chapter 14: hello, thanks for the candy but i can't swim
Hari ini, Aga kembali duduk di sebelahku. Sewaktu aku tanya kenapa kemarin dia pindah, Aga nyengir dan menjawab, "Ada temen yang perlu bantuan gue."
Aku tidak mengerti apa maksudnya, tapi Aga juga tampaknya tidak ingin menjelaskan lebih banyak, jadi aku tidak bertanya.
"Gimana Zikri?" Aga tiba-tiba bertanya sewaktu aku sedang mempersiapkan buku-buku yang akan kugunakan hari ini untuk belajar.
Aku menoleh lalu menjawab, "Gue berencana ngomong langsung sama dia, tapi gue yakin dia udah lupa sama gue. Jadi yah, mungkin kapan-kapan aja, deh. Enggak terlalu penting ini." Aku sudah memikirkan jawaban itu kalau-kalau Aga bertanya (bukannya aku kegeeran Aga bakal bertanya, tapi dia pasti bertanya. Aku benar kan?).
"Mau gue tanyain?" tanya Aga.
"Eh enggak usah!" jawabku. Aku nyaris saja berkata bahwa Risya sudah menangani Zikri ketika aku mengingat akan betapa anehnya itu di telinga Aga. Kalau Zikri saja tidak ingat aku yang merupakan teman TK-nya (menurut ceritaku kepada Aga), bagaimana dia bisa tahu jika aku menyuruh temanku yang sama sekali orang asing bagi Zikri?
Aku mengembuskan napas lega—untung saja aku berpikir dua kali sebelum berkata kali ini. Aga tidak perlu menjadi saksi kebodohanku lagi.
Untungnya, Aga juga tidak memaksa untuk berbicara kepada Zikri. Dia malah mengalihkan topik ke Dimas, "Gue lihat, lo kemarin tertarik sama Dimas yang di gedung olahraga itu. Dia udah punya pacar, lho."
Aku belum mempersiapkan jawaban untuk itu.
Tapi, aku memaksakan otakku berpikir cepat. "Iya, tapi kayak gue bilang ke lo, gue cuma ngelihat dia karena Dimas agak mirip sama temen TK gue yang waktu itu. Dia mirip Zikri, kan? Nah, siapa tahu aja itu dia."
Aga mengangguk-angguk. "Yah, kalau dilihat sekilas Dimas sama Zikri lumayan mirip," komentarnya. "Mau gue kenalin ke Dimas? Dia baik, kok. Yah, asal lo jangan nyoba ngegebet dia aja."
Aku menggeleng. Jalanku ke Dimas adalah Kak Radhi. "Enggak usah, enggak apa-apa."
Aga mengangkat alisnya, tapi tidak mengatakan apa-apa lagi. Kemudian, setelah beberapa saat, cowok itu bertanya sambil membetulkan letak kacamatanya, "Lo ikut ekskul apaan, Ra?"
"Enggak ikut ekskul apa-apa," jawabku. Aku sudah memikirkan ini—aku tidak akan ikut ekskul apa pun, karena nanti, waktuku untuk mencari Damar berkurang. Aku tidak mau itu. Aku mau menemukan Damar sesegera mungkin.
"Lo harus ikut seenggaknya satu ekskul," kata Aga.
"Enggak, ah, males," jawabku.
"Asyik tahu," bujuk Aga.
"Enggak." Aku bersikeras.
Aga tampak berpikir sebelum akhirnya berkata, "Gini aja, deh. Gimana kalau pulang sekolah ini, lo lihat gue ekskul renang? Siapa tahu lo tertarik."
"Bukannya lo ikut ekskul basket?" tanyaku. "Ikut renang juga?"
Aga mengangguk.
Aku nyaris berkata aku tidak mau, tapi aku teringat Aga sudah sangat baik kepadaku (dia membantuku dengan Zikri dan Dimas), jadi tidak ada salahnya aku mencoba menonton dia ekskul—satu kali saja kurasa tidak ada salahnya.
"Gimana?" tanya Aga.
Aku akhirnya mengangguk. "Ya udah, boleh, deh. Tapi kayaknya gue enggak bakal tertarik. Dari dulu enggak pernah tertarik sama olahraga apa pun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Would You Like to Be My Cyborg?
Teen FictionLaura ditugaskan oleh SCN (Sekolah Cyborg* Nusantara) untuk mencari dan membawa pulang Damar-seorang cyborg cowok yang dua tahun lalu kabur dari SCN. Damar diberitakan pindah ke sekolah manusia normal dengan identitas dan tampang yang bisa dipastika...