Keluarga Feng adalah keluarga petani di satu desa kecil jauh di utara provinsi
Heilongjiang. Untuk sampai ke desa ini seseorang harus naik kereta selama 16 jam dari
ibu kota provinsi Harbin dan diteruskan dengan bus yang memakan waktu kurang lebih
sepuluh jam, serta gunung dan bukit-bukit yang memagari desa membuatnya seperti
terpenjara dan semakin terpencil.
Penduduk desa tidak suka melakukan perjalanan keluar karena mereka sudah
merasa hidup di surga berkat tanah yang subur dan pemandangan yang indah yang
mereka nikmati setiap hari. Wisatawan tidak suka mendatangi desa ini karena
perjalanan yang jauh berliku-liku naik turun gunung mengguncang isi perut sangat tidak
nyaman, sehingga desa tertutup dari pengaruh kota besar dan penduduknya masih
hidup secara tradisional.
Di desa ini keluarga Feng memiliki tanah garapan luas warisan turun temurun dari zaman nenek moyang mereka sampai ayah Feng Jianyu sekarang. Meskipun Partai
membagi-bagi tanah garapan ketika komunis mulai berkuasa desa ini tak tersentuh
berkat keterpencilannya (desa ini hilang di peta), kemakmuran (sedikit sekali orang yang
hidupnya tak puas) dan kekeluargaan (semua orang saling mengenal dan selalu ada satu
atau dua ikatan karena perkawinan yang membuat desa menjadi seperti keluarga
besar).
Feng Jianyu adalah anak kedua di keluarganya. Keadaan yang sangat jarang karena
China saat itu menerapkan satu anak setiap keluarga. Dia memiliki seorang kakak laki-
laki yang lebih tua lima tahun darinya.
Saat anak pertamanya lahir ibu Jianyu sangat bahagia karena dia sudah melahirkan
pewaris keturunan keluarga Feng. Dia merasa sangat lega namun sesungguhnya ibu
sangat menginginkan anak perempuan.
Dulu saat dia tinggal di kota ibu mempunyai teman kecil yang tinggal di sebelah
rumahnya. Umur mereka berbeda dua belas tahun. Namun karena ayah dan ibu mereka
berdua semua bekerja dan selalu pulang malam, ibu dan xiao Yu (panggilan teman
kecilnya) menjadi begitu dekat seperti adik kakak. Ketika keluarga xiao Yu pindah ibu
sangat sedih dan merindukannya. Sekarang saat dia menikah dan ikut suaminya tinggal
di desa terpencil ini ibu merasa sangat kesepian diantara orang-orang asing. Dia
merindukan xiao Yunya sendiri yang akan selalu menemaninya, mengerti sikap dan
tingkah lakunya yang sering dianggap aneh bahkan oleh keluarga barunya sendiri hanya
karena dia membawa kebiasaan hidup di kota.
Ayah Feng Jianyu tidak seperti kebanyakan pemuda desa yang langsung bekerja
setelah tamat sekolah menengah dan menikah muda. Dia kuliah di kota yang menurut
golongan tua hal sia-sia karena pada akhirnya dia tetap pulang, menggarap tanah
menjadi petani. Namun golongan muda merasa bukan hal yang rugi ketika ayah pulang
membawa pengantin wanita yang cantik dan berkulit putih (penduduk desa ini memiliki
kulit coklat madu berkat garis keturunan dan sinar matahari).
Wanita-wanita muda di desa meskipun diam-diam mengagumi namun juga iri.
Mereka sengaja menjaga jarak dengan ibu, membuat ibu makin kesepian. Meskipun
cinta suaminya luar biasa dan waktu melunakkan sikap permusuhan itu ibu tetap
merindukan sekutu yang akan selalu ada di pihaknya.
Setelah putra pertamanya berumur lima tahun ibu membulatkan tekad untuk hamil
lagi. Dia tidak mengatakan apa-apa kepada suaminya dan ketika test pack menunjukkan
tanda positif, ibu menangis pura-pura sedih, berniat menggugurkan kandungan. Rasa
cinta kepada istri dan kemanusian yang tinggi membuat ayah memutuskan untuk
merahasiakan hal ini dari orang tuanya sampai usia kandungan cukup besar dan
kemungkin untuk mengugurkannya menjadi masalah kesehatan, serta keselamatan bagi
ibu.
Air mata ibu yang tidak pernah menetes langsung kering dan dia tersenyum manis
pada ayah. Dia berkata kalau uang hadiah pernikahan dari orang tuanya sangat cukup
untuk membayar denda dari pemerintah, jadi ayah tidak perlu khawatir.
Ayah menatap ibu tajam. Istrinya itu selalu gampang dibaca. Dia tidak pernah
menutup-nutupi perasaannya, senang, sedih, gembira, marah ditunjukkannya pada seisi
dunia. Hal yang sering membuat masalah baginya, namun ayah menyukai kejujurannya.
Ayah segera menyadari muslihat ibu, tapi tidak marah. Dia bersedia melakukan
apapun untuk kebahagiaan istrinya yang sudah bersedia meninggalkan fasilitas,
kemudahan dan kesenangan yang diberikan kota besar untuk tinggal di dunia terpencil
ini bersamanya. Dia menyuruh ibu menyimpan uangnya karena dia yakin dia sanggup
membayar denda.
Ketika saatnya tiba ayah dan ibu mengumumkan kehamilannya, kakek nenek Jianyu
langsung mengangguk merestui kelahiran cucu kedua mereka. Sebetulnya tak ada
rahasia di rumah ini. Telinga menguping dimana-mana, seisi rumah sudah tahu namun
berpura-pura tidak tahu.
Ibu menjadi wanita yang paling bahagia seperti saat pernikahannya. Setiap hari dia
pergi ke vihara di desa mereka dan berdoa agar bayi yang dikandungnya berjenis
kelamin perempuan, agar bayi ini menjadi bayi yang cantik dan sehat.
Semua orang di desa mengatakan betapa manisnya dia saat mengandung, wajahnya
berseri-seri, sangat mudah tersenyum dan tertawa seakan semua yang dilihat dan
didengarnya membuatnya bahagia. Beberapa dengan niat tersembunyi berkata kalau
mereka merasa bayi yang dikandung ibu pastilah perempuan.
Ibu tersenyum sangat manis membalas, dia sangat menantikannya. Lalu ibu
berpamitan dengan sopan dan yakin kalau dalam hati orang-orang itu berkata, dasar
orang kota.
Tiap hari ibu dengan rajin menjahit dan merajut (dua pekerjaan yang paling tidak
disukainya) baju-baju lucu untuk anak perempuan yang bakal lahir. Warna merah, pink,
bunga-bunga, renda-renda semua yang cantik dan lucu. Semua barang baru, tidak ada
baju bekas putra pertamanya yang akan dipakai putri yang ditunggu. Dan tentu saja
tidak akan ada lubang di celana seperti pakaian tradisional anak-anak pedesaan yang
membuatnya nyaris gila dan bertengkar hebat dengan ibu mertuanya, pengalaman dari
putra pertamanya.
Hari kelahiran datang. Semua orang menunggu dengan cemas di ruang tunggu
rumah bidan desa. Persalinan yang tidak lama membuat semua memuji bayi yang lahir
pastilah anak yang berbakti yang tidak akan menyusahkan orang tuanya.
Seperti biasa meskipun tidak dikatakan seisi rumah tahu kalau yang dinantikan
adalah sang putri. Dan ketika bidan desa keluar menggendong bayi terbungkus selimut
merah muda (all american girl versi kebalikan) yang sudah disiapkan ibu semua orang
bergerak mendekat. Bayi diulurkan ke tangan ayah yang menggendong dengan hati-hati.
Matanya berkaca-kaca penuh suka cita.
“Alangkah cantiknya,” puji nenek takjub saat mengintip dari samping putranya.
“Berikan padaku,” kata kakek tidak sabar, “Aku ingin menggendong cucu
perempuanku.”
Ayah menggulurkan bayinya kepada kakek.
“Matanya besar dan indah seperti mata ayahnya, hidung mancung dan bibir yang
mungil, pipi kemerahan. Ah, cucu perempuanku yang cantik.” Kakek setuju dengan
nenek.
“Maaf,” bidan desa menyela kegembiraan mereka, “Bayinya laki-laki.”
“Hah?” Kakek merasa salah dengar.
Bidan desa mendekat dan menyingkap selimut yang menutupi si bayi.
“Kenapa ada burung kecil disini?” kakek bertanya.
Bidan desa menghela nafas dan memutar matanya, “Kakek cucumu laki-laki.”
“Tapi dia begini cantik.” Kakek ngotot, teringat sesuatu, "Dan semua orang bilang
cucuku yang bakal lahir perempuan."
“Itu tidak merubah kenyataan kalau dia laki-laki. Lihat burung itu.” Bidan berkata
sebelum masuk kembali ke kamar bersalin, ibu yang baru melahirkan di dalam
memerlukan perhatiannya. Dia tidak punya waktu dengan penyangkalan keluarga ini.
Serombongan orang yang tidak bersyukur, kutuknya teringat bagaimana ibu-ibu
yang diam-diam menangis saat melihat bayinya perempuan. Mereka semua seharusnya
bersorak dan saling memberi selamat karena bayinya laki-laki. Si bidan kini
mengasihani bayi yang baru lahir dan menyalahkan sifat manusia yang tidak pernah
puas dan serakah.
Ibu berbaring di tempat tidur. Dia masih belum boleh kemana-mana. Hal itu
membuat ibu senang karena sebagai istri petani dan seorang menantu dia tidak pernah
punya waktu untuk bersantai-santai. Sekarang dia punya waktu sepanjang hari untuknya
sendiri yang dihabiskannya dengan bermain dan menemani bayinya. Tak pernah puas
ibu memandangi bayi Jianyu yang nyenyak tertidur kekenyangan menyusu. Di bibir
merah itu masih tersisa sedikit susu yang dielapnya pelan-pelan dengan sapu tangan. Dia
memandangi wajah bayinya yang mengemaskan dan mulai menciumnya. Bayinya
terganggu mengangkat tangan mengusap pipi yang dicium ibunya, namun matanya
tetap terpejam. Ibu tersenyum nakal, dan mencium pipi yang satu lagi. Kini bayinya
mengusap-usapkan kedua tangan di pipi, masih sambil tertidur. Senyum ibu makin
melebar, dia mencium pipi bayinya lebih keras dan bayinya kini menangis dengan suara
lantang.
“Ah...” ibu buru-buru mengulurkan tangan menggendong bayinya. Dia menimang,
mengayun pelan sambil bersenandung untuk menidurkan bayinya yang terisak kecil
yang kemudian kembali pulas.
“Jika tidak mendengar suaramu aku selalu lupa kalau kau anak laki-laki.” Ibu
memandangi baju kotak-kotak biru muda yang dipakai bayinya, dia sangat cocok
mengenakan baju-baju yang lucu, namun nenek melarang ibu memakaikan pakaian
perempuan kepada Jianyu sejak perayaan man yue saat semua keluarga dan kerabat
(seluruh desa) yang diundang merasa bersalah sudah memberikan angpao dan bukannya
memberikan perhiasan sebagai hadiah meskipun sudah dijelaskan kalau mereka semua
tidak membuat kesalahan karena Jianyu laki-laki dan dia memang harus diberi angpao.
Tadinya dengan alasan tidak mempersiapkan pakaian laki-laki, nenek membiarkan ibu
memakaikan Jianyu baju perempuan yang sudah dipersiapkan. Alasan nenek karena
bayi ini bahkan tidak akan pernah ingat kalau dia pernah memakai baju perempuan dan
jelas sebagai keluarga petani tidak ada yang boleh disia-siakan. Meskipun ibu yakin
alasan nenek dan semua orang di rumah sama dengannya, bayi kecilnya sangat cantik
dan pakaian perempuan sangat cocok untuknya.----------
KAMU SEDANG MEMBACA
Qingyu fanfic
FanfictionDalam hidup ini, hanya perlu waktu sekejap untuk jatuh cinta, namun apakah itu cinta sejati perlu waktu yang sangat panjang untuk membuktikannya. Sepuluh tahun, dua puluh tahun, tiga puluh tahun hanya hitungan sementara karena batas sebenarnya ada d...