Dayu tadi menitipkan pesan pada teman sekelas Wang Shuo kalau dia menunggunya di perpustakaan.
“Ah ya maaf mengganggumu,” kata Dayu. “Apa ada kabar dari Wang Qing. Aku masih tidak melihatnya di sekolah. Dan handphonenya masih tidak aktif.”
Wang Shuo menggeleng. Dia melihat kekhawatiran yang terpancar di wajah Dayu merasa kasihan, “Jangan khawatir dia pasti baik-baik saja. Suatu saat kalau dia ingin dia pasti kembali kuliah.”
“Ya,” kata Dayu, “Jika kau bertemu dengannya tolong sampaikan kalau aku mencarinya, atau kalau kau tidak keberatan bisa menghubungiku memberitahu lokasinya.”
“Oke.”
“Terima kasih,” kata Dayu.--------------
Wang Shuo meletakkan tas di meja. “Dia mencarimu lagi hari ini.” katanya pada Wang Qing yang duduk di karpet, sibuk dengan gamenya. Karena Wang Qing tidak memberi komentar dia melanjutkan, “Kelihatan khawatir.”
Ada kedutan kecil di sudut bibir Wang Qing yang masih tetap menatap lurus ke layar televisi.
“Aku baru sadar kalau matanya sangat indah.” Wang Shuo tahu kalau temannya yang pura-pura acuh kini siaga. Dia duduk di kursi dekat Wang Qing.
“Hem... Kurasa dia orang yang baik, jika dia bisa khawatir pada berandalan sepertimu. Kalau seperti ini terus kurasa kami bisa berteman. Tiap hari dia mencariku, besok mungkin aku akan menawarinya makan …..”
“Jangan pernah,” potong Wang Qing. Dayu dan makanan adalah isu yang berbahaya. Wang Qing meletakkan stick controller dan keluar.
“Hei kau mau kemana?” teriak Wang Shuo.
“Pulang.”
“Kemana?”
“Apartemen.” Wang Qing menghilang di balik pintu.
Wang Shuo menggeleng tidak percaya kalau dia menjadi peri cinta sahabatnya. Ketika pertama kali Dayu menemuinya menanyakan Qing, dia menelpon Qing dan temannya itu memintanya berbohong pada Dayu kalau dia tidak tahu Qing dimana (dia pulang ke rumah orang tuanya). Dan sejak itu setiap sore dia nongkrong di kamarnya, menunggunya pulang jelas-jelas menantikan kabar tentang Dayu, untuk mendengarkan kalau hari inipun Dayu mencari dan lebih penting lagi mengkhawatirkannya. Cis pikirnya jika kau begitu rindu kenapa kau merepotkannya. Sungguh kekanak-kanakan.
Wang Qing berjalan ke lift, turun ke lobby. Perasaannya selalu bahagia setiap kali mengetahui dari Shuo kalau Dayu masih peduli dengannya. Sebetulnya dia sangat ingin menemui Dayu namun setiap dia ingat kejadian malam itu kecemasannya timbul lagi (Dayu akan selalu menjadi kelemahannya).
Wang Qing tidak mengerti jalan pikiran Dayu. Dia memutar kembali apa yang dilakukannya bersama Dayu. Dia naik lagi ke atas.
Wang Shuo yang sedang tiduran sambil mendengar musik memandangnya heran ketika dia muncul.
“Shuo apakah kau memeluk temanmu?”
“Hah?”
Wang Qing merubah pertanyaan, “Jika seseorang menyandarkan kepala di bahumu atau menggunakan pahamu sebagai bantal ketika tertidur, menggegam tanganmu saat nonton film, kau akan menyebut dia teman atau kekasih?”
“Menurutku kekasih.”
“Benarkan?” Dia ingin memastikan lebih jauh, “Jika aku melakukan itu kepadamu apa yang kau lakukan?”
“Kabur sejauh-jauhnya menghindarimu.”
Wang Qing mengangguk. “Jadi jika kau membiarkan aku melakukan itu kepadamu apa artinya?”
“Kita kekasih. Ugh hentikan omongan ini ngeri aku membayangkannya.”
“Jangan macam-macam. Itu hanya misal.” Wang Qing keluar lagi meninggalkan Wang Shuo.
Beberapa detik kemudian pintu kembali terbuka dan kepala Wang Qing nongol dari daun pintu.
Wang Shuo menarik nafas panjang. “Apalagi sekarang?”
“Jika seseorang bilang, … ayo kita coba pacaran, apa artinya?”
“Artinya ya… coba pacaran.” Wang Shuo mengangkat handphonenya yang berbunyi, memeriksa pesan yang masuk. “Yo Qing, jika kau ada pertanyaan seharusnya kau menanyakannya pada Dayu. Kau memberiku informasi terlalu banyak ….”
Wang Qing keburu keluar tidak mendengarkan sisa perkataan Shuo.------------
Wang Qing menendang batu di depannya. Bukan tendangan yang baik karena batu itu tidak bergeser hanya pasir dan kerikil kecil yang ada di sekelilingnya yang berhamburan kemana-mana. Gesekan sepatu, pasir, dan kerikil menimbulkan bunyi gemerosok.
“Qing.”
Suara itu, suara yang terdengar manis saat menyebut namanya. Suara yang membuat namanya terasa sungguh istimewa. Wang Qing mendongakkan kepala melihat Dayu berdiri di depan tangga utama akses masuk ke apartemen.
Rasa sakit itu datang lagi, membuatnya tanpa sadar mengurut dada. Berapa lama dia sudah menunggunya di situ? Apa dia tidak kelelahan? Atau kedinginan? Pikirnya murung telah menyebabkan kesusahan pada Dayu.
“Bisa kita bicara,” tanya Dayu mendatanginya.
Wang Qing mengikuti Dayu yang memimpinnya ke taman kecil tersembunyi oleh pepohonan yang memagari kanan kiri jalan.
“Apa kau marah?” tanya Dayu segera ketika mereka berhenti di sebuah bangku panjang. Mereka berdua tidak duduk hanya berdiri berhadapan.
Wang Qing menunduk diam tidak memberi reaksi. Dia ingin bilang tidak marah, namun lidahnya kelu.
Melihat Wang Qing hanya diam Dayu mendesah kesal, “Kenapa kau yang marah kepadaku? Seharusnya aku yang marah.”
“Aku benar-benar marah kau tahu. Tapi karena kau terus bolos, kau membuatku cemas. Kau tidak tahu bagaimana perasaanku beberapa hari ini. Aku takut kau tidak lulus mata pelajaran karena absenmu, aku tidak ingin menjadi alasan kegagalan. Aku bahkan berfikir mungkin kau meninggalkan sekolah. Ahhh…aku bahkan tidak tahu kenapa aku sampai berpikiran seperti itu.” Dayu berhenti menarik nafas lalu melanjutkan, “Wang Shuo bilang jangan khawatir kau pasti baik-baik saja namun pikiranku tetap saja khawatir. Aku tidak bisa mengendalikannya, terus memikirkanmu.”
Wang Qing mengurut dadanya lagi. Dia rasa Dayu ingin membunuhnya, jika ini terus berlanjut dia percaya pada kata-kata ‘mati dalam kebahagiaan’. Dia duduk di bangku merasa kaki lelah, sama sekali tidak mengira kalau Dayu akan seperti ini. Selama ini dia tidak menemui Dayu karena takut Dayu memproklamasikan perpisahan mereka.
“Ah, katakan sesuatu,” desak Dayu, “Ini tidak seperti yang kurencanakan. Aku sudah memikirkan apa yang akan kukatakan padamu dan kini semua hilang. Dan aku seperti orang bodoh.”
“Dayu, wo ai ni.” Kata-kata itu lepas dari bibir Wang Qing. Saat ini dia berusaha menahan diri untuk tidak memeluk Dayu.
“Aku tidak tahu.” Dayu duduk di samping Wang Qing.
Wang Qing kembali mengurut dada. Dayu sungguh mempermainkannya jika tadi dia bisa 'mati karena bahagia', sekarang dia merasa bisa 'mati karena sengsara'.
“Mengapa?” tanya Wang Qing pelan.
“Kau merendahkanku. Saat aku baik-baik mengajakmu, kau tidak mau ikut. Tapi kau malah datang dengan teman-temanmu duduk tidak jauh dari mejaku, mengawasiku seperti ….seperti….” Dayu ragu permisalan yang tepat, seperti siskamling yang mengintai maling ayam, seperti debt collector yang mengamat-amati rumah debitur, seperti suami yang mengawasi istri yang selingkuh. Entah bagaimana permisalan yang terakhir lebih mendekati walau Dayu tidak akan pernah mengatakannya.
“Aku bertanya-tanya apa yang kau pikirkan tentang diriku? Apakah kau pernah berpikir apa tanggapan teman-temanku? Kami semua melihatmu bengis, arogan, gusar…..” Dayu kehabisan kata-kata.
“Dayu maafkan aku. Aku tidak begitu mengerti apa yang kulakukan. Kadang-kadang otakku tidak berfungsi dengan benar jika menyangkut dirimu. Aku tidak bermaksud datang. Namun saat aku sendiri di rumah aku terus-terusan memikirkanmu, aku ingin datang. Tapi saat melihatmu bersama yang lain, gembira tanpa aku, aku cemburu. Dan kau dan gadis itu …menyiksaku.”
“Baguslah,” kata Dayu puas. Malam itu dia sengaja firtling karena sebal melihat Wang Qing.
Dayu memeriksa hatinya, dia tidak ingin memaafkan Wang Qing. Dia tidak suka dimata-matai, dia membencinya jika dilakukan tersembunyi (pengalaman dengan mantan pacarnya). Dan Wang Qing yang melakukannya secara terang-terangan membuatnya lebih parah karena mempermalukannya di depan sahabat-sahabatnya. Tapi dia memerlukan pria ini.
Karma, pikir Dayu. Dia memperalat Wang Qing untuk kepentingannya dan pria ini membalasnya, menyusahkannya, bahkan tanpa menyadarinya.
“Jika kau berjanji tidak mengulangi.” Bayangan rumah dan kampung halaman membulatkan tekad Dayu. ”Kita bisa mencoba lagi.”
Wang Qing buru-buru mengangguk. “Ya aku berjanji.”---------------
KAMU SEDANG MEMBACA
Qingyu fanfic
FanfictionDalam hidup ini, hanya perlu waktu sekejap untuk jatuh cinta, namun apakah itu cinta sejati perlu waktu yang sangat panjang untuk membuktikannya. Sepuluh tahun, dua puluh tahun, tiga puluh tahun hanya hitungan sementara karena batas sebenarnya ada d...