"Oi, jangan terus-terusan menatapku atau kau akan jatuh cinta padaku," teriak Lissa menghancurkan suasana magis di antara mereka. Matanya menyipit jenaka di balik rinai hujan.
Kai terkekeh. Dia pun kembali melanjutkan langkahnya dengan sedikit tergesa-gesa. Tetesan air yang berjatuhan tak menghalangi langkahnya untuk segera berlari berdampingan dengan Lissa yang basah kuyup.
Mereka berdua pun berlari mendekati sebuah rumah kecil tersebut. Namun, langkah Lissa seketika memelan dan mulutnya terbuka lebar ketika mendapati kejutan lain.
Gadis itu baru saja menyadari jika rumah kecil yang dia lihat bersama Kai bukanlah rumah penduduk, melainkan sebuah pos untuk sebuah rumah --ralat sebuah kastil besar yang dindingnya tampak di tumbuhi tumbuhan perdu. Kastil itu tampak begitu suram, namun juga tampak begitu terawat. Rumput hijau menutupi halamannya, dengan pemandangan yang mungkin cukup indah jika dilihat tanpa petir yang saling menyambar di atas sana.
Gadis itu melebarkan pandangannya. Menatap lingkungan sekitarnya yang tampak tak asing baginya. Langkahnya melambat perlahan sambil mencoba mengingat-ingat sesuatu. Uap napasnya tampak mengepul seperti uap pada teh panas.
"Akhhh...," Lissa memekik pelan. Kali ini rasa sakit itu kembali menghantamnya, namun dengan frekuensi kecil. Sangat berbeda dengan rasa sakit yang dia alami akhir-akhir ini yang bisa membuatnya pingsan.
Kai mengerutkan dahinya ketika melihat Lissa yang menyentuhkan tangannya ke arah dada dan wajah gadis itu yang tempak kesakitan. Pria itu kemudian berkata sedikit keras agar suaranya tidak dimakan hujan, "Apa kau baik-baik saja?"
"A-aku baik-baik saja. Sebaiknya kita segera masuk. Udara semakin dingin bisa-bisa kita kena hipotermia," balas Lissa tak kalah kerasnya.
"Baiklah, ayo!"
Mereka pun melangkahkan kaki mereka ke dalam kastil itu. Memasuki pelantarannya yang begitu luas. Rasa sakit di dada Lissa mulai berkurang membuat dia mampu berlari tanpa rasa sakit.
Kaki mungil Lissalah yang lebih dahulu memasuki teras kastil itu. Kemudian, disusul Kai. Tampaknya pria itu tampak sedikit kewalahan dengan dua koper di tangannya.
Lissa pun segera membantu Kai menarik kopernya. Kemudian menggosok tangannya yang tampak pucat hingga menciptakan panas di keduanya.
Lissa memberengut menatap Kai yang hanya menatap pintu besar dihadapannya tanpa melakukan apa-apa padahal mereka berdua sudah benar benar kedinginan.
Kesal karena Kai tidak kunjung mengetuk pintu itu, tangan Lissa pun maju mencoba mengetuknya. Namun, belum sampai kulit tangan gadis menyentuh pintu, Kai mencegahnya dengan cepat. Dia mencengkramnya erat, kemudian menatap Lissa dengan tatapan yang sama sekali tidak bisa Lissa artikan.
"Kau yakin tidak ingin kembali?"
"Oh, ayolah, Kai. Tentu saja tidak. Bagaimana bisa kita kembali jika cuacanya saja sudah seperti ini. Belum lagi bus yang belum tentu ada," balas Lissa. Tangannya menggeliat dalam genggaman Kai. Dengan susah payah gadis itu melepaskan tangannya dan dengan segera mengetuk pintu besar di hadapannya.
Tiba-tiba, pintu besar di hadapannya terbuka. Membuat Lissa terlonjak kaget ketika mendengar deritannya. Gadis itu menatap Kai yang lagi-lagi menatap kosong.
Dongkol. Jelas itu yang Lissa rasakan. Kai lagi-lagi bertingkah seperti patung yang tak bernyawa. Dia merasa jika dia hanya membawa sebuah patung bergerak di tempat ini. Biasanya pria itu akan terus menemaninya bicara atau menertawakan keterkejutannya tadi.
"Se-selamat malam. Ada yang bisa saya bantu?" Seorang wanita tualah yang membukakan mereka pintu. Wanita itu tampak mengenakan pakaian aneh yang membuatnya heran. Namun, senyum di bibir wanita itu menghilangkan ekspresi heran Lissa. Ia tak ingin wanita yang tampaknya sangat baik ini merasa tersinggung dengan ekspresinya barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The King's Wife
Historical FictionAllisa, gadis pendiam dengan jutaan fantasi liar. Tak banyak yang dekat dengannya sebab dari kecil ia hanya memiliki Kai yang dianggapnya sebagai saudaranya. Tiga bulan terakhir, dirinya selalu bermimpi tentang pria tampan yang berteriak histeris sa...