"Aneh. Kenapa dokter itu tidak mau menjelaskannya di sini," Ucap Kai sambil mengerutkan dahinya setelah suara derit pintu yang berbunyi akibat dibuka oleh dokter itu tidak lagi terdengar.
"Ak-aku tak tahu," suara Lissa terdengar sedikit ragu. Kemungkinan-kemungkinan buruk tentang dirinya melayang-layang dalam kepalanya.
Kai mengerjap matanya berulang sewaktu menyadari suatu hal. Matanya seketika memicing, menatap tajam Lissa yang saat ini tampak sedang melamun. Tatapannya tampak kosong menatap pintu bangsal.
"Kau tidak pernah mengatakannya jika kau sering merasa sakit atau pusing pada kepalamu," Kai berkata sambil mencoba menarik perhatian Lissa yang tidak tertuju padanya.
"Ehhhmmm..., maaf," Lissa menundukkan kepalanya merasa bersalah. Meskipun jiwanya sempat terbang barusan, Lissa masih mengerti sedikit-sedikit tentang pertanyaan yang baru saja Kai lontarkan kepadanya.
"Hahhh, apa kau benar-benar menganggapku sebagai saudaramu?" nada suara Kai terdengar kecewa. Matanya menatap sedih Lissa.
"A-aku hanya tidak ingin kau khawatir," dan menganggapku gila kemudian menjauhiku. Lissa melanjutkan kalimat terakhirnya dalam hati.
Sret
Kai mengusap lembut kepala Lissa dengan sayang. Mata pria itu tampak berkaca-kaca seolah kasih sayang pria itu akan tumpah seperti air mata.
"Kau sudah kuanggap sebagai saudariku Lissa. Tidak ada yang perlu kau sembunyikan. Aku tentu akan khawatir, tapi itu wajar, bukan? Aku menyayangimu seperti adikku sendiri," suara Kai melembut.
"Maukah kau berjanji untuk tidak menyembunyikan sesuatu dari diriku lagi?" Kai menyodorkan jari kelingkingnya pada Lissa tepat di hadapan gadis itu.
"Ap-"
"Oh ayolah, Lissa. Kau hanya perlu berjanji padaku," Kai menggerak-gerakkan jari kelingkingnya.
Lissa masih diam.
"Kau harus melakukannya," lanjut Kai lagi dengan nada memaksa.
atau aku akan terlambat menolongmu lagi seperti dahulu.
---
Lissa melangkahkan kakinya perlahan keluar dari bangsalnya untuk menuju ruangan dokter. Dia terus-menerus memperhatikan cairan infusnya agar darah pada tangannya tidak mengalami kapilaritas atau dia akan berteriak panik hanya karena melihat darahnya yang tersedot naik ke melalui saluran infus.
Lissa melangkahkan kakinya perlahan. Dia melempar pandangan ke sekelilingnya.
Rumah sakit itu sama saja dengan rumah sakit lainnya. Cat dindingnya berwarna putih polos dengan lantai marmer yang sama pucatnya dengan warna dinding. Lorongnya yang begitu banyak ditambah dengan bau desinfektan yang menyengat dan jangan lupakan dengan beberapa pengunjung yang tampak lemah karena tubuhnya diserang penyakit.
Lissa hanya berjalan sendirian saat ini. Kai baru saja meninggalkannya dikarenakan telepon mendesak yang dikeluarkan oleh penerbit. Pria itu berkata dia akan datang kembali kemari menjaganya setelah urusannya dengan penerbit selesai.
Pria itu sempat menolak permintaan dari penerbit karena sedang menjaga Lissa yang sedang sakit. Namun, karena dorongan dan paksaan dari Lissa, akhirnya pria itu menerima ajakan dari penerbit untuk bertemu dengan catatan hanya sejam.
Lissa sangat tahu jika pria itu sangat menyayanginya lebih dari apapun. Pria itu sudah menjadi perisainya sejak kecil. Menemaninya bermain dan belajar. Bahkan pria itu sering menolak ajakan dari teman sejenis kelamin dengannya hanya untuk menemani gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The King's Wife
Ficção HistóricaAllisa, gadis pendiam dengan jutaan fantasi liar. Tak banyak yang dekat dengannya sebab dari kecil ia hanya memiliki Kai yang dianggapnya sebagai saudaranya. Tiga bulan terakhir, dirinya selalu bermimpi tentang pria tampan yang berteriak histeris sa...