"Ughhh...," Aku melenguh pelan ketika merasakan seluruh tubuhku terasa keram. Aku menggerakkan tubuhku dan menyadari lantai keraslah yang sedang menjadi alas tidurku. Aku kemudian membuka mataku perlahan mendapati dapurlah tempatku sedang tertidur.
Aku berdiri dan mengernyit ketika rasa keram kembali menjalari tubuhku. Setelah menggosok kedua mataku perlahan, aku berjalan dengan malas menuju kamar mandi.
"Hahhhh...," Aku menghela napasku pelan sambil memyadarkan kepalaku ke dinding dan membiarkan air hangat mengguyur lembut kepalaku.
"Apa yang sedang terjadi padaku?" Entah sudah berapa kali pertanyaan itu terlontar di bibirku pelan.
Aku menutup mataku mencoba menenangkan seluruh saraf – sarafku. Tiba- tiba, ingatan mengenai mimpi barusan menghantam kepalaku.
"Ugghhh...," Aku bersimpuh seketika sewaktu merasa jantungku kembali bertalu – talu di dalam sana. Jantungku terasa seperti dicengkram kuat dan itu sangat menyakitkan. Tanganku bergerak naik memukul jantungku berharap hal itu mampu mengurangi rasa sakitnya.
"Hiks..., hikss...," Aku menangis.
Yah, aku menangis keras.
Aku tidak tahu apa alasan persisnya, yang pasti ketika aku mengingat mimpiku mengenai gadis semalam, air mataku seketika merosot turun. Rasa sakit gadis itu seolah tergambar nyata di dalam otakku hingga mengirimkan rasa sedih ke dalam relung jantungku.
Aku terpaku membiarkan rasa sakit itu mencengkramku. Kemudian setelah detik – detik berlalu, rasa sakit itu mulai memudar hingga tidak bersisa.
---
"Hei kau masih bermimpi hal aneh itu?" Tanya Kai penasaran padaku.
"He'em," Jawabku sambil mengaduk – aduk jusku dan menganggukkan kepala. Saat ini aku sedang bersama Kai di sebuah kafe untuk membahas sesuatu.
Kai, pria aneh namun sayangnya sangatlah tampan. Pria aneh ini telah hidup bersamaku selama 24 tahun. Apabila kalian berpikir jika dia adalah pacarku atau bahkan suamiku, itu salah besar. Pria aneh ini ditemukan bersamaku di waktu yang sama oleh orang yang sama. Aneh bukan?
Dan orang itu kemudian membawa kami berdua ke sebuah panti asuhan yang akhirnya menjadi tempat bernaung kami berdua. Kami kemudian tumbuh dan besar bersama. Kini, pria aneh dan gila ini adalah editor untuk novel – novel yang aku tulis.
"Masih tentang pria itu?" Kai lagi – lagi bertanya.
"Ya. Tapi, tidak, em-maksudku iya tapi kali ini ada orang lain dalam mimpiku," Aku berkata sambil menatap Kai yang kini tampak semakin tertarik.
"Ceritakan padaku cepat," dengan tidak sabar Kai memintaku untuk menceritakan mimpiku semalam.
"Emhhh..., yah, di dalam mimpi aku masih melihat pria itu memanggil – manggil namaku. Namun, kali ini aku melihat seorang gadis yang sangat mirip denganku dan-," aku terdiam tidak melanjutkan kalimatku hingga membuat Kai tampak kesal.
"Apa aku juga harus mengatakan tentang darah di dress gadis itu?"
"Bagaimana dengan rasa sakit yang kurasakan ketika aku melihat gadis itu,"
"Apa Kai akan berpikir jika aku mulai gila?"
Aku bergulat dengan segala kemungkinan buruk di kepala hingga mengabaikan Kai yang saat ini tengah menatapku dengan rasa penasaran yang tinggi.
"Hey, hey...," Kai melambaikan tangannya di depan wajahku sambil menatapku kesal.
"Uh-oh, apa?"
Dengan memutar bola matanya malas Kai berkata,"Hey, bisakah kau simpan hobimu itu nanti sewaktu kau ingin menulis."
"Hehehe...," aku terkekeh.
Kai berpikir jika aku sedang melamun.
"Jadi, bisa-,"
Belum selesai Kai melanjutkan kalimatnya aku memotong, "Oh, astaga. Aku rasa aku harus segera pulang."
"Ada apa? Kenapa kau begitu terburu-buru?" Tanya Kai dia menatap Lissa dengan wajah kebingungan.
"Kurasa aku baru saja mendapat ide baru. Heheheh..., kurasa aku harus segera pulang. Babay!!" Aku melambaikan tanganku pada Kai dan bergegas pergi dari tempat ini mengabaikan segala ungkapan protes Kai padaku.
Ini tentu hanyalah tipuanku semata, aku hanya tidak ingin menceritakan keseluruhan mimpiku semalam sebab hal ini benar – benar masih terasa gila. Aku takut Kai mengira aku mulai gila.
"Kau tahu, Quenn. Aku senang melihatnya menderita. Tapi, tempatmu bukanlah disini. Tempatmu berada tepat di dalam rengkuhan Sang Langit malam," suara lembut mengalun di udara dengan frekuensi rendah membuat Lissa tidak dapat mendengarnya dengan jelas.
---
Bug.
Karena tidak berhati – hati, aku menabrak seseorang, lebih tepatnya seorang wanita tua. Kulihat beberapa kertas yang dibawanya berterbangan ditiup angin karena kecerobohanku.
"Astaga, maafkan aku. Aku benar – benar minta maaf," dengan nada yang benar – benar terdengar merasa bersalah, aku membantunya merapikan kertas – kertas yang berceceran.
"Tidak apa – apa," wanita itu berkata pelan sambil tersenyum kepadaku seolah tengah merindukan seseorang.
"Maafkan aku," aku kembali berkata sambil mengembalikan setumpuk kertas itu kepadanya. Wanita itu menerima setumpuk kertas itu, namun wajahnya masih terus menatapku. Aku tersenyum kikuk, ketika mendapatinya yang terus menerus menatap wajahku.
"Ehem, apa ini brosur paket wisata?" tanyaku padanya. Sekaligus mencoba membuatnya berhenti menatapku.
"Iya, kau benar. Di desa nenek ada sebuah kastil indah namun sayangnya -," wanita itu tidak melanjutkan kalimatnya. Bibir keriputnya tampak tersenyum tipis, namun wajah cantiknya seperti tampak begitu sedih.
Aku menatap wanita itu lekat. Seluruh rambutnya telah memutih. Sama sekali tidak menyisakan satu rambut pun yang berbeda warna dari putih. Matanya tampak begitu lelah, seolah tengah memanggul sebuah beban berat dan itu membuatku sedikit sedih.
Aku kemudian tersenyum lembut, "Bolehkah aku meminta satu lembar brosurnya,"
Yah, siapa tahu aku bisa membantunya, batinku.
"Oh, tentu sayang. Ini ambillah," wajah sedihnya seketika berseri sewaktu aku meminta satu brosurnya.
"Terimakasih," aku membalasnya pelan. Aku menatap brosur itu dan mendapati sebuah kastil megah dengan taman bunga yang begitu indah di halaman pertamanya. Dahiku mengernyit, bagaimana bisa kastil seindah ini tidak ada pengunjungnya?
"Akhhh...," aku refleks menyentuh dahiku ketika rasa sakit itu kembali menerjangku. Rasa pusing mulai menggerogoti kepalaku membuatku menutup mataku sejenak.
Whussss...
Aku membuka mataku cepat ketika angin menyapu lembut kulitku. Aku seketika tercengang. Tubuhku nyaris limbung, mendapati tubuhku sudah berada di tempat yang sama dengan kastil yang sama dengan gambar di brosur wanita tua tadi.
Mataku meliar, kudapati sebuah keramaian. Penasaran dengan apa yang terjadi, aku mendekati keramaian itu dengan tergesa-gesa.
"Jadi, seseorang sedang menikah saat ini," Aku mengangguk – anggukan kepalaku perlahan sambil berusaha melihat wajah kedua mempelai.
"Ya, Tuhan apalagi ini?!" Aku menjerit di dalam hati ketika melihat wajah salah satu mempelai yang sangatlah mirip denganku. Aku mengucek mataku keras berharap apa yang tengah kutatap kini adalah kesalahan otak yang membuatku berhalusinasi.
"Apa aku mulai gila?!"
---
KEANEHAN, KEGAJEAN, dan KETYPOAN harap LAPORKAN!!!
THANKS FOR READING and VOTE
LOVE YOU
28/12/2016
KAMU SEDANG MEMBACA
The King's Wife
Historical FictionAllisa, gadis pendiam dengan jutaan fantasi liar. Tak banyak yang dekat dengannya sebab dari kecil ia hanya memiliki Kai yang dianggapnya sebagai saudaranya. Tiga bulan terakhir, dirinya selalu bermimpi tentang pria tampan yang berteriak histeris sa...