“Cobalah untuk jatuh cinta. Cinta bisa membuatmu bahagia dan tidak merasa sendirian lagi.” Dokter Huang menyarankan.
“Tapi cinta juga membuat orang terluka, dan sedih saat ditinggalkan.”
“Jangan jadi pesimis sebelum mencobanya. Jika kau selalu berpikiran seperti itu kau akan terus takut berkomitmen.”
“Aku selalu ragu…”
“Karena itulah kau harus memulai,” potong dokter Huang tidak ingin Dayu terus surut ke belakang.
Dayu menyuarakan kebimbangannya, “Dokter, bagaimana kita tahu kalau kita mencintai orang itu?” Dia tidak ingin salah.
“Sederhana saja. Jika kau bahagia saat melihat orang itu bahagia.”
“Tidakkah terlalu global? Seperti pada teman, saudara atau filantropi.”
“Karena itulah aku yakin kau bisa mengenalinya. Seumur hidupmu kau sudah merasakan cinta.” Dokter Huang memberi keyakinan. “Sekarang yang penting buka hatimu, jangan menghindar. Hadapi dan temukan jawabannya.”
“Mendengar dokter bicara membuat cinta terdengar sederhana.”
“Karena cinta memang sederhana Dayu. Yang rumit itu pikiran manusia, berbelit-belit tak pernah puas. Ingin mengatur dan membuat banyak batasan. Menelaah semua perbuatan dan menetapkan banyak aturan hingga sesuatu yang bersahaja dan gampang menjadi ruwet dan sukar.”
Dayu mencoba mundur, “Dokter…, apakah aku harus melakukannya?”
“Kau harus menghadapinya. Mencoba dan gagal lebih baik daripada tidak pernah melakukan apa-apa. Langkah pertamamu yang penting adalah awal untuk memulai. Lewati garis start-mu dan percaya bahwa langkah berikutnya apapun yang terjadi akan membawa dirimu ke sisi yang lebih baik.”
“Dokter …”
“Ini pr-nya. Di pertemuan berikut aku ingin kabar yang baik.”
Dayu memandangi ayunan kecil kosong yang bergoyang pelan dimainkan angin. Pembicaraanya dengan dokter Huang terasa sudah lama karena walau kadang dokter Huang menelfon menanyakan kabar, Dayu tidak bisa datang bertemu muka. Dia tidak tahu apa yang harus dilaporkannya, dia belum mengerjakan tugas, belum membuat kemajuan dan akhir-akhir ini dia merasa makin terbenam.
Dayu sadar kebahagiaannya kunci untuk memaafkan dan memaafkan awal kebebasannya. Tapi kebahagian sekarang baginya bukan lagi hal yang mudah, meskipun dia tertawa tapi tawanya tidak lagi membuat dunianya bersinar.
“Ini,” Wang Qing mengulurkan minuman hangat kepada Dayu. Dia kemudian duduk di sampingnya. Malam yang dingin membuat taman bermain anak fasilitas publik di dekat asrama universitas sepi. Hanya satu atau dua orang yang melintas di jalanan dekat tempat duduk mereka, itupun terburu-buru ingin segera sampai di tempat yang suhunya lebih ramah. Tidak ada orang normal yang bersedia duduk di tengah cuaca seperti ini, bahkan gelandangan pergi ke tempat-tempat penampungan.
Wang Qing membuka kaleng minuman dan meneguk cairan hangat. Dia memandangi Dayu yang duduk di sebelahnya, yang minumannya masih dipegang dengan kedua tangan, belum juga dibuka. Dia meletakkan kalengnya di bangku, menarik syal Dayu, merapikan dan merapatkannya agar tubuh Dayu tidak terserang dingin.
Dayu tidak memperhatikan, dia tetap menatap langit yang gelap, tanpa satupun bintang yang bersinar di sana, hitam dan kelam, seperti pikirannya.
Wang Qing yang kini melihat ke tempat yang sama dalam usahanya mencoba menebak Dayu, merasa ditinggalkan. “Apa yang kau pikirkan?”
