Chapter 7: hello, let's shake hands (because i don't know you have a metal-hand)

14.5K 2.7K 94
                                    

chapter 7: hello, let's shake hands (because i don't know you have a metal-hand)



"Kenalin, gue Risya. Profesor Halim bilang lo bakal dateng. Nama lo Laura, kan? Tenang aja, Laura, gue bakal bantuin lo nyari Damar."

Boleh aku pingsan sekarang juga?

Aku benar-benar terkejut sehingga aku tidak bisa mengatakan apa pun. Aku bahkan tidak bisa bergerak. Sampai-sampai, beberapa orang menyikutku, menyuruhku minggir karena menghalangi jalan mereka yang mau lewat.

Sambil tertawa kecil. Risya meraih tanganku—tangan kananku—dan menarikku untuk duduk di kursi panjang yang ada di koridor itu.

"Gue jelasin dulu, ya? Lo pasti kaget banget," kata Risya.

Aku mengangguk. "Oke." Setelah mengatakan kata itu, aku baru sadar bahwa sedari tadi aku menahan napas.

Silakan pikir aku berlebihan, tapi coba pikirkan. Aku masuk ke sekolah yang berisi manusia-manuisa normal. Dan di antara manusia-manusia normal itu ada seseorang yang mengklaim tahu Profesor Halim dan tahu tentang Damar.

Bayangkan. Bagaimana bisa?!

"Jadi gini," kata Risya, memulai. "Gue punya kakak. Dia cyborg. Sekarang sih, dia udah lulus dari SCNMA dan masih magang di SCN, mungkin lo pernah ketemu dia."

Setelah lulus SCNMA, banyak murid yang memang memutuskan untuk magang terlebih dahulu. Magang yang dimaksud adalah bekerja seperti menjadi asisten koki, asisten guru (membosankan. Apalagi jika menjadi asisten Profesor Indah. Kerjaannya pasti menggaruk-garuk tanah seharian), petugas klinik, pengurus kebun, pengurus perpustakaan, guru bimbingan belajar, dan lain-lain.

"Awal tahun ajaran, waktu gue pertama kali masuk Hadir, gue ditelepon sama pihak SCN, katanya—"

"Hadir?" selaku, bingung.

"Iya, Hadir—Harapan Mandiri," jelas Risya.

Aku mengangguk. "Oh, oke."

"Nah, pihak SCN bilang, mereka enggak sengaja dengar kakak gue bilang ke temannya kalau gue masuk Hadir. Jadi, SCN diam-diam telepon gue dan cerita soal Damar ini. Mereka minta gue sebisa mungkin nyari Damar, tapi tanpa bilang sama siapa-siapa—termasuk kakak gue.

"Sampai akhirnya, seminggu yang lalu gue dapat pesan dari Profesor Halim tentang lo. Katanya bakal ada cewek namanya Laura yang harus nyari Damar buat membuktikan dia pantas dapat tangan kanan baru. Profesor Halim udah ngejelasin semuanya ke gue." Risya melirik tangan kananku yang ditutupi sarung tangan.

"Jadi gitu," kata Risya. "Gue bisa bantuin lo nyari si Damar ini. Walaupun selama enam bulan gue sekolah di sini, gue enggak bisa nemuin kakak kelas yang deskripsinya mirip Damar."

Aku terdiam cukup lama untuk mencerna informasi dari Risya. Kemudian, aku menghela napas lega. Jadi setidaknya, aku punya seseorang yang mengerti keadaanku, bahkan bersedia membantuku. Dia masih orang asing, memang, tapi tetap saja, ini lebih baik daripada yang bisa kubayangkan.

"Lo udah lihat fotonya Damar?" tanyaku.

Risya mengangguk. "SCN ngirim fotonya lewat email. Cepak gitu kan? Terus agak ganteng? Yah, gue sih enggak nemu yang pas. Tapi gue bisa bantu lo nyari orang-orang yang kayak gitu. Sebagai sesama cyborg, lo mungkin lebih tahu ciri-ciri cyborg lainnya daripada gue."

Aku mengangguk-angguk. "Makasih banyak, ya," kataku sambil tersenyum kepada Risya.

Risya balas tersenyum. "Enggak masalah. Eh, tapi, gue boleh lihat bagian tubuh robot lo enggak? Gue penasaran."

Dan, Risya memang tampak penasaran. Tampangnya sudah seperti anak kecil yang serba ingin tahu.

