chapter 17: hello, does he feel awkward around girls?
"Demi apa ada cowok kayak begitu?" Eva tertawa.
Malam itu, aku memutuskan untuk menelepon Eva dan meminta bantuan darinya. Agar dia mengerti, aku menjelaskan dulu tentang pengalamanku dengan Radhi tadi siang—tentang bagaimana Radhi yang merasa canggung setengah mati di hadapan cewek.
"Iya, serius," jawabku. "Nah, tapi karena dia mirip Damar, gue perlu tahu apa Damar pernah punya pacar. Kata Radhi, dia enggak pernah pacaran dan gue percaya. Kalau lo lihat gimana cara dia ngomong ke gue, lo bakal tahu dia beneran. Enggak pura-pura. Tadi gue udah sempet nanya ke Risya dan dia bilang, pas pertama kali mereka ketemu, Radhi emang agak canggung gitu. Gue rasa itu beneran."
"Bisa aja itu Damar lagi akting," komentar Eva.
"Iya, bisa aja, sih. Tapi gue rasa Radhi beneran," kataku bersikeras. Entah kenapa, aku merasa bahwa Radhi tidak memalsukan hal itu. "Udah, lah, tolong cari tahu aja, apa Damar pernah punya pacar dan apa dia canggung di sekitar cewek."
"Kenapa lo enggak tanya Profesor Tari aja?" tanya Eva.
"Gue baru nanya sama dia olahraga apa yang Damar suka. Gue enggak enak nanya lagi sama dia," jawabku. Walaupun Profesor Tari baik dan kedengarannya tidak keberatan menjawab apa pun pertanyaanku, tetap saja aku merasa tidak enak. (Dan sejujurnya, aku agak takut kepadanya setelah dia tahu kegiatan favoritku yang tidak pernah kukatakan kepadanya).
"Terus, gue harus cari tahunya gimana?" tanya Eva.
"Tanya-tanya ke orang," jawabku. "Coba tanya sama Kinan, deh. Dia mungkin tahu." Kinan adalah temanku dan Eva yang dikenal sebagai tukang gosip. Tidak ada satu gosip pun yang luput dari perhatiannya.
"Oh, iya. Gue lupa sama dia." Eva tertawa. "Gue yakin banget Kinan pasti tahu. Nanti gue kabarin kalau gue udah nanya ke dia."
"Oke, makasih, Va."
*
"Hari ini gue ada ekskul basket. Lo mau lihat gue lagi kayak pas gue renang?" tanya Aga.
Sekarang bel pulang sekolah sudah berbunyi, dan Aga sedang mengeluarkan baju basket dan kaleng kecil permen mint rasa lemon dari tasnya.
Aku sendiri sedang membereskan mejaku dan bersiap-siap bertemu Risya. Katanya, dia punya kabar terbaru tentang Zikri. Aku tidak sabar mendengarnya.
Jadi, aku menjawab, "Sori gue enggak bisa."
Aga tertawa. "Enggak apa-apa kali. Santai aja." Dia kemudian mengeluarkan permen mint dan memasukkan permen itu ke mulutnya. "Mau?" tanyanya sambil menyodorkan kaleng permen itu kepadaku.
Aku mengambil satu permen dari dalamnya. "Makasih." Kemudian, aku melihat baju basket yang dilempar Aga ke meja. Di belakang baju itu tertulis namanya—Aga.
Pertama kali aku mendengar nama itu ketika guru mengabsen, kupikir itu nama yang aneh. Tapi lama-lama, aku terbiasa.
Oke, kenapa aku memikirkan nama Aga?!
"Ngelihatin baju basket gue biasa aja, dong," goda Aga sambil tertawa kecil. "Kalau pengin lihat orangnya enggak apa-apa, enggak usah malu dan malah lihat bajunya doang."
Walaupun aku sebal karena—lagi-lagi—digoda Aga, aku tertawa. Lama-lama, aku menganggap kebiasaannya menjailiku itu lucu. Lagi pula, tidak ada gunanya marah-marah, kan?
Yah, memang susah untuk marah, sih, jika yang menggodamu bertampang seperti Aga.
Oke, (lagi-lagi) apa yang kupikirkan?!
"Gue cuma mikir, udah lama gue enggak main basket," jawabku—setengah jujur, setengah tidak. Aku memang sudah lama tidak bermain basket, tapi aku tidak sedang memikirkan itu. Aku kan tadi sedang memikirkan nama Aga.
