ROSE 05

2.8K 153 0
                                    

Di dalam ruangan yang nyaris tertelan oleh gelap, hanya satu sosok yang tampak menonjol. Wanita itu berdiri di depan jendela besar, tubuhnya disinari oleh cahaya bulan yang menembus tirai tipis. Siluet Selir Isabella tampak anggun, namun ada sesuatu yang menakutkan dalam caranya tak bergerak. Seolah-olah dia menyatu dengan bayangan malam itu.

"Yang Mulia," suara seorang lelaki muncul dari sudut ruangan, nyaris tak terdengar karena lembutnya. Sosok itu masih tersembunyi dalam bayang-bayang, namun nada suaranya mengandung rasa hormat yang tak diragukan lagi.

Selir Isabella, tanpa menoleh, menarik napas panjang, seolah sudah menunggu laporan itu. "Bagaimana?" tanyanya dengan suara lembut namun penuh kekuasaan. Cahaya bulan membuat wajahnya tak terlihat, hanya menyisakan sosok samar yang menegaskan kekuasaannya.

"Saya melihat sesuatu yang mungkin akan mengejutkan Anda," kata sosok itu dengan hati-hati, berhenti sejenak sebelum melanjutkan. "Sang Guardian ... Niel ... Dia ada di kamar Putri Kanna. Mereka terlihat ... sangat dekat."

Isabella tak memberikan respons sesaat, membiarkan keheningan yang menegangkan menyelimuti ruangan. Lalu, tanpa berbalik, ia tertawa kecil. "Cukup. Aku sudah mengetahuinya. Sungguh menarik."

Sosok di balik kegelapan menelan ludah, tersadar bahwa Selir Isabella tak pernah melewatkan apa pun. Sang pengganti ini memiliki kemampuan yang jarang dimiliki orang lain: kemampuan untuk membaca aura dan melihat melalui apa yang tak kasat mata. "Lalu, apakah Anda sudah memiliki rencana?" tanyanya dengan hati-hati, meskipun dia tahu bahwa selir itu selalu selangkah lebih maju.

Isabella membalikkan tubuhnya perlahan, membiarkan cahaya bulan memperjelas senyum tipis yang licik di bibirnya. "Oh, aku punya banyak rencana. Besok, mereka akan melihat sesuatu yang tak mereka duga. Akan ada perpisahan ... dan kejutan. Sekarang, kembalilah ke tempatmu. Persiapkan dirimu."

"Baik, Yang Mulia." Sosok itu menghilang seiring dengan angin malam yang masuk melalui jendela, meninggalkan Selir Isabella sendirian dengan rencana liciknya. Dia tersenyum lebih lebar, tatapannya kembali ke bulan purnama yang menggantung di langit malam.

"Perpisahan antara sang malam dan rembulan sudah dekat," bisiknya penuh kemenangan. "Hanya tinggal sedikit lagi, dan sang rembulan akan menyerahkan tahtanya tanpa perlu dipaksa."

***

Sementara itu, di kamar sang putri, suasana sangat berbeda. Kamar itu penuh dengan warna lembut dan dekorasi feminin-tirai merah muda, bantal berbulu, dan cermin besar dengan bingkai emas. Namun, pemandangan kontras ini rusak oleh satu hal: vas bunga yang melayang, dilemparkan oleh tangan malas Kanna.

Pintu kamar itu terbuka perlahan, dan Niel, dengan hati-hati mengintip ke dalam. Dia nyaris terjebak oleh lemparan vas yang melesat ke arahnya, namun dengan sigap menutup kembali pintu dan menghindar.

"Bangunlah, Yang Mulia," Niel berkata sambil kembali membuka pintu dengan hati-hati. "Kau lupa bahwa hari ini jadwalmu padat?"

Kanna, masih setengah tidur, mendengus. Rambutnya berantakan, wajahnya lusuh namun tak melunturkan kecantikannya, dan matanya masih setengah tertutup. Dia menatap Niel dengan tatapan yang seolah bisa membekukan apa saja yang ada disekitarnya, namun Niel hanya mengangkat bahu dan berdiri dengan tegas, menantang amarah sang putri.

"Niel ... Kau akan menyesal sudah membangunkan aku ..." Kanna mengancam dengan suara serak, tetapi Niel tetap tenang. Dia tahu bahwa jika mereka mulai beradu tatapan, Kanna yang akan kalah lebih dulu. Dan benar saja, setelah beberapa detik, sang putri mengalah dan menjatuhkan dirinya kembali ke atas bantal.

Namun, ketenangan itu hanya sesaat.

"Tuan Putri Kanna!" Niel berseru dengan suara yang lebih keras, cukup untuk membangunkannya sepenuhnya. Kanna mendadak bangkit, matanya terbelalak seolah baru tersadar dari mimpi buruk. Dia menatap Niel dengan ekspresi kesal bercampur terkejut.

"Niel! Apa-apaan ini?!" serunya dengan nada yang tak terkontrol.

"Maaf, tapi kau harus bangun. Aku sudah menyiapkan semua keperluanmu," balas Niel tanpa sedikit pun rasa bersalah. Dia tahu ini adalah bagian dari tugasnya sebagai pelindung dan penjaga Kanna. Sebelum sang putri sempat melanjutkan protesnya, Niel bergegas keluar kamar.

Namun, sebelum ia benar-benar pergi, Niel berhenti sejenak di depan pintu. "Oh, dan satu lagi, Yang Mulia ... Raja memanggilmu. Kau harus menghadiri pertemuan penting jam 10 pagi."

Kanna menatap kearah jam dan mendapati waktu sudah menunjukkan pukul 9:30. Matanya kembali melebar. "Niel! Kenapa kau tak memberitahuku lebih awal!"

Niel hanya tertawa kecil sambil melangkah keluar dari kamar, menikmati setiap momen dimana dia bisa menggoda Kanna seperti yang selalu ia lakukan kepada Sang Tuan Putri.

***

Setelah keluar dari kamar, Niel berjalan menyusuri koridor panjang istana yang dipenuhi lukisan-lukisan leluhur kerajaan. Pandangannya kosong, pikirannya masih dipenuhi oleh percakapan yang tak sengaja didengarnya sebelumnya di ruangan Selir Isabella.

"Eksekusi?" gumam Niel. Kata itu terus berputar-putar di kepalanya. Siapa yang akan dieksekusi? Dan mengapa hal itu terjadi dalam waktu dekat? Niel tak bisa menyingkirkan perasaan tak nyaman yang tiba-tiba menyelimuti dirinya.

Pikirannya dipenuhi oleh berbagai skenario. Eksekusi ini jelas bukan hal biasa. Ada sesuatu yang lebih besar, lebih mengancam, dan Niel harus mencari tahu sebelum terlambat.

Suara langkah kaki cepat terdengar di belakangnya. "NIEEEEEL!!!" teriakan melengking Kanna memecah lamunannya. Niel segera tersadar dari pikirannya dan mempercepat langkah, berusaha menyembunyikan kekhawatirannya di balik senyum riangnya.

Saat ia tiba di kamar Kanna, dia hampir tak bisa menahan tawa. Sang putri berdiri dengan rambut yang masih berantakan, setengah terurai, dan setengah diikat asal-asalan.

"Pffft ...." Niel menahan tawa sambil menatap Kanna. "Seorang putri atau monster pagi hari, aku tak bisa membedakannya."

Kanna menatap Niel dengan tatapan mematikan. "Apa yang lucu?!"

Tanpa mengindahkan protesnya, Niel melangkah ke belakangnya dengan cepat, mengambil sisir dari tangan Kanna. "Duduk, Yang Mulia. Biarkan aku yang menangani ini."

Kanna terkejut. "Ni-Niel ... Apa yang kau lakukan?"

"Aku tak bisa membiarkan kau tampil seperti ini. Bagaimanapun juga, kau adalah seorang tuan putri kerajaan," ucap Niel, mulai menyisir rambut Kanna dengan lembut. Dalam beberapa gerakan cepat dan terampil, dia berhasil menata rambut Kanna menjadi tatanan yang indah.

Kanna memandangi cermin, tak percaya dengan hasilnya. Rambutnya kini terlihat rapi dan elegan, seperti layaknya seorang putri. Dia tertegun, sementara pipinya memerah.

Niel, yang selesai menata rambutnya, tersenyum puas. "Nah, sekarang kau sudah terlihat seperti putri yang sesungguhnya."

Kanna berdiri, memeriksa dirinya sekali lagi di cermin. Namun, perhatian Niel tidak teralihkan dari sosok Kanna yang kini terlihat sangat anggun. Dia menatapnya, dan tanpa sadar berkata, "Waaw ...."

Kanna, yang mendengar gumaman itu, segera menoleh dan wajahnya memerah semakin dalam. "Hei! Sampai kapan kau akan menatapku seperti itu?!"

Niel tersipu dan segera mengalihkan pandangannya. "Maaf ... Aku hanya kagum," ucapnya cepat, berusaha mengalihkan topik.

Mereka berdua saling diam sejenak, merasakan suasana yang tak biasa. Hingga akhirnya Niel berkata dengan lebih serius, "Sudah waktunya kita pergi. Raja menunggu."

Kanna tersenyum, mencoba menutupi rasa malunya. "Ayo. Aku tak ingin terlambat."

Mereka berdua keluar dari kamar, berjalan menuju ruang pertemuan. Namun, di benak Niel, pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang sebenarnya direncanakan oleh Selir Isabella terus menghantui. Apapun yang akan terjadi besok, dia tahu satu hal pasti: sesuatu yang besar akan segera terjadi, dan Putri Kanna berada tepat di tengah-tengahnya.

Magic Rose : Rose Symbol (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang