Rose 5.5 :

2 0 0
                                    

Ruangan pertemuan di istana terasa sejuk dan tenang, namun keheningan itu penuh dengan ketegangan. Tirai berat yang menjuntai di setiap jendela menghalangi masuknya cahaya matahari pagi, menciptakan suasana misterius dan tertutup. Di tengah ruangan, sebuah meja besar terbuat dari kayu mahoni berkilat mengisi ruang, dengan kursi-kursi berukir halus berjajar di sekelilingnya.

Kanna dan Niel melangkah masuk, dan seketika itu pula atmosfer terasa berubah. Semua mata di ruangan itu tertuju pada mereka, khususnya pada Kanna. Sang putri mengangkat dagunya, berusaha mempertahankan aura keanggunannya, meskipun jauh di dalam, hatinya berdebar. Niel berdiri di belakangnya, seperti bayangan yang selalu setia, menjaga jarak namun penuh kewaspadaan.

Di ujung sana, duduk Raja Antonio, ayah Kanna. Wajahnya yang dulu penuh wibawa kini tampak lebih lelah dan penuh beban. Usianya mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan yang tak lagi bisa disembunyikan. Matanya menatap putrinya dengan campuran kasih sayang dan kekhawatiran serta kilat kemarahan.

"Kanna," suaranya berat namun lembut. Suara yang sangat dia rindukan. "Duduklah."

Kanna melangkah dengan tenang menuju kursinya, sementara Niel memilih untuk berdiri di belakangnya, seperti biasa, menjaga jarak namun tetap mengawasi. Ada suasana yang aneh dalam pertemuan ini. Biasanya, pertemuan keluarga berlangsung hangat, namun hari ini ada ketegangan yang sulit dijelaskan.

"Ada apa, Yang Mulia?" Kanna bertanya dengan hati-hati, mencoba menghindari ketakutan yang mulai menyelinap ke dalam benaknya.

Raja Antonio menarik napas dalam-dalam, menatap putrinya dengan kesedihan yang sulit disembunyikan. "Ada banyak hal yang harus dibicarakan, Kanna. Hal-hal yang mungkin kau belum siap mendengarnya, tapi penting untuk kerajaan kita."

Kanna merasakan perutnya mengerut. Semua perkataan itu terasa seperti sebuah pertanda buruk. "Apa yang Yang Mulia maksud?" tanyanya, suaranya mulai gemetar sedikit.

"Besok akan ada sebuah pengumuman besar," Raja Antonio melanjutkan, suaranya terdengar semakin berat. "Dan itu menyangkut masa depan kerajaan ... dan dirimu."

Kanna mengerutkan kening. "Menyangkut diriku? Apa maksudnya?"

Sebelum Raja Antonio sempat menjawab, suara langkah sepatu yang pelan namun tegas terdengar mendekat. Pintu ruang pertemuan terbuka, dan Selir Isabella melangkah masuk dengan anggunnya. Seluruh ruangan seolah merunduk pada kehadirannya. Kanna merasakan gelombang dingin menjalar di punggungnya ketika matanya bertemu dengan tatapan tajam selir sang ayah.

"Kau tiba tepat waktu, Isabella," ucap Raja Antonio, sedikit mengubah posturnya, seolah berusaha menunjukkan kekuatan di depan istri keduanya.

"Ah, tentu saja. Aku tak ingin melewatkan pertemuan penting ini," jawab Selir Isabella dengan senyuman tipis, namun mata elangnya tak pernah lepas dari Kanna.

Kanna menahan napas, merasa semakin tak nyaman. Tangannya mengepal di balik meja. Ada sesuatu yang mengancam di balik sikap lembut ibu tirinya itu. Dia tahu ibu tirinya terlalu pandai menyembunyikan niat sejati di balik wajah anggunnya.

"Kanna, sayang," Selir Isabella mulai berbicara, suaranya begitu halus namun penuh kontrol. "Besok adalah hari penting bagi kita semua. Kau akan diumumkan sebagai calon penerus tahta."

Kanna terperangah. "Apa? Penerus tahta? Tapi, aku belum siap ... Yang Mulia tak pernah menyinggung apa pun tentang ini sebelumnya!"

Raja Antonio menunduk, jelas merasa berat dengan keputusan ini. Namun, Selir Isabella melanjutkan dengan nada yang lebih tajam, seolah memotong setiap protes yang akan keluar dari mulut Kanna. "Sudah saatnya kau mengemban tanggung jawab besar ini, Kanna. Kerajaan membutuhkan seorang pemimpin yang baru. Ayahmu ... sudah semakin tua dan lelah, dan kau adalah satu-satunya yang bisa menggantikannya."

Kanna menatap ayahnya, mencari dukungan atau alasan untuk menolak. Namun Raja Antonio hanya bisa membalas tatapannya dengan kekosongan di matanya. Keheningan yang panjang menyelimuti ruangan itu, hingga akhirnya Kanna menyadari bahwa ini bukan hanya keputusan ayahnya, tapi ada rencana yang lebih besar di baliknya—rencana Selir Isabella.

"Aku ... aku butuh waktu," ucap Kanna pelan, suaranya hampir hilang di ruangan besar itu.

Selir Isabella tersenyum tipis, seolah sudah memperkirakan reaksi itu. "Tentu saja, sayang. Tapi besok, semuanya akan berubah. Kau akan mengerti mengapa ini harus terjadi sekarang."

Tanpa memperpanjang pembicaraan, sang selir berdiri dan berjalan keluar dari ruangan bersama sang ayah, meninggalkan atmosfer yang semakin menekan. Kanna duduk membeku, merasakan beban yang tiba-tiba melandanya. Tanggung jawab yang belum siap ia emban kini membayangi setiap langkahnya.

Niel, yang diam selama seluruh percakapan itu, maju mendekati Kanna setelah Ratu Isabella keluar. "Yang Mulia, apakah Anda baik-baik saja?" suaranya penuh perhatian, namun tetap tenang.

Kanna mengangguk lemah. "Aku ... tidak tahu, Niel. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa semuanya terasa begitu mendadak?"

Niel menatap putrinya dengan ragu. "Ada sesuatu yang tidak beres, Yang Mulia. Aku tidak tahu pasti apa itu, tapi aku bisa merasakannya." Suaranya pelan, namun ada kepastian dalam nada itu. "Kita harus waspada."

***

Malam hari itu, Kanna duduk di balkon kamarnya, memandang langit malam yang penuh bintang. Angin dingin membelai wajahnya, namun pikirannya berputar, jauh dari tenang. Pikirannya dipenuhi dengan rasa takut, kebingungan, dan perasaan bahwa dia sedang terperangkap dalam sesuatu yang lebih besar dari yang bisa ia bayangkan.

Niel berdiri tak jauh di belakangnya, matanya awas terhadap setiap gerakan di sekitar istana. Dia tahu bahwa malam ini bukanlah malam biasa. Semua rencana yang dilancarkan Selir Isabella membuatnya merasa semakin khawatir, apalagi setelah percakapan yang ia dengar tentang eksekusi misterius yang akan terjadi esok hari.

"Yang Mulia," suara Niel memecah keheningan malam. "Kau tahu, apapun yang terjadi besok, aku akan selalu berada di sisimu. Aku bersumpah untuk melindungimu."

Kanna menoleh, matanya penuh dengan rasa terima kasih dan kesedihan yang mendalam. "Aku tahu, Niel. Tapi ... aku takut. Takut akan apa yang mungkin terjadi."

Niel mendekat, meletakkan tangannya di bahu Kanna, sebuah gerakan yang begitu sederhana namun penuh makna. "Jangan takut. Kita akan menghadapi ini bersama."

Kanna mengangguk, namun hatinya masih tak bisa sepenuhnya tenang. Dia tahu, mulai besok, hidupnya tak akan pernah sama lagi.

"Kau harus berjanji!" Kanna mengulurkan jari kelingkingnya. Niel hanya menatap jari mungil Kanna bimbang. 

"Niel ...." SUara Kanna terdengar mengambang. "Apa kau berencana untuk meninggalkan aku sendirian?" 

Kanna menurunkan tangannya pelan. Namun Niel dengan cepat meraih tangan Kanna. Menautkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Kanna. "Aku berjanji," ucap Niel tersenyum, berusaha menenangkan Kanna. Senyum terpancar di wajah Kanna.

***

Di ruangan lain di dalam istana, Selir Isabella berdiri di depan cermin besar di kamarnya, menatap pantulan dirinya dengan senyum licik. Di tangannya, dia memegang surat perintah eksekusi yang telah ia persiapkan dengan hati-hati. Besok, semuanya akan berjalan sesuai rencananya. Sang putri akan dihadapkan pada keputusan yang tak bisa ia hindari, dan saat itu, Selir Isabella akan memastikan bahwa segala sesuatu terjadi sesuai kehendaknya.

"Besok adalah hari yang besar," bisik Selir Isabella pada dirinya sendiri. "Sang malam akan menghilang, dan sang rembulan akan bersinar di bawah kendaliku."

Malam itu, angin berhembus lebih kencang, seolah membawa firasat buruk yang akan segera menimpa seluruh kerajaan.

Magic Rose : Rose Symbol (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang