Kanna menghentikan langkahnya, menatap lekat rumah tua itu. Setiap sudutnya mengingatkan dia pada kenangan indah masa kecilnya, terutama sosok ibunya yang penuh kasih. Matanya berkaca-kaca, harapan dan kesedihan bergumul dalam hatinya. Di sanalah, di rumah itu, ketenangan dan keceriaan menguak, hingga suara Roy mengejutkannya dari lamunannya.
“Putri, masih ingin menatap dari luarnya saja? Tak ingin masuk?” tanyanya lembut, namun tegas.
Kanna tersentak, lalu kembali tersenyum. “Ah iya, Kak. Aku kesana!” serunya dengan semangat yang baru.
Ia mengikuti Roy memasuki rumah tua yang menyimpan ribuan kenangan. Begitu melangkah masuk, matanya berbinar. Semua masih sama—perabotan tertata rapi, buku-buku bersusun di rak, dan aroma nostalgia menyelimuti ruangan. Roy dan Rea telah menjaga rumah itu dengan baik, seolah melindungi setiap jejak masa lalu mereka.
Rumah ini adalah saksi bisu pertumbuhan mereka: Kanna, Rea, Niel, dan Roy. Namun, saat memandang lebih dalam, Kanna merasa seolah ada satu sosok yang terlupakan. Sebuah kenangan berkelebat dalam pikirannya, dan gambaran seorang bocah laki-laki—wajahnya mirip dengan Kanna—muncul. Bocah itu berlari-lari bersama Niel dan Roy, tawa ceria mereka menggema di udara. Siapa dia? Kenapa kenangan itu terasa samar? Banyak pertanyaan berputar di kepala Kanna, namun tidak ada jawaban yang datang.
Tiba-tiba, suara lembut Rea menyadarkannya. Kanna menatap gadis itu, penuh rindu. Rea, sahabat masa kecilnya yang telah dianggap seperti saudara. Kanna teringat akan kegelapan yang pernah membayangi Rea, dan rasa benci terhadap ratu baru ayahnya kembali muncul.
Jika saja Rea tidak melindunginya dari nenek sihir itu, mungkin Kanna yang kini menderita. Rasa bersalah menyelimuti hati Kanna. Dia merindukan Rea, tetapi juga merindukan masa-masa di mana semua terasa aman.
“Ka ... Ah, Putri,” sapa Rea lembut. Kanna, yang semula menundukkan kepala, mendongak. Dia menemukan tatapan penuh perhatian di mata Rea, dan air matanya pun jatuh.
“Kau menangis lagi?” ucap Rea, nada sebalnya menyiratkan rasa kasih sayang. Kalimat sederhana itu sudah cukup untuk mengembalikan senyuman Kanna.
“Maaf, Rea. Aku mengingkari janjiku. Jangan marah ya,” ucap Kanna dengan nada memohon. Namun, Rea hanya terdiam. Kanna melirik ke arah Roy, dan melihat kakaknya mengangkat bahu. Dia menghela napas lemah, berusaha menenangkan diri.
Lalu, Rea terkekeh, membuat Kanna dan Roy saling bertatapan heran. Tawa Rea, yang sudah lama tak terdengar, menghangatkan hati mereka. “Hahaha ... Aku hanya bercanda! Aku sangat merindukanmu, Ka ... Maaf, Putri,” ucap Rea sambil memeluk Kanna.
Kanna membalas pelukan itu, merasakan kedamaian. “Kumohon, jangan panggil aku seperti itu. Kalian adalah saudaraku, bukan pelayanku,” pintanya lembut. Dia tahu permintaannya mungkin akan ditolak, tetapi dia bertekad untuk mengubah pemikiran mereka.
“Tapi ...” sela Roy.
Kanna mengacungkan tangan kanannya di depan Roy, meminta agar kakaknya tidak melanjutkan pembicaraan. Roy terdiam sejenak, kemudian hanya bisa menatap Kanna dengan ragu.
“Tidak ada penolakan. Aku mohon, Kak, Rea. Jangan perdulikan apa kata orang lain,” katanya, menekankan ketulusannya. Keduanya terdiam, berpikir keras. Kanna merasakan keraguan mereka. Dia tahu bahwa dalam situasi seperti ini, Kanna-lah yang tidak boleh egois.
Setelah beberapa detik, dia menghela napas ringan, lalu tersenyum. Dia menggenggam tangan Roy dan Rea bersamaan, mengencangkan pelukan mereka. “Baiklah, aku mengerti jika kalian tidak bisa memanggilku begitu di istana. Tapi jika hanya kita bertiga, kumohon jangan pakai embel-embel 'putri' pada namaku. Bagaimana?” tanya Kanna, mengharapkan persetujuan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Magic Rose : Rose Symbol (Tamat)
Fantasi[revisi] Menjadi seorang PUTRI itu tidaklah semenyenangkan, seperti yang dibayangkan. Kannanya Roseta Caesarean, satu-satunya harapan untuk mengungkap rahasia yang ditutup sangat rapat. Start on Januari 2017 Finished on Oktober 2018 Revisi on Novemb...