindai nama anak-anak kelas sebelas. Siapa tahu saja Profesor Halim salah. Siapa tahu saja, Damar suka sekali dengan namanya dan tidak mau repot-repot mengganti namanya... siapa tahu...
"Lo kelas sepuluh, kan?" tanya seseorang, mengejutkanku. Aku menoleh dan mendapati seorang murid perempuan berdiri di belakangku. Cewek itu hampir sama tinggi denganku, walaupun aku agak sedikit lebih tinggi. Rambutnya dikuncir kuda ke belakang dan wajahnya manis. "Gue cukup yakin lo kelas sepuluh. Gue belum pernah lihat lo. Lo anak baru, ya?"
Aku mengangguk. "Iya, gue anak kelas sepuluh. Gue lagi lihat yang kelas sebelas karena gue lagi nyari... nama seseorang."
Cewek di depanku tersenyum. "Ah," katanya, seolah-olah dia mengerti ucapanku. "Berarti gue benar."
"Maaf?" Aku tidak mengerti apa yang dibicarakannya.
Cewek itu mengulurkan tangannya kepadaku. "Kenalin, gue Risya. Profesor Halim bilang lo bakal dateng. Laura, kan? Tenang aja, Laura, gue bakal bantuin lo nyari Damar."[]
a.n hai semua! : )
gimana ceritanya sejauh ini? wkwk
28 Januari 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Would You Like to Be My Cyborg?
Teen FictionLaura ditugaskan oleh SCN (Sekolah Cyborg* Nusantara) untuk mencari dan membawa pulang Damar-seorang cyborg cowok yang dua tahun lalu kabur dari SCN. Damar diberitakan pindah ke sekolah manusia normal dengan identitas dan tampang yang bisa dipastika...