Kanna bersandar di pintu berwarna merah muda, mengangkat tangan yang sedari tadi memegang setangkai bunga mawar. Aroma mawar yang segar itu memenuhi ruangan, memunculkan kenangan indah yang datang dan pergi. Di antara wewangian bunga, ada satu aroma lain yang begitu familiar—aroma yang selalu mengingatkannya pada Niel. Senyumnya merekah, penuh makna, seolah menantikan kehadiran seseorang.
Namun, tatapannya mendadak teralihkan. Di atas tempat tidurnya, sebuah benda mencolok perhatian. Langkahnya menjadi cepat saat Kanna mendekati tempat tidurnya. Matanya terbelalak; album foto yang dicari selama ini kini tergeletak begitu saja.
"Bagaimana mungkin?" tanyanya, suaranya bergetar penuh keheranan.
Dengan gemetar, Kanna meraih album tersebut dan duduk di tepi tempat tidur. Rambutnya yang tergerai menyentuh lembut kulitnya saat ia membuka album. Setiap inci foto yang tertera mengisahkan cerita, dan semua cerita itu selalu berkaitan dengannya. Namun, semakin jauh ia membuka album itu, semakin sesak dadanya.
Airmatanya tak tertahan saat melihat foto yang paling mengena di hatinya—sebuah gambar dirinya dan Niel, tersenyum bahagia, tanpa beban. Kenangan itu seolah menari-nari di hadapannya, mengingatkannya pada semua momen yang telah berlalu. Dalam pelukan yang erat, album foto itu menjadi saksi bisu tangisnya. Isak tangisnya menggema di seluruh ruangan, menciptakan keheningan yang mengisi ruang kosong dalam hatinya.
"Niel … Aku sangat merindukanmu. Di mana kau? Aku yakin kau masih hidup … Kumohon, jangan bersembunyi dariku, aku …" Suara Kanna menggantung, terputus oleh tangis yang semakin dalam.
Dari balkon kamar Kanna, seseorang memperhatikan dengan hati-hati, mendengar setiap isak tangis yang keluar dari bibirnya. "Yang Mulia … Maafkan aku," ucapnya lirih, hatinya terasa berat.
Kanna terpuruk dalam kesedihan, menangisi semua yang ditutupinya dengan tawa dan ceria di depan orang lain. "Aku … Tak sanggup menghadapi ini sendirian. Aku membutuhkanmu, sangat membutuhkanmu. Kumohon, kembalilah, Niel. Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu … Kumohon … aku menyayangimu, Niel .…"
Ketika Kanna mencoba mengatur pernapasannya dan menghapus air mata, terdengar ketukan di pintu kamarnya. Dalam sekejap, Kanna beranjak, berpura-pura menyisir rambutnya di meja rias, cepat-cepat menyembunyikan album foto itu.
"Tuan Putri, Yang Mulia sudah menunggu Anda untuk makan siang," ucap seorang pelayan, bukan Roy.
"Terima kasih, tapi saya sibuk," jawab Kanna tegas.
Pelayan itu tahu lebih baik daripada berdebat dengan Kanna setelah melihat apa yang terjadi saat makan malam dan sarapan tadi pagi. "Baiklah, Putri," katanya, lalu pergi.
Tak lama kemudian, pintunya diketuk lagi. Kali ini, Kanna sudah selesai dengan rambut dan pakaiannya. Orang yang masuk adalah Rio Arcandra, penjaga kerajaan dan pengganti Niel. Kanna mengenalnya, meski mereka tidak akrab.
"Mau apa kau?" tanya Kanna dingin, sementara Rio membungkuk memberi hormat.
"Aku disuruh menjemputmu untuk makan siang," ucap Rio, namun Kanna langsung berdiri, mengacungkan tangan, menghentikan kalimatnya.
"Cukup! Keluar sekarang. Aku tidak ingin berdebat dengan siapa pun," ucap Kanna sambil melangkah melewati Rio, mengambil album yang ia sembunyikan dan membawanya pergi.
Rio terdiam, terpesona melihat betapa dekatnya Kanna dengannya saat ini. Hatinya bergejolak; dia sangat membenci Niel yang selama ini menguasai hati Kanna.
"Kenapa kau diam saja? Jika kau ingin tinggal di sini, maka silakan," Kanna melangkah pergi, meninggalkan Rio yang masih terpaku.
"Hei!" pekik Kanna saat Rio meraih daun pintu, menghentikannya. "Apa hakmu memerintah dan melarangku?" tegasnya.
"Karena dia yang akan mengawasimu mulai saat ini!" suara seorang pria paruh baya mengalihkan perhatian Kanna. Kanna menoleh, mendapati Raja Antonio, ayahnya, berdiri dengan tatapan tajam. Dengan mengenggam erat album foto itu, emosi Kanna mulai memuncak.
"Apa?!" Kanna berteriak, kesal. Suasana ruangan menjadi mencekam saat aura kemarahan menyebar.
"Aku membebaskannya untuk memerintah dan melarangmu. Ini adalah hukuman untukmu atas perilaku yang kau tunjukkan," ucap Raja Antonio tegas. Kanna menunduk, terkejut dan marah, tidak mampu menjawab.
"Jika kau mencoba bersikap seenaknya lagi, maka …" Raja Antonio menggantungkan kalimatnya.
Kanna mulai terkekeh, semua orang terdiam, terkejut dengan perubahan suasana. "Maka apa? Kau ingin dia memaksaku?" ucapnya, menatap dingin Raja Antonio.
Kanna berjalan mendekat, dengan api kebencian membara di iris matanya. Ruangan itu menjadi sunyi, bisikan pelayan dan pengawal menggema di antara ketegangan yang terasa.
"Kenapa kau membuang-buang waktumu hanya untuk ini, wahai Raja Antonio Yang Agung?" Langkah Kanna semakin tegas, membuat Raja Antonio mengerutkan dahi.
"Aku sudah memberimu kesempatan untuk membunuhku, bukan? Tapi apa yang kau lakukan? Hanya merepotkan dirimu sendiri untuk mengawasiku. Jika kau membunuhku sekarang, maka .…" Kanna menggantungkan kalimatnya.
"Apa kau ingin sekali mati, Kanna? Kau ingin segera bertemu ibumu dan pelayan konyolmu itu? Iya?!" Raja Antonio balas menantang.
Kanna hanya tersenyum sinis. "Iya! Maka lakukanlah! Bunuh aku!" tantangKanna.
"Baiklah, aku akan mengabulkan permintaanmu," ucapnya, dan Raja Antonio mulai kehilangan kendali.
"Lakukanlah!" perintah Kanna, membuat semua orang menahan napas.
Raja Antonio menarik pedangnya, mengarahkannya ke Kanna yang berdiri tegar, tak bergerak sedikit pun. Teriakan panik memenuhi ruangan saat semua orang berusaha menghentikannya.
Sementara itu, Rio sudah ada di hadapan Raja Antonio, mencoba menghentikan tindakan yang tak terduga. "Yang Mulia, jangan lakukan itu!" pinta Rio, namun Raja Antonio tidak peduli.
Kanna tetap diam, menghadapi ayahnya dengan keberanian yang tidak biasa. Saat pedang diangkat, semua terkejut.
"Kau ragu, Raja Antonio. Kau tidak sanggup melukai seincipun dari tubuhku. Bagaimana bisa orang sepertimu memberi perintah untuk membunuh seseorang jika kau sendiri tidak bisa membunuh bocah sepertiku?" Kanna menantang, matanya menyala.
Dengan cepat, Kanna berbalik, mengarahkan pedangnya ke Raja Antonio. Namun, Rio kembali melangkah maju, menangkis pedang Kanna dengan senjatanya.
Clang! Suara benturan logam menggema, membangkitkan bulu kuduk mereka.
"Putri, maafkan aku telah mengangkat senjata kepadamu," ucap Rio, namun Kanna hanya menatapnya dingin.
"Tch!" Kanna berdecih dan melemparkan pedang itu sembarangan, melangkah pergi dengan angkuh.
"Buatlah rencana yang tak dapat diketahui oleh orang lain jika kalian ingin membunuhku. Aku takkan semudah itu percaya pada siapa pun," bisiknya, suara Kanna terdengar jelas di telinga Selir Isabella yang baru saja tiba.
Isabella membelalakkan matanya, terkejut dengan ketegasan Kanna. Kanna mengabaikan semua orang di sekitarnya, termasuk Rio, yang tertegun menyesali tindakannya. Dalam pikirannya, Kanna hanya percaya pada Roy dan Rea—dan ia tidak akan ragu untuk melindungi mereka dengan segala cara.
Kanna mengambil kembali album foto itu, melangkah melewati Rio yang terpaku. "Tak perlu merasa sungkan, Rio. Lain kali, jangan ragu untuk melayangkan pedang itu lagi, tetapi ingat, aku takkan mati semudah yang kau pikirkan. Sebelum aku menemukan sang PENGKHIANAT kerajaan," tegas Kanna, menekankan kata 'pengkhianat' yang membuat Rio membeku di tempatnya.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Magic Rose : Rose Symbol (Tamat)
Fantasy[revisi] Menjadi seorang PUTRI itu tidaklah semenyenangkan, seperti yang dibayangkan. Kannanya Roseta Caesarean, satu-satunya harapan untuk mengungkap rahasia yang ditutup sangat rapat. Start on Januari 2017 Finished on Oktober 2018 Revisi on Novemb...