Masih mendongak Dayu berkata, “Kau selalu ingin tahu apa yang kupikirkan…”
“Tentu. Karena semua tentangmu penting bagiku,” jawab Wang Qing. “Kau selalu jujur saat menjawab pertanyaanku tapi jika tidak ditanya kau tidak mengatakan apa-apa dan menyimpannya sendiri. Aku tidak suka saat kau diam, aku tidak bisa menebak isi kepalamu dan merasa kau jauh.”
Dayu tersenyum mendengar Wang Qing yang ada benarnya. Dia ingin menjawab tapi hpnya berbunyi. Dayu memeriksa pesan, membaca, dan membalasnya.
“Dari siapa?” tanya Wang Qing.
“Wang Zhen.” Dayu menjawab sambil terus chatting.
Wang Qing terkejut tidak tahu kapan Dayu dan Zhen bertukar nomor handphone. “Mau apa dia?” tanyanya langsung kesal menyadari sudah kecolongan. Meskipun sudah berusaha tapi perilaku mother chicken-nya yang siap menyerang jika terganggu sulit berubah.
Dayu mengetik jawaban untuk Wang Zhen dulu sebelum menjawab, “Dia mengajak ku ikut bakti sosial membersihkan …” kata-kata Dayu tertimpa suara Wang Qing.
“Apa maksudmu mengajak Dayu pergi?” Wang Qing berdiri berkacak pinggang. “Berani sekali kau menghubunginya di belakangku. Dayu sibuk dengan thesisnya. Dia tidak mungkin punya waktu mengikuti acara bodohmu. Jika kau tidak punya kerjaan dan punya banyak waktu luang, kau freelance saja di petugas kebersihan jangan mengajak-ajak pacar orang. Atau kau sengaja mengundangnya ingin pendekatan di belakangku ….” Wang Qing menurunkan hpnya. “Sialan, orang belum selesai bicara sudah dimatikan.” Wang Qing menghubungi Wang Zhen lagi dan kali ini ada pemberitahuan tidak bisa dihubungi.
Dayu menarik tangan Wang Qing. “Kenapa kau marah-marah? Kerja sosial itu bagus. Membersihkan fasilitas umum membuatku merasa berguna bagi masyarakat. Juga selingan yang menyenangkan saat jenuh.”
“Kau betulan ingin ikut kerja bakti?” Wang Qing masih juga kesal. Bukannya dia antipati kerja sosial tapi kenyataan kalau temannya yang mengusulkan tanpa sepengetahuannya membuat dia tidak terima. “Kau selalu sibuk dan tidak punya waktu.”
“Itu sebabnya aku bilang tidak bisa mengiyakan sekarang. Dan juga tergantung padamu, jika kau tidak pergi aku juga tidak.” Dayu membuka kaleng minuman dan meneguk isinya yang sudah tidak begitu hangat sekaligus. “Temanmu menyuruhku memberitahu, dia sudah mengirimi pesan yang sama tapi belum kau baca.”
“Eh benarkah?” Wang Qing sedikit menyesal sudah marah-marah, namun tetap tidak suka kenyataan Wang Zhen memiliki nomor Dayu dan berani menghubunginya. “Kapan kau bertukar nomor hp dengan Zhen?” tanyanya.
Dayu menggeleng. “Kukira kau yang memberitahu nomorku.”
Hah? Wang Qing terkejut. Dari mana Zhen dapat nomor Dayu? Apa berkat kedudukan di pemerintahan dia bisa melacaknya? Atau dia menyewa detektif untuk mencari informasi? (Wang Qing memilih penjelasan paling dramatis). Mungkin Zhen benar-benar tertarik pada Dayu dan memutuskan jadi saingan? Tiba-tiba rasa dingin merayap di tulang-tulangnya.
Dayu memandangi Wang Qing yang menarik jaket, mengeratkannya agar udara tidak merayap masuk. “Apa kau tidak dingin?” tanya Dayu
“Tidak terlalu,” jawab Wang Qing tidak meyakinkan. Rasa dinginnya datang dari tempat yang lain.
“Kau bohong,” kata Dayu. “Suhu jelas di bawah nol.”
“Karena aku selalu gembira saat bersamamu, dimanapun jadi tidak penting.” Wang Qing memutuskan untuk menunda masalah Wang Zhen agar waktunya bersama Dayu tidak terganggu. Dia tidak akan ribut pada orang yang tidak salah dan memutuskan menemui Zhen besok, untuk memaksanya menghapus nomor Dayu.
Wang Qing melempar kaleng minumannya ke tempat sampah yang ada di dekat mereka, lalu mengambil kaleng Dayu dan melakukan hal yang sama. “Ah yang ini tidak masuk.” Wang Qing berjalan memungut kaleng, melemparkannya ke tempat sampah sekali lagi.
Dayu memandangi Wang Qing. Kadang jalan pikirannya sulit dimengerti. Wang Qing selalu mengikutinya kemanapun dengan senang hati meski Dayu melakukan apa yang bukan style-nya. Seperti sekarang, Dayu tahu pria itu tipe yang senang bermalas-malasan melingkar di kamar yang hangat dan nyaman. Meninggalkan peraduan untuk keluar pasti butuh usaha dan duduk di taman yang dingin hanya karena Dayu suntuk dan sedang ingin berganti suasana, jelas satu perjuangan. Jika itu dia, Dayu pasti memilih tidak pergi, atau protes atau setidaknya mengajukan saran dan mungkin juga pulang jika tidak tahan.
Pertanyaan melintas. “Qingge, jika setelah mati aku masuk neraka apa kau masih ingin tetap bersamaku? Bukannya kau bilang tempat tidak jadi masalah asal bisa bersama.”
Wang Qing heran. Dia kembali duduk di samping Dayu. “Mengapa kau masuk neraka? Kau orang baik tidak mungkin kau dijebloskan ke sana.”
Dayu tersenyum mendengar jawaban itu. Pria ini memandang tinggi dirinya.
Wang Qing berpikir-pikir, “Kalaupun terjadi kesalahan dan kau diharuskan ke neraka, aku akan menghalanginya. Aku akan menghabisi siapapun yang berusaha menarikmu ke sana dan aku akan protes pada Yan Luo Wang. Raja neraka pasti salah orang.”
Dayu kembali tersenyum. Pria yang rela mengorbankan diri untuknya, meskipun hanya kata-kata dalam bualan kosong dia senang.
“Qingge.” Dayu meraih wajah Wang Qing, memegangi sisinya dengan dua tangan yang dingin. Ah, dia terkejut batin Dayu, mengamati Wang Qing. Matanya memandang bertanya, menunggu, namun juga mengantisipasi apa yang akan terjadi.
Dayu mendekatkan wajah dan mencium bibir Wang Qing. Hem, lembut dan dingin. Kini bibir Dayu mengecup ringan, bergerak perlahan di bibir Wang Qing yang pasrah.
Kata orang jika kau mencium dengan mata terbuka, kau tidak menghargai ciuman itu. Kau tidak berniat menjalin koneksi yang akan menghubungkan perasaanmu dan orang yang dicium, dan sentuhan itu tidak menyatukan dua orang karena, saat kau tidak memejamkan mata, kau curang dan hanya menjadi penonton.
Tapi bagi Dayu malam ini, saat dia mencium Wang Qing dan membuka mata, dia bisa melihat siapa yang diciumnya dan menyadari banyak hal. Dayu bisa menangkap ekspresi dari mata Wang Qing yang terkejut tapi kemudian menutup matanya, memberikan hati seutuhnya untuk ciuman mereka. Dayu juga mendapati wajah itu melembut oleh cinta, dan raut muka Wang Qing saat menikmati ciumannya begitu memuja dan mendamba. Semua itu mendatangkan perasaan mesra.
Laki-laki ini yang mencintainya dengan aneh dan buta, yang menganggap dia begitu penting, kini begitu dekat, membuat jantungnya berdebar, dan hatinya diliputi rasa sayang.
Dayu menarik dirinya. Dia melihat mata Wang Qing terbuka kembali, memandangi dirinya tepat-tepat di mata, berusaha mencari arti yang terjadi lewat jendela hatinya. Ah, kini senyum merekah di bibir Wang Qing, membuat kerut-kerut di sudut-sudut mata, begitu lebar memancarkan kebahagiaan.
“ … ai ni,” kata-kata itu meluncur pelan dari bibir Dayu.
Wang Qing tak percaya pada apa yang didengarnya. “Dayu...?” Tangannya meraih dan memeluk Dayu erat-erat seakan ingin memastikan kalau Dayu nyata dan bukan hanya tipuan cahaya bulan atau imajinasi semata.
Lengan-lengan melingkari tubuhnya ketat, menyadarkan Dayu dari apa yang tanpa sadar telah dilakukannya. “Qingge,” Dayu meronta melepaskan diri bingung dengan apa yang terjadi. “Qingge, aku tidak bisa bernafas.” Dia mendorong Wang Qing.
“Maaf,” Wang Qing menyadari perbuatannya. Matanya berkilauan oleh air mata yang merebak saat berkata, “Dayu terima kasih.” Suaranya bergetar. “Aku tidak pernah bermimpi kau datang padaku begini cepat. Aku bersedia menunggumu selama apapun tapi hari ini kau menciumku dan menyatakan cinta. Dayu aku….”
Rangkuman kejadian dari Wang Qing membuat Dayu memahami apa yang telah dilakukannya saat trans. Dia tiba-tiba berdiri. “Aku pulang,” dan berjalan cepat.
Wang Qing tercengang. Apa tadi kesalahan? Mengapa Dayu meninggalkannya? “Dayu tunggu.” Wang Qing mengejar Dayu.
Dayu kini berjalan lebih cepat, tapi hanya semenit kaki-kaki Wang Qing yang panjang menyamakan posisi. Dia menarik tangan Dayu, berusaha menghentikannya.
“Dayu?” Wang Qing kini bisa melihat wajah Dayu yang merah sampai ke telinga. “Eh?”
“Lepaskan.” Dayu menarik paksa tangannya dari Wang Qing.
Wang Qing melepaskan Dayu yang segera melarikan diri. Dia memasang tudung kepala jaketnya, menyembunyikan muka.
“Dayu tunggu, aku antar.” Wang Qing menyusul. Mereka berjalan berdampingan. Sepanjang jalan Wang Qing menoleh ke samping memperhatikan Dayu yang makin menunduk, tiba-tiba, “Hahaha,” tawanya. “Kau lucu. Aku tidak mengira kalau kau malu.”
Dayu menenggelamkan tubuhnya di jaket. Dia berjalan makin cepat. “Aku bukan playboy gombal. Ini yg pertama bagiku.” Dayu menggumam pelan makin teredam oleh pakaiannya. Dia tidak pernah menyatakan cinta apalagi sambil mencium seseorang. Kata cinta mungkin hanya pada keluarga, itupun dulu saat kecil ketika dia tidak tahu makna kata. Sekarang saat dewasa kata cinta tidak mudah, membuatnya bimbang berkali-kali dan kini malu setengah mati.
“Apa katamu?” tanya Wang Qing tidak mendengar.
“Kau berisik,” desis Dayu dari dalam tudungnya. Tapi tersembunyi tutup kepala, sebentuk senyum muncul di bibir. Dayu kini mengerti, Wang Qing adalah sumber kebahagiannya yang mudah dan sederhana. Yang menafsirkan Jika kau bahagia saat melihat orang itu bahagia.☆—☆—☆
Beberapa hari kemudian di apartemen.
“Hem…em...” Wang Qing menggumam saat mengulum bibir Dayu yang lembut. Lidahnya menyapu bibir Dayu dan mendesaknya. Kini Wang Qing merasakan mulut Dayu. Lidahnya bergerak liar seperti ular yang gembira masuk ke liang yang hangat dan lunak. Pikiran itu membuat darah mengalir kencang ke bagian tubuhnya yang lain.
Dayu menarik kepalanya menjauh. Posisinya terus terdesak hingga nyaris berbaring di kursi. Tadinya mereka berdua duduk biasa namun setiap kali Dayu berusaha menghindar dan menjauh dari serangan Wang Qing, dia terus terhimpit karena Wang Qing tidak menyerah juga, terus nyosor, dan menyerbu membabi buta.
Dayu kini merasakan lidah Wang Qing di mulutnya bergerak liar memuaskan keinginan akan kebutuhan lain yang muncul belakangan, lalu sesuatu yang hangat bergerak di pahanya, membesar dan mengeras. Dayu mengerahkan seluruh tenaga, mendorong Wang Qing, mengelak, menggeser tubuh dan berteriak, menyadarkan orang yang kalap. “Hei Qingge!”
Dayu duduk menjauh dan menarik kausnya yang kusut tertimpa badan Wang Qing. Dia melakukannya dengan berlebihan, sengaja agar Wang Qing paham bahwa dia keterlaluan. Sambil mengerutkan kening dia memandangi benda yang bersemayam di antara selangkangan Wang Qing dengan tajam, yang membuat Wang Qing merapatkan kaki dan menarik baju menutupi sesuatu yang menonjol dari celananya.
“Aku pulang.” Dayu berkata.
“Cepat sekali.” Wang Qing seperti anak TK yang baru ditegur oleh gurunya berbuat nakal. Malu tapi tidak rela berpisah dari kesenangannya.
Dayu menunjuk jam di dinding yang jarum pendeknya diantara angka sepuluh dan sebelas. “Sudah malam.”
Dayu berdiri dari kursi diikuti Wang Qing yang buru-buru berkata, “Aku antar.”
Dengan sadis Dayu menunjuk ke bagian bawah. “Apa kau ingin ditangkap polisi? Jika kau tidak peduli terserah tapi aku tidak mau terlibat dan ikut ditanyai mengapa berjalan malam-malam bersama lelaki yang membawa senjata di celananya. Aku tidak sanggup melihat polisi menggeledah dan memeriksa senjata berbahaya apa yang kau bawa…”
Wang Qing menarik kausnya makin panjang ke bawah. Tubuhnya sedikit membungkuk sambil menyilangkan kaki berharap bisa menyembunyikan pistol kecil yang dibicarakan Dayu, yang belum juga kembali ke bentuk asalnya.
“Bye.” Dayu memakai tudung kepalanya sambil meninggalkan Wang Qing.
Begitu keluar dari ruangan, Dayu menarik nafas. Wang Qing benar-benar seperti penjajah minta tanah, diberi sehasta minta sedepa. Ketika Dayu menggandeng tangannya, Wang Qing mencium tangannya. Dayu mencium sekali Wang Qing ratusan kali, dan saat Dayu mengizinkan french kiss sekarang dia horny. Dayu menarik tali tudung kepalanya menyembunyikan wajah yang memerah karena malu. Laki-laki itu, pikirnya, apa dia tidak memakai celana dalam di balik training yang dipakainya?
Dayu memutuskan, mulai hari ini dia harus menjaga diri ekstra hati-hati karena sadar dia berhadapan dengan hewan buas. Ah, apakah dia masih hidup saat dia membolehkan Wang Qing tidur dengannya, Dayu cemas dengan masa depan. Dia bertekad hal itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat, dan tidak akan mudah. Wang Qing harus berjuang keras dan membayar mahal jika ingin menaiki ranjangnya.☆—☆—☆
KAMU SEDANG MEMBACA
Qingyu fanfic
FanfictionDalam hidup ini, hanya perlu waktu sekejap untuk jatuh cinta, namun apakah itu cinta sejati perlu waktu yang sangat panjang untuk membuktikannya. Sepuluh tahun, dua puluh tahun, tiga puluh tahun hanya hitungan sementara karena batas sebenarnya ada d...