"Kenapa? Jangan bilang karena penyakit lo lagi itu," tanya Aga.
Aku meringis dalam hati. Sebenarnya, cyborg bisa bermain basket. Tapi karena seluruh kaki kananku adalah kaki robot, rasanya aneh kalau harus berolahraga dengan kaki yang beda sebelah.
Lagi pula, kalau di SCN kami bermain basket (saat aku terpaksa main basket), saat kami tergebok bola dan bola itu mengenai bagian tubuh robot kami kemudian menimbulkan bunyi yang keras, itu tidak akan dianggap aneh. Bagaimana kalau aku bermain basket bersama manusia-manusia normal ini, kemudian bolanya mengenai kaki kananku dan berbunyi keras?
Tidak, itu tidak boleh terjadi. Akan lebih gampang kalau aku memberitahu Aga bahwa itu karena penyakitku saja.
"Iya, karena penyakit gue," jawabku, berusaha menunjukkan dari caraku berbicara bahwa aku tidak ingin membicarakan masalah ini lebih jauh.
Aga tampaknya mengerti, karena dia kemudian mengangguk dan mengambil baju basketnya. "Ya udah, gue duluan, ya. Dadah!"
"Dah."
Kemudian, Aga pergi meninggalkan kelas, dan baru beberapa saat kemudian, aku sadar bahwa aku sedang tersenyum sendiri.
*
Risya memintaku menemuinya di gedung kantin. Jadi begitu aku keluar dari kelas, aku segera menuju kantin. Begitu sampai di kantin, yang pertama kali kulihat adalah Xavier Damara—kakak kelasku yang pernah selama beberapa detik menjadi tersangkaku. Cowok itu sekarang sedang makan sate sambil mengobrol dengan temannya.
Kemudian, setelah mengedarkan pandangan sekali lagi, barulah aku menemukan Risya. Cewek itu sedang duduk sendiri di meja untuk dua orang. Di depannya ada semangkuk mi dan dia sedang mengetik sesuatu di ponselnya.
Aku pun segera menghampiri Risya dan duduk di hadapannya. "Hai."
Risya mendongak dari ponselnya dan menatapku sambil nyengir lebar. "Gue rasa, kita bisa nyoret nama Zikri dari buku merah lo."
Aku menatap Risya, tertarik. "Kenapa?"
"Karena, tadi pagi, gue kan ketemu sama dia. Dia nyamperin gue, ngajak gue jalan Sabtu ini—"
"Demi apa?" tanyaku tidak percaya. Kemudian aku tertawa geli. Lucu sekali jika Zikri dan Risya bisa benar-benar dekat.
"Jangan nyela dulu!" seru Risya, walaupun dia juga tersenyum. "Nah, kebetulan pagi itu gue lagi bawa pensil, kan. Terus gue ajak dia bercanda aja. Pas kita berdua lagi ketawa, gue sok-sok nepuk punggungnya gitu, tapi pakai tangan yang megang pensil. Gue nepuk beberapa kali dan enggak ada bunyi keras. Jadi Zikri bukan Damar, karena di punggungnya enggak ada logam."
Aku tertegun. Dia benar juga. Tepuk saja punggungnya! Selama ini, aku selalu berpikir untuk menimpuk punggung tersangkaku dengan batu atau kerikil, sehingga aku tidak terpikirkan cara lain seperti yang Risya lakukan.
"Nah, lo bisa coret nama dia," sambung Risya.
Aku pun mengeluarkan buku merahku dan mencoret nama Zikri, membuatku sadar akan satu hal.
"Berarti, tersangkanya tinggal satu, Ris—Radhi."[]
a.n
HAI SEMUA! Makasih yang bilang enggak akan bosen sama ceritaku HEHE : """))). Makasih yaa xBtw aku post short story judulnya When Social Media Comes Alive. Silakan dibaca yaa (kalau mau) hehe x D
16 Juni 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Would You Like to Be My Cyborg?
Teen FictionLaura ditugaskan oleh SCN (Sekolah Cyborg* Nusantara) untuk mencari dan membawa pulang Damar-seorang cyborg cowok yang dua tahun lalu kabur dari SCN. Damar diberitakan pindah ke sekolah manusia normal dengan identitas dan tampang yang bisa dipastika...