Bendera putih telah berkibar bersama dengan tubuh mungilnya yang meringan dibawa angin.
---
Still Someone POVKesadaran gadis itu sudah hilang. Lenyap bersama kesedihan yang menggumpal dalam hatinya.
Seorang pelayan yang merupakan sahabatnya tampak bergetar. Dia merasa bersalah hingga rasanya ingin mati. Tangannya terus bergetar dalam keheningan yang mencekam.
"Berikan aku air itu," Suara berat dengan nada datar penuh perintah memecahkan kesunyian. Membuat ketiga pelayan itu tersentak ketakutan.
Tanpa berani menatap wajah sang empu suara, salah satu dari mereka menyodorkan segelas cairan bening itu dengan tangan gemetar.
Tidak ada ekspresi apapun yang terpancar dari wajah sang pria. Dengan datarnya dia mendekatkan bibir gelas dengan bibir mungil sang putri tidur seolah cairan itu hanya cairan biasa yang tidak penting.
Namun, orang-orang tahu jika cairan itu dapat membunuh apapun yang tengah tumbuh di dalam perut gadis itu.
Senyum miring tersampir di bibir pria itu. Wajah tampannya dihiasi dengan kekejian yang mendalam. Tanpa belas kasihan, dia meminumkannya kepada gadis tanpa kesadaran itu. Tidak ada perlawanan berarti darinya. Membuat pria itu bertambah senang.
Senyum setengahnya makin melebar ketika cairan itu telah habis. Dengan tatapan kejinya dia menegakkan tubuh kekarnya. Memaruh gelas kosong itu dengan anggun ke tempatnya semula. Kemudian, pria itu berjalan angkuh melewati pintu pembatas antara koridor dengan kamar itu. Lalu, menutupnya tanpa menghilangkan senyum jahat pada bibirnya.
---
Tak lagi bisa menahan rasa sedihnya, salah satu dari pelayan itu jatuh terduduk. Satu persatu air matanya mengalir keras.
Dadanya terasa sesak. Ingin sekali dia memaki pria itu. Ingin sekali dia memukuli pria itu. Ingin sekali dia membunuh pria itu.
Namun, lagi-lagi keadaan menghadangnya. Dia hanyalah seorang pelayan bodoh yang masih memiliki keluarga yang harus dia topang. Dia tidak bisa menolong sahabat baiknya itu dari cengkraman orang jahat. Dia tak bisa.
Maka, yang bisa dia lakukan saat ini hanyalah menangis. Memaki pria jahat itu dan semua keadaan yang membuatnya tak bisa menolong sahabatnya.
"Lissa, ma-maafkan aku," tangan kurus pelayan itu menggenggam tangan sang gadis erat. Air matanya terus meleleh berjatuham dari netra coklatnya.
"Aku maafkan aku, Lissa,"
"Li-Lissa...,"
"Li-Lissa....,"
"Lissa...,"
---
Lissa POVTubuh Lissa tersentak kaget. Matanya membulat menatap lancang orang-orang yang tampak tak perduli dengan keadaanya. Lissa terdiam. Napasnya terengah-engah dengan lelehan keringat di dahinya.
"Apa itu tadi?" Lissa menggumam sambil menenangkan dirinya.
"Apa yang terjadi padaku?" Tangan Lissa bergetar dalam genggamannya.
Tempat itu begitu ramai. Ada banyak orang yang berlalu lalang di terminal itu. Terlalu sibuk dengan urusan mereka mengabaikan Lissa yang tampak linglung sedari tadi.
Tangan Lissa terangkat naik menuju pelupuk matanya. Merasakan betapa sembabnya bagian itu. Tiba-tiba, rasa sedih menerjangnya. Membuat hatinya terasa bolong dan kosong.
Liquid beningnya mulai menetes kembali. Napasnya kembali terengah-engah dan lagi-lagi dia menangis keras. Tubuhnya menjongkok. Melipat kedua tangannya kemudian menangis sambil menyembunyikan wajahnya.
Hilang sudah rasa malunya. Dia hanya ingin menghilangkan rasa bolong yang menganga di hatinya. Rasa kosong yang menyiksanya tiap detik.
Sret
Hangat. Lissa tiba-tiba merasa hangat. Hatinya yang menganga sedikit demi sedikit mulai tersembuhkan meski rasa kosong itu masih ada. Lissa menikmati tiap detik yang dia habiskan dalam pelukan seseorang itu.
Namun, meski dia tidak melihat wajah pria yang tengah memeluknya, dia tahu siapa pemilik lengan itu.
"Jangan menangis," seru pria itu dengan nada lembutnya. Tangannya mengusap lembut punggung gadis itu.
"Hikss..., Kai"
"Yah ?"
"Kau datang, hiks?"
"..." Kai tidak menjawab pertanyaan itu. Dia hanya mengeratkan pelukannya kepada Lissa yang menjongkok bersamanya mengabaikan tatapan aneh orang-orang di sekitarnya.
"Apa aku sudah gila, Kai? Hiks...," Tanya Lissa masih sesegukkan.
"Hal aneh selalu datang padaku. Aku takut, aku jadi gila. Aku takut Kai,"
"..." Kai tidak menjawabnya lagi. Dia masih terus mengusap punggung gadis itu dengan lembut. Mencoba menenangkannya dalam pelukan hangat.
"Apa kau masih akan mau menjadi sahabatku setelah semua hal gila terjadi padaku, Kai? Hiks..." Lissa masih terus bertanya dalam tangisnya.
"Kau tahu Lissa, apa yang paling kusesali di dunia ini?" Bukannya menjawab pertanyaan Lissa, Kai malah terdengar melantur di telinga Lissa. Namun, Lissa tetap mendengarkannya selagi menikmati kehangatan yang menguar.
"Dulu, ada seorang gadis. Dia baik. Ah, ralat dia sangat baik. Gadis itu menyelamatkan seorang yang sangat penting. Namun, bukannya mendapat balasan baik, gadis itu malahan diperlakukan dengan buruk seolah dia hanyalah sebuah sampah rongsokan tak berguna. Suatu hari, karena sudah tidak kuat dengan semuanya gadis itu pergi. Dia menghilang di telan langit malam dalam kesedihan. Dan bodohnya lagi, aku ikut menjadi penyebab kenapa dia pergi..." Kai berhenti bercerita. Dia tampak menahan sesuatu keluar dari pucuk matanya.
"Suatu hari, aku diberi kesempatan untuk memperbaiki semuanya, tentu aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan itu," sewaktu menceritakan hal itu wajah Kai tampak begitu sedih. Matanya memancarkan sinar aneh ketika melihat wajah sembab Lissa yang tak lagi dia sembunyikan.
"Aku tidak pernah tahu kau pernah mengenal seorang perempuan" Ungkap Lissa sambil membersit hidungnya yang memerah.
"Kau tahu, Lissa," Kai berdiri dari jongkoknya sambil memegang lengan Lissa mengajaknya berdiri bersama.
"Aku tahu?" Tanya Lissa dahinya berkerut.
"Kau tahu, bahkan lebih tahu apa yang dirasakannya melebihi diriku. Tapi karena sesuatu kau melupakannya," nada suara Kai memberat membuatnya terdengar misterius.
"Hah? Maksudmu aku pernah amnesia?"
Kai tersenyum, "Anggap saja seperti itu. Btw, kau mau ke Yorkshire, kan? Ayo, biar ku antar. Aku akan membantumu mengingat kembali, Lissa."
"Wait a minuete," Lissa memicingkan matanya ke arah Kai.
"Kau tahu aku ingin pergi ke sana?!" Teriak Lissa panik.
"Tentu,"
"Ba-bagaimana bisa??!"
"Tentu saja bisa," balas Kai dengan senyum penuh misterinya.
---
Kali ini, Ann akan coba pake bantuan POV. Semoga gak membingungkan lagi. Makasih...
XOXO
Ann_Onymous
KAMU SEDANG MEMBACA
The King's Wife
Historical FictionAllisa, gadis pendiam dengan jutaan fantasi liar. Tak banyak yang dekat dengannya sebab dari kecil ia hanya memiliki Kai yang dianggapnya sebagai saudaranya. Tiga bulan terakhir, dirinya selalu bermimpi tentang pria tampan yang berteriak histeris sa...