Aku tertawa mendengarnya. "Lo bisa lihat sebagian kaki gue dan tangan kanan gue. Tapi lo enggak bisa ngelihat seluruh kaki gue, itu sama aja memalukannya kayak gue buka celana di depan lo."

Risya tertawa. "Oke, oke. Gue ngerti."

Kami berdua menghabiskan waktu sebelum bel dengan mengorbol. Risya ternyata orangnya menyenangkan. Untunglah orang yang punya kakak di SCN dan bersekolah di Hadir bukan orang yang aneh atau bagaimana.

Ketika bel berbunyi, Risya mengajakku ke kelas. Dia menempati kelas X-MIA-4 yang letaknya persis di sebelah kelasku.

Saat aku berpisah dengan Risya dan masuk ke kelasku sendiri, perasaan sendirian kembali menyergapku. Tapi aku pasti bisa melewati ini. Aku harus bisa.

Berkenalan dengan Risya sudah lebih dari baik. Aku harusnya bersyukur.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, hanya untuk mendapati bahwa seisi kelas memperhatikanku. Mereka tampak penasaran.

Aku memberanikan diri dan berkata, "Hai, gue Laura. Gue anak baru, dan menurut papan pengumuman, gue masuk X-MIA-5."

Terdengar gumaman dari murid-murid di kelas itu. Sampai akhirnya, ada seorang anak perempuan yang menghampriku. Wajahnya ramah, dan dia mengulurkan tangan kepadaku.

Dia. Mengulurkan. Tangan.

Bagaimana ini? Aku harus menyambutnya dengan tangan kananku. Tadi sewaktu Risya memegang tanganku, dia tidak mengatakan apa-apa kalau dia merasakan tanganku yang keras. Tapi itu mungkin karena dia sudah tahu bahwa aku cyborg. Masalahnya, aku yakin orang di depanku akan ketakutan kalau tahu aku cyborg.

Namun, tidak ada yang bisa kulakukan selain mengangkat tangan kananku dan berharap sarung tanganku membuat tanganku terasa tidak terlalu keras.

Aku menyambut uluran tangan gadis itu.

"Vivi," katanya sambil tersenyum lebar. Dia tidak mengatakan apa-apa soal tanganku yang keras. Diam-diam, aku menghembuskan napas lega.

Satu per satu, murid-murid di X-MIA-5 mulai memperkenalkan diri kepadaku. Sampai akhirnya, seorang guru masuk. Guru itu menyuruh kami semua duduk.

"Kamu pasti anak baru itu, ya?" tanyanya kepadaku.

Aku mengangguk. "Iya, Prof—maksud saya, iya, Bu." Dalam hati, aku mengutuk diriku sendiri yang ceroboh. Aku nyaris keceplosan! Lima tahun bersekolah di SCN, aku sudah terbiasa memanggil semua guru dengan sebutan 'Profesor'.

"Nama Ibu, Ibu Tri. Kamu bisa duduk di—" Ibu Tri memandang seisi kelas. Kemudian tatapannya berhenti di sebuah kursi kosong. "Nah, kamu bisa duduk di situ. Di samping Aga."

Aku mengangguk dan menyunggingkan seulas senyum tipis kepada Bu Tri. "Makasih, Bu."

Kemudian, aku berjalan menuju kursi kosong yang tadi ditunjukkan oleh Bu Tri. Kursi itu ada di sebelah kursi seorang cowok yang menurut Bu Tri bernama Aga.

Begitu aku duduk, Aga memutar badannya sedikit dan mengulurkan tangannya kepadaku. "Belum sempat kenalan tadi. Nama gue Aga."

Aku mengulurkan tangan. "Laura."

Aga tersenyum singkat kemudian kembali menatap ke depan kelas.

Diam-diam, aku kembali menghembuskan napas dengan lega. Sejauh ini, semuanya berjalan baik-baik saja. Aku belum secara tidak sengaja menampilkan kaki atau tangan kananku, dan yah, oke, aku memang tadi nyaris memanggil Bu Tri dengan sebutan 'Profesor', tapi tampaknya tidak ada yang memusingkan hal itu.

Dan bukannya aku peduli atau apa, tapi aku duduk di sebelah cowok yang sejauh pengelihatan sekilasku, wajahnya lumayan juga.

Aku tersenyum kecil kepada diriku sendiri. Aku pasti bisa melewati ini. Tangan kanan baru, aku pasti akan datang.[]

4 Februari 2017

Hello, Would You Like to Be My Cyborg?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang