ROSE 16

2.1K 137 0
                                    

"Ya. Dia adalah sang rembulan." Kanato menghela napasnya, suaranya penuh makna yang mendalam. Kanna, yang sedari tadi tidak mengerti apa-apa, hanya memperhatikan keempatnya yang berbisik dalam ketegangan.

Kanato menghampiri Kanna, tatapannya lembut namun tegas. "Percayalah pada dirimu. Maka kau akan membuka segel yang selama ini mengurungmu. Kami akan mengulur waktu, pikirkan keputusanmu."

Ucapannya membuat Kanna bingung. Dalam benaknya, keraguan berkecamuk. Ia merasa tidak mungkin bisa melakukannya. Dia hanyalah seorang putri biasa, tanpa kemampuan luar biasa seperti yang dimiliki mereka. Namun, saat ia melihat perjuangan keempat orang itu—yang entah dari mana datangnya dan tiba-tiba berjuang untuknya—hati Kanna bergetar. Mereka rela mengorbankan diri demi dirinya.

Tidak. Jangan lakukan itu. Kalian tidak harus mengorbankan diri kalian untukku, gumam Kanna dalam hati, sesak oleh rasa bersalah.

Tiba-tiba, suara seorang gadis menyadarkannya dari lamunan. “Tuan putri, berjuanglah. Lakukan apa yang kau percayai,” ucap Lyra dengan penuh keyakinan, sambil terus melindungi Kanna dari serangan yang mendekat.

Dari arah lain, Arnold menambahkannya, “Nona, cepatlah!” Suaranya semakin parau, tubuhnya penuh dengan luka-luka yang menganga. Kanato hanya tersenyum, tetapi senyumnya tidak menutupi ketegangan di wajahnya. Kanna merasa dunia di sekelilingnya mulai goyah saat melihat Kanato terpelanting, menabrak pohon.

Ibu, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak ingin membuat siapapun terluka, gumam Kanna, perasaan tertekan di dadanya semakin mendalam. Dalam keputusasaannya, seberkas ingatan melintas: wajah-wajah orang yang telah berkorban untuknya, wajah ibunya, Niel, dan keempat orang yang kini berada di sisinya. Tanpa sadar, air mata mulai membasahi pipinya.

Tidak! Aku harus bangkit. Aku tidak akan membiarkan orang lain berkorban untukku. Aku harus menjadi lebih kuat. Kumohon, bantu aku!!

Kanna terjebak dalam pergulatan pikirannya, dan tiba-tiba, suara keras rantai yang putus membangunkannya dari lamunan. Cahaya yang terpendar dari mawar di tangannya mulai mengelilinginya, membentuk lingkaran yang indah. Saat cahaya itu mulai pudar, luka-luka di tubuh Kanna menghilang dalam sekejap. Keempatnya tertegun, menatap dengan takjub.

“Dia berhasil,” gumam Kanato dengan senyum bangga yang menghiasi wajahnya. Saat cahaya itu menghilang, Kanna perlahan membuka matanya. Dari kedua matanya memancar cahaya yang sangat indah, seolah memantulkan sinar bulan yang mempesona. Dalam sekejap, Kanna sudah berganti pakaian, dan tatapan matanya menjadi dingin namun penuh semangat.

Keempat orang itu merasakan aura murni yang mengalir dari Kanna. Kanato tersenyum, mengetahui bahwa Kanna kini telah bertransformasi menjadi sosok yang lebih kuat. Kanna yang telah terbangun melangkah melewati keempat orang itu. Disaat bersamaan, keempatnya menundukkan tubuh mereka dan memberi hormat, menunjukkan rasa hormat yang mendalam kepada Kanna.

Seiring langkah Kanna, aura yang dipancarkan membuat seluruh tumbuhan di sekitar mereka kembali segar, bahkan memancarkan cahaya yang sangat indah. Hembusan angin menerpa gadis bersurai merah muda itu, menambah kesan megah yang mengelilinginya. Sementara keempat orang itu mengambil sikap siaga, bersiap membantu Kanna kapan pun diperlukan.

Melihat Kanna yang kini berdiri penuh wibawa, para musuh yang berjubah merah mulai merasa terancam. Mereka pun mengambil langkah mundur, tetapi sayangnya, mereka terlambat. Kanna tidak akan membiarkan satu pun dari mereka lolos, terutama setelah apa yang telah mereka lakukan pada ibunya dan dirinya sendiri, serta keempat orang yang telah berjuang untuknya.

Kanna kini berdiri di tengah-tengah di atas kumpulan kelopak mawar yang berkilauan, mengangkat tangan kanannya yang dihiasi lukisan mawar. Dalam satu gerakan penuh kekuatan, ia mengepalkan tangannya, dan angin kencang mulai berhembus, membentuk pusaran yang menelan seluruh musuh di sekitarnya, tercampur dengan kelopak bunga mawar yang menari indah.

Keempatnya terperangah, tidak dapat melihat apa pun akibat angin yang mengamuk, kecuali Kanato, yang mampu melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi. Dalam sekejap, suara gemuruh berhenti, dan saat angin itu menghilang, para musuh yang berjubah merah lenyap tanpa jejak.

Kanna menurunkan tangannya, menatap keempat sekawan yang kini tercengang. Namun, saat itu juga, Kanna mulai kehilangan kesadarannya. Tubuhnya merosot ke tanah, dan dalam waktu sepersekian detik, Kanato melesat menuju Kanna.

“Tuan putri!” teriaknya.

“Nona!” Arnold menambahkan dengan nada cemas.

“Kanna, bertahanlah!” Kanato berusaha menenangkan, tetapi Kanna sudah sangat lemah.

“Siapa kau sebenarnya?” tanya Kanna, suaranya lemah namun penuh rasa ingin tahu.

“Aku adalah cahaya yang hilang dari sang rembulan,” ucap Kanato dengan nada ambigu.

Kanna tidak memiliki kekuatan untuk bertanya lebih lanjut. Kini, kekuatannya habis. Kanato terus menggenggam tangan gadis itu dengan lembut.

“Dia terlalu banyak menggunakan sihirnya. Sebaiknya kita mengantarnya sekarang,” kata Kanato sambil mengangkat Kanna dalam gendongan bridal. Keempatnya melesat meninggalkan tempat pertarungan, menembus gerbang menuju dimensi lain.

Dalam sekejap, mereka telah sampai di taman mawar milik Ratu Claris. Di sana, seseorang telah menunggu, sosok yang tampak misterius. Ketiga teman Kanato langsung mengambil posisi siaga, bersiap menghadapi apa pun yang mungkin terjadi. Namun, Kanato mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk tidak menyerang.

“Maaf membuatmu menunggu lama, Niel,” sapa Kanato kepada sosok itu. Niel, yang mengenakan jubah panjang, membuka tudung kepalanya, menunjukkan wajah heran.

“Bagaimana kau ...” Niel terputus, belum sempat menyelesaikan kalimatnya.

“Apa pentingnya itu saat ini? Kanna lah yang lebih penting,” jawab Kanato, menekankan urgensi situasi. Dengan cepat, Kanato menyerahkan Kanna kepada Niel, yang segera menggendongnya dengan lembut. Kanna, yang terlihat begitu lelah, langsung meringkuk dalam pelukan Niel.

Wajah damai Kanna membuat Kanato tersenyum tipis. Ia merasakan ketenangan yang mengalir dari Kanna, tahu bahwa adik kesayangannya itu merasa aman di dalam gendongan Niel. Namun, rasa ingin tahunya belum pudar.

“Siapa kau sebenarnya?” Niel memberanikan diri untuk bertanya, meskipun suaranya terdengar lebih seperti interogasi.

“Cahaya sang rembulan yang telah lama hilang,” ucap Kanato, menambahkan lapisan misteri dalam suasana yang tegang.

“Apa maksudmu? Cahaya sang rembulan?” Niel tidak bisa menahan serangkaian pertanyaan yang muncul di benaknya. Sementara itu, ketiga temannya mulai merasa tidak sabar. Mereka merasakan ada sesuatu yang mengawasi mereka dari kejauhan, dan waktu bukanlah sekutu mereka saat ini.

“Aku tidak punya banyak waktu. Kutitipkan adik kesayanganku ini padamu, Niel. Atau harus aku panggil Pangeran Niel?” Kanato menekankan kata-kata terakhirnya, yang membuat Niel tersentak.

“Bagaimana mungkin kau …” Niel ingin bertanya lebih banyak, tetapi situasi mendesak memaksanya untuk menahan diri.

“Aku tahu segalanya. Kau pasti bingung dan memiliki banyak pertanyaan, bukan? Kau hanya perlu mencari tahu kebenaran yang tersembunyi. Aku harus pergi. Segera pecahkan teka-teki itu dan temui aku secepatnya, bersama dengan adik kecilku itu,” ucap Kanato dengan penuh penekanan, membangun rasa urgensi yang mengikat mereka semua.

Begitu banyak pertanyaan berputar di kepala Niel, tetapi prioritasnya kini adalah Kanna. Dengan penuh tekad, ia berjanji dalam hati untuk mengungkap semua misteri ini secepatnya.

Sekejap, Niel melesat pergi, menghilang di balik kegelapan, bersamaan dengan keempat orang misterius itu. Dari kejauhan, seseorang yang memperhatikan mereka hanya bisa terlihat samar. Sosook brjubah itu mengamati keenamnya, menyimpan rencana di balik tatapannya yang tajam, sementara Niel melanjutkan perjalanan, bertekad menemukan kebenaran yang tersembunyi.

---

Magic Rose : Rose Symbol (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang