ROSE 08

2.2K 141 0
                                    

Teng teng teng teng.

Deting lonceng berdentang mengiringi keramaian di lapangan utama kerajaan, memanggil semua warga desa setempat untuk menyaksikan eksekusi yang dinanti-nanti. Suara dentingan itu seakan menjadi peluit kematian yang memecah keheningan pagi. Di dalam istana, Putri Kanna berdiri di tepi jendela, matanya terpaku pada kerumunan yang terus membesar di bawah sana. Di dalam hatinya, rasa cemas menyelimuti—apa yang akan terjadi pada Niel?

Suara ketukan pintu mengalihkan perhatiannya.

"Tuan Putri, semuanya telah menunggu Anda," ucap seorang dari balik pintu. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Kanna membuka pintu dan melangkah keluar, disambut oleh para pelayan dan pengawal yang membungkuk memberi hormat.

Di hadapannya, seorang pemuda berambut gelap, sebaya dengan Kanna dan Niel, berdiri siap menggandengnya menuruni tangga. Namun, Kanna tidak peduli. Ia melewati pemuda itu, menolak tawarannya tanpa kata-kata dan melanjutkan langkahnya. Pemuda itu, meski tampak kesal, tetap mengikuti dengan senyum yang dipaksakan.

Saat Kanna melangkah ke luar istana, perasaan berat semakin menyelimutinya. Di depan gerbang, langkahnya terhenti sejenak.

"Bolehkah aku tidak pergi ke sana?" tanya Kanna, suaranya tenang namun penuh tekanan.

"Anda harus pergi, Tuan Putri. Raja telah memerintahkan demikian," jawab pemuda itu, nada suaranya tegas. Ia berjalan di depan Kanna, mengawal sang putri menuju kerumunan yang semakin ramai.

Sesampainya di lapangan, Kanna merasakan sesak di dadanya. Bukan karena keramaian, tetapi karena segala pembicaraan orang-orang tentang Niel. Mereka tidak segan-segan mengutuk dan menghina pemuda itu, menyebutnya sebagai orang yang tidak tahu terima kasih atas segala yang telah diberikan oleh Raja Antonio.

Kanna ingin sekali melawan, ingin sekali menerjang kerumunan itu dan berteriak agar mereka berhenti menghina Niel. Namun, saat pikirannya melayang ke arah konsekuensi yang akan dihadapi Niel, ia mengurungkan niatnya. Ia menggenggam erat sisi pakaiannya, hingga buku-buku jarinya memutih.

Seorang penjaga yang berdiri di menara berseru, mengagetkan kerumunan yang tiba-tiba hening. Ketika mereka melihat Putri Kanna, mereka memberi jalan dengan ragu. Kanna melangkah maju dengan tubuh yang gemetar, berusaha menahan air mata. Berusaha setegar mungkin.

Akhirnya, dia berdiri tepat di hadapan Niel, yang terikat dan terlihat sangat sendu. Tatapan matanya yang indah kini kosong, tak ada cahaya harapan yang pernah ada di sana. "Niel, ini bukan dirimu," gumam Kanna dalam hati. Rasa sakit di dadanya semakin menyakitkan.

Menyadari ada yang memperhatikannya, Niel menatap Kanna dengan tatapan sendu, tanpa ekspresi. Seolah dunia telah mengambil semua kehangatan dari dirinya.

Para penjaga di samping Niel mulai mengenakan penutup mata dan kain hitam di kepalanya. Dengan paksa, mereka menggiring Niel menuju tempat eksekusi. Kanna berusaha menahan langkahnya agar tak lari ke atas podium, tetapi seolah ada kekuatan tak terlihat yang menariknya untuk tetap diam.

Kini Niel telah berdiri di atas sebuah balok kayu yang rendah, dan tali sudah melingkar di lehernya. Ketika aba-aba diberikan, Niel melompat—tapi Kanna terkejut saat menyaksikan, itu bukan dari kemauan Niel, melainkan sebuah dorongan dari salah satu penjaga dibelakang Niel.

"Apakah ini semua nyata?" pikir Kanna. Keinginannya untuk berteriak membara dalam hati, tetapi dia tahu tidak ada yang akan mempercayainya. Dia merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk yang tak kunjung berakhir.

Air mata Kanna mulai mengalir, tak kuasa dia menahan rasa sakitnya. Dia menggenggam sisi pakaiannya, tubuhnya bergetar. Setelah beberapa saat, saat dipastikan Niel telah tiada, Raja Antonio memutuskan untuk melaksanakan upacara sebagai penghormatan terakhir.

Asap membubung dari tubuh Niel yang dibakar, mengubahnya menjadi debu. Rangkaian upacara itu berakhir dan kerumunan mulai bubar, tetapi Kanna tetap terpaku di tempatnya. Kakinya terasa lemas, seolah seluruh dunia runtuh di hadapannya.

Akhirnya, Kanna terjatuh di depan abu pembakaran, lututnya menyentuh tanah dingin. Tangisannya pecah, mengguncang seluruh keberadaannya. Ia mengepalkan tangan kanannya di atas dada, meremas pakaian yang dikenakannya. "Sakit ...," gumamnya, dan hatinya seakan terbelah menjadi dua.

"Niel, aku tak akan membiarkan mereka menghina namamu! Mereka akan merasakan akibat dari perbuatan keji ini," serunya, di tengah isak tangisnya. "Aku membenci mereka semua. Bahkan jika itu berarti aku harus menjadi penjahat demi membalas dendam." Ucapannya meluncur seperti sumpah yang tak bisa ditarik kembali.

Selir Isabella, yang berjalan paling akhir, melihat Kanna yang terpuruk. Aura di sekeliling Kanna mulai berubah—gelap dan pekat, seperti bayangan yang selalu mengikuti. Senyum licik mengembang di wajah Selir Isabella.

"Hanya perlu memancing sang buruan keluar dari persembunyiannya. Dengan keadaan Kanna seperti ini, akan mudah untuk mempengaruhi," bisik Selir Isabella kepada seseorang di sebelahnya.

Angin tiba-tiba berhembus kencang, menerbangkan abu yang berada di depan Kanna. Dengan tangan terangkat, Kanna mencoba merasakan kepergian abu yang lembut itu.

"Niel, kepergianmu akan menjadi saksi bahwa takkan ada cahaya lagi dalam hidupku. Hanya ada benci yang semakin membara tanpamu di sini. Beristirahatlah dengan tenang, aku akan menemukan cara untuk membalas semua ini," ucapnya, suaranya tegar meski hatinya hancur.

Sosok yang berdiri di samping Selir Isabella mengangguk, mengamati Kanna yang kini bersatu dengan rasa duka yang mendalam. Ratu dan anak buahnya pun beranjak pergi, meninggalkan Kanna dalam kesedihannya.

Namun, di tengah perjalanan, sosok berjubah hitam tiba-tiba melintas, membuat Selir Isabella dan pengawalnya terhenti.

"Kau takkan bisa menyentuhnya. Selama aku ada di sini, Isabella," suara itu tegas, menembus udara. Selir Isabella terkejut dan berbalik, tetapi sosok itu sudah menghilang secepat kilat.

"Yang Mulia, ada apa?" tanya pria yang selalu mendampingi Selir Isabella, bingung melihat reaksi majikannya.

"Sepertinya aku merasakan kehadiran Niel baru saja," jawab Selir Isabella, matanya menyelidik sekeliling.

"Namun Niel sudah mati, Yang Mulia. Mungkin hanya halusinasi," pria itu berusaha menenangkan.

"Sepertinya kau benar, Rio," ucap Selir Isabella, kembali ke fokusnya dan melanjutkan langkah.

Sementara itu, di balik kerumunan yang masih berada di sana, sosok berjubah hitam itu mengawasi kepergian Selir Isabella dengan tatapan penuh marahan. Ia kemudian mengalihkan pandangan kepada Kanna yang masih berdiri terpaku.

Tiba-tiba, angin berhembus kencang, menerpa tubuh Kanna, membuatnya terhuyung. Setelah menguasai tubuhnya, Kanna melanjutkan langkahnya, tanpa menyadari bahwa ia berpapasan dengan sosok berjubah itu.

"Sang rembulan tertutup awan kegelapan. Sang bintang yang akan membawa sang rembulan bertemu sang penjaga. Dia yang tertidur akan segera terbangun." Suara pria itu berbicara ambigu, membuat Kanna berhenti sejenak. Ketika ia menoleh, sosok itu telah lenyap.

Kanna merasakan kesan familiar dari suara itu. "Niel?" pikirnya, tapi ia segera menggelengkan kepala. Ia adalah saksi bisu dari eksekusi Niel. Tak mungkin sosok itu adalah Niel. Pikirannya dipenuhi dengan kebingungan dan keraguan. Siapakah dia, dan apa maksud perkataannya?

"Aku tidak akan membiarkanmu berjuang sendirian. Tapi kumohon, kendalikan dirimu sampai saatnya kita bertemu dengan semestinya," ucap sosok berjubah itu dalam hati, memperhatikan punggung Kanna yang semakin menjauh. Dia tahu bahwa dia tidak hanya melihat Kanna, tetapi juga sisi lain dari dirinya—sisi yang penuh potensi dan kekuatan yang belum terungkap.

Dan ia bertekad untuk membantu Kanna mengendalikan kekuatannya itu, apapun yang harus dilakukan—meskipun itu berarti harus dibenci oleh orang yang paling dicintainya.

Magic Rose : Rose Symbol (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang