BAGIAN 19

729 83 4
                                    

        “Yue Yue kenapa kita ke sini?” Dayu menarik tangan Yue Yue untuk menyetop langkahnya. “Bukannya kita ingin mencari tahu akar masalahku?”
        “Ya di sini tempatnya.” Yue Yue balik menarik tangan Dayu menyuruhnya tetap berjalan.
        “Tapi aku tidak sakit.” Dayu tidak mau bergerak.
        Yue Yue melepaskan tangan dari pegangan Dayu, memutari dan mendorongnya dari belakang seakan Dayu lemari besar yang akan dipindahkan. “Aku sudah membuat janji dengan kenalanku di sini. Dia yang akan membantu kita mencari tahu penyebabnya.”
        Dayu curiga. “Siapa dia?”
        “Psikiater.”
        “Oh tidak.” Dayu terkejut, menoleh melihat Yue Yue yang berada di belakangnya.    “Menurutmu aku gila? Begitu parahnya?”
        “Berhenti jadi orang kampung. Jangan bikin malu taraf pendidikan kita.” Yue Yue mengerahkan tenaga mendorong Dayu agar berjalan. “Ah ayolah, bukannya kau sendiri yang ingin menyelesaikan masalahmu dan menginginkan bantuanku. Sekarang aku sudah memberi jalan, jangan mundur.”
        “Tidak adakah yang sedikit lebih ringan, jika menurutmu ini masalah jiwa, mungkin  psikolog lebih baik?” tawar Dayu. Psikiater membuatnya ngeri karena berasosiasi dengan orang tidak waras dan Dayu tidak merasa masalahnya begitu berat.
        “Dengar.” Yue Yue berhenti mendorong Dayu, dia menekankan setiap perkataannya agar Dayu menyimak. “Dia ini kenalanku. Kau bisa tenang curhat dengannya. Dia sangat baik dan pengertian, jadi jangan cemas.”
        Yue Yue meninggalkan Dayu berjalan duluan ke arah pintu rumah sakit, tidak begitu jauh dia berbalik berjalan mundur, “Tapi jika kau bersedia bicara dengan orang asing  yang memintamu membayar tiap detik dan menit yang kau habiskan dengannya, terserah saja. Kita akan ke bagian pendaftaran sekarang mencari psikolog yang kau inginkan.”
        “Tunggu Yue Yue. Kurasa lebih baik kita menemui temanmu.” Dayu langsung setuju, apapun yang gratis jelas jadi pertimbangan. Dia mengikuti Yue Yue yang memimpin memasuki rumah sakit.
        Mereka menuju bagian kesehatan jiwa di lantai empat, lalu menunggu di ruang tunggu yang sepi. Hanya ada tiga orang yang duduk di bangku-bangku panjang. Dayu mengamati orang-orang tersebut yang tampak waras sama sepertinya. Dia bertanya-tanya mengapa mereka datang ke sini?
        “Sepi ya?” kata Dayu pada Yue Yue.
        “Mereka yang datang ke sini biasanya membuat janji terlebih dahulu. Kita tidak tahu berapa lama seseorang berada di dalam sana.” Yue Yue menunjuk salah satu dari ruang periksa. “Bisa lebih dari tiga puluh menit. Ini bukan penyakit yang bisa didiagnosa secara cepat.”
        “Penyakit?” tanya Dayu.
        “Eh...” Yue Yue tidak enak. “Aku tidak mengatakan itu tentang kasusmu.”
        “Penyakit….” Dayu tertunduk memegangi kepalanya seperti orang yang sedang stres.
        “Hei. Sudah aku bilang….”
        Dayu mendongak, matanya berkilat-kilat nakal. Dia tersenyum menggoda Yue Yue.
        Salah satu pintu ruang periksa terbuka, seorang pria dan wanita keluar dari ruangan tersebut. Seorang perawat mengantar mereka untuk menyelesaikan administrasi dan perawat yang lain memanggil nama Dayu.
        Dayu berdiri bersama Yue Yue masuk ke kamar yang ditunjukkan si perawat.
        “Ni hao.” Seorang dokter menyambut mereka di ruangan kecil bercat putih sama dengan bagian luar, khas rumah sakit.
        Dayu tidak menyangka dokternya masih muda dan tampan. Dia mengamati menilai penampilannya. Rambut yang disisir rapi menyamping memamerkan kening yang tinggi, hidungnya yang lurus mancung dan bibir yang tersenyum tulus dari hati, serta mata yang memandang lembut dan sabar dari balik kacamata berbingkai persegi.
        Apakah semua psikiater seperti ini, pikir Dayu. Mungkin mereka dilatih untuk menguarkan aura tempat bersandar, yang membuat orang percaya dan jadi ingin berkeluh kesah.
        Dokter mengulurkan tangan menyalami Dayu dan Yue Yue. Lalu pada Yue Yue berkata, “Apa kabar? Lama tidak bertemu.”
        “Baik. Bagaimana kabar dokter Huang?”
        “Baik.” Dokter Huang tertawa, “Ha ha kita begitu formal.”
        Dia menyilakan Dayu dan Yue Yue duduk, membaca data pasien yang ditampilkan layar komputernya, seperti nama, tanggal lahir, usia, pekerjaan, status dan lain-lain, lalu bertanya, “Apa yang bisa aku bantu, Feng Jianyu? Ah, bagaimana sebaiknya aku memanggilmu?”
        “Ehmm,” Dayu berpikir sejenak. “Apapun aku tidak keberatan, tapi teman-teman kuliahku memanggilku Dayu. Di rumah keluargaku memanggilku Xiao Yu, Xiao Yuge dan dia Yu.” Dayu menunjuk Yue Yue.
        “Kalau begitu boleh aku memanggilmu Dayu, seperti teman-temanmu?” Dokter Huang meminta izin.
        Dayu mengangguk setuju.
        “Dayu, apa yang bisa aku bantu.” Dokter Huang mengulang pertanyaannya.
        “Hem,” Dayu agak bingung tidak tahu harus darimana memulai. Ini tidak sama dengan ketika dia bercerita pada Yue Yue. Dia berusaha menyusun ceritanya namun yang keluar dari mulutnya malah kesimpulan. “Aku rasa aku … homophobia.” Dayu membuka perkenalan dengan melabeli diri.
        “Mengapa kau mengira dirimu homophobia?” tanya dokter Huang.
        “Beberapa hari yang lalu aku tidak sengaja melihat laptop seorang teman yang sedang menayangkan ... film porno gay.” Dayu bergerak tidak nyaman merasa sulit dan malu bicara dengan orang asing. Meksipun penampilan dokter Huang memberinya kepercayaan tapi dia tetap orang asing. Dayu mencemaskan anggapan dokter tentang dirinya yang datang ke sini hanya gara-gara takut nonton film porno, dia tidak ingin dianggap membesar-besarkan masalah.
        “Ya ...?” dokter Huang memberi semangat pada Dayu untuk meneruskan ceritanya.
        “Film itu membuatku merasa takut. Aku juga mual dan muntah-muntah di jalan.” Dayu kembali bergerak tidak nyaman di kursi. Namun pandangan dokter Huang yang serius menyimak kata-katanya membuatnya meneruskan cerita. “Aku bilang dia teman, tapi sebetulnya kami pacaran.”
        Dayu lalu bercerita tentang neneknya yang menginginkan dia menikah dengan pria, sambil mengawasi dokter Huang menanti reaksinya. Dia benar-benar cemas dokter tersebut berpikiran aneh tentangnya dan keluarganya. Tapi dokter Huang tidak menunjukan ekspresi apapun selain sungguh-sungguh. Seperti teman baik yang peduli dan tidak akan menertawakan keganjilan temannya. Dayu menjadi lebih santai.
        Dokter Huang mengangguk mengerti ketika Dayu diam, menunggu dia memberikan tanggapan dari kisah yang sudah selesai diceritakan. Dalam wawancara yang sering dilakukannya, di awal dia biasanya memberikan kesempatan pada pasien untuk curhat sebentar karena dari situ dia bisa menyusun dan mengarahkan pertanyaan untuk mengali lebih dalam dan menemukan problem pasiennya. Setelah itu dia yang akan mengendalikan wawancara dengan pertanyaan menjurus agar waktu dalam sesi wawancara digunakan efektif dan efisien.
        Dokter Huang kini bertanya, “Jika kau pikir kau homophobia, Dayu, apa pendapatmu tentang gay?”
        “Seseorang yang menyukai sejenis. Eh maksudku pria yang menyukai pria.”
        “Maksudku bukan artinya tapi pemikiranmu tentang mereka? Apa kau membencinya?” Dokter Huang menjelaskan pertanyaannya.
        “Aku …” Dayu berpikir, “Aku tidak tahu ... ehm, kurasa aku tidak membencinya.”
        “Bisakah kau menyatakan pendapatmu tentang gay dengan lebih pasti. Ah seperti ini lebih mudah,” Dokter Huang memberi permisalan. “ Jika kau mempunyai teman dan temanmu itu ternyata gay, apa yang kau pikir tentangnya?”
        “Aku tidak punya teman dekat seperti itu.” Dayu mengeleng, dia tidak ingin menilai, “Aku tidak punya teman yang gay.”
        “Tapi kau bilang kau punya pacar. Dan dari ceritamu jelas dia seorang pria. Apa dia, apakah dia gay?”
        Ah, betul juga pikir Dayu dia melupakan Wang Qing. “Kurasa,” jawab Dayu. “Karena dia bilang dia mencintaiku.”
        “Apa kau mencintainya?” tanya dokter Huang.
        Dayu mengeleng. “Tidak.”
        “Jadi kau pacaran dengannya karena nenekmu.” Dokter Huang menuliskan sesuatu di lembar catatannya. Dia ingin mengetahui apakah Dayu benar-benar homophobia. Karena dia datang dengan anggapan seperti itu tentang dirinya maka informasi ini penting untuk digali. Homophobia tidak hanya terjadi pada orang biasa namun juga bisa terjadi pada gay itu sendiri akibat lingkungan yang menekan dan tidak memberi jalan keluar selain menyudutkan mereka. Orang biasa yang homophobia jelas berbahaya jika mereka terlalu agresif namun gay yang homophobia bisa lebih fatal akibatnya, karena mereka bisa menyerang dua arah, orang lain, juga diri mereka sendiri.
        “Seperti yang tadi sudah aku katakan, hanya karena nenek,” kata Dayu pasti.
        “Kita kembali ke permisalan tadi jika teman dekatmu seorang gay apa yang kau pikirkan tentang mereka?”
        “Ehm..kurasa tidak peduli. Maksudku aku tidak suka mencampuri urusan orang lain.” Dayu teringat pada Wang Qing. “Aku akan tetap berteman dengannya, dan aku akan tetap mendukungnya. Apapun mereka karena mereka temanku.”
        Sangat positif, pikir dokter Huang menganalisa jawaban Dayu, tidak menunjukkan agresi. Dia mencoba permisalan yang lebih ekstrem, “Coba pikirkan salah satu teman dekatmu…” Dokter Huang memberi jeda bagi Dayu. “Kau sudah memikirkannya?”   Begitu Dayu mengangguk dokter Huang meneruskan. “Bayangkan kau menangkap basah dia berciuman dengan seorang pria…” Dokter Huang lagi-lagi memberi jeda, “Kau sudah membayangkannya? Nah, apa yang akan kau lakukan sekarang?”
        Dayu mencoba membayangkan Xiaoshuai yang mencium Guo Cheng Yu. Dia merasa geli dan tidak masuk akal. Dia menjawab,“Aku akan pergi dan meninggalkan mereka bersenang-senang.” 
        “Kau tidak marah, benci, jijik atau apapun tindakan yang berhubungan dengan antipati.”
        Dayu sangat yakin. “Tidak.”
        “Lalu suatu hari kau menemukan temanmu itu sedang bercinta dengan pacarnya apa yang akan kau lakukan?”
        Dayu jadi tidak nyaman. Sikap santainya hilang. “Aku tidak tahu, aku tidak ingin memikirkannya.” Dayu memohon, “Akh, dokter jangan suruh aku membayangkannya, aku tidak sanggup.”
        “Kalau begitu tidak usah dibayangkan.” Dokter Huang tersenyum menenangkan.
        “Sekarang aku ingin tahu tentang pacarmu. Apa bisa kita bicara tentang dia?”
        Dayu menautkan dua tangannya. “Tidak masalah.”
        “Kau mengira dia gay tapi kau tidak membencinya?”
        Dayu menggeleng.
        “Gambarkan tentang pacarmu,” pintanya.
        Dayu bingung bagaimana menjawab pertanyaan ini, “Orang yang baik,” katanya ragu.
        Dokter Huang tersenyum. “Dayu jangan berpikir terlalu keras. Ini bukan soal ujian. Ini bukan benar atau salah. Jangan pedulikan apa yang akan kupikir. Kau bisa mengatakan apa saja yang melintas di benakmu.”
        Dokter Huang seorang psikiater yang berpengalaman. Sebagai psikiater dia harus mengenali tipe orang yang datang kepadanya. Dia tidak boleh membeli sembarangan, apalagi sesuatu yang dijual murah. Seperti saat menonton artis yang diwawancarai di televisi yang menangis saat bercerita tentang ‘dirinya’ maka itu baginya hampir sembilan puluh persen untuk menarik simpati dan membentuk opini.
        Dayu jelas bukan tipe narsistik atau histrionik yang selalu membutuhkan perhatian pada diri mereka. Orang seperti ini senang bicara tentang diri mereka sendiri. Mereka tipe ‘aku’, yang biasanya hanya melihat ke dalam. Pada orang-orang seperti ini dia harus memisahkan sampahnya seperti memisahkan sekam dari padi, untuk mendapatkan kebenaran karena mereka tipe yang punya pendapat tentang diri mereka sendiri dan biasanya tidak sesuai dengan kenyataan.  
        Tapi pada Dayu dia bisa menyimpan semua ‘kisahnya’ dan menandainya sebagai penting karena apa yang keluar dari mulutnya apa adanya.
        Dayu mengangguk mengerti, berpikir tentang Wang Qing.
        “Dia orang yang baik,” Dayu mengulang kalimatnya. “Penampilan luar dan kepribadiannya bertolak belakang. Wajahnya seram, dan di kampus dia ditakuti.   Temanku Xiaoshuai menyebutnya preman, Yue Yue menjulukinya gangster, dan masih ada banyak julukan menyeramkan lain, tapi bagiku dia pria yang manis.” Dayu menunduk agak malu meneruskan. “Kadang-kadang aku merasa dia kekanak-kanakan dan lucu. Dia juga pandai namun pemalas.”
          Dayu membuka hatinya. “Aku merasa dia sangat mencintaiku.” Kini dia bukan lagi agak malu tapi benar-benar malu, telinganya memerah. “Wang Qing selalu mengikutiku kemana-mana. Melakukan ini itu untuk memastikan aku hanya miliknya. Dia bilang dia orang yang melakukan apa yang disukainya dan kurasa saat ini, itu aku. Eh... maksudku adalah kadang aku merasa dunianya berpusat padaku.” Dayu menggaruk-garuk kepalanya, “Ah, kurasa aku narsis.”
        Dayu bercerita lebih dalam mengungkapkan perasaannya, “Aku selalu merasa bersalah saat dia sedih karena aku. Dan kalau melihat dia murung aku ingin melakukan apapun untuk menyenangkannya. Kejadian itu saat aku mendorongnya dengan ketakutan di apartemennya, aku yakin dia terluka karenanya dan aku ...”
        Ruangan jadi hening saat Dayu memutus kalimat tidak bisa mengekpresikan penyesalan.
        “Sekarang bisakah kau menjawab pertanyaan ini dengan lantang tanpa banyak berpikir,” Dokter Huang memberi waktu sejenak agar Dayu kembali memusatkan pikiran pada pertanyaan. “Apakah kau mencintainya?” Dia mengulangi pertanyaannya di awal.
        “Aku tidak tahu.” Dayu menjawab dengan ragu. Tidak seperti saat menjawab Yue Yue kemarin dan tadi di awal pertemuan, saat ini dia tidak yakin. “Kadang aku merasa perasaanku padanya lebih dalam daripada sekedar teman. Mungkin karena aku belum pernah jatuh cinta jadi aku tidak paham seperti apa.” 
        Dokter Huang ingin bicara memberitahu Dayu kalau jatuh cinta atau bukan, jawabannya ada pada dirimu sendiri. Seseorang bisa bilang kalau mereka jatuh cinta itu karena mereka yang memutuskan. Meskipun seribu orang mengatakan kalau kau jatuh cinta tapi kau bilang tidak, maka artinya tidak. Dia bisa merasakan beberapa saat yang lalu Dayu bicara begitu hangat tentang sesesorang yang disebutnya ‘pacar’ tapi kemudian dia mengelak dan menolak kata cinta. Dia tidak keberatan dengan istilah pacaran namun dia menghindar masuk ke hubungan yang lebih dalam. Dayu jelas punya masalah dengan komitmen. Dokter Huang menambahkan catatannya.  
        Dokter Huang kini masuk ke pertanyaan yang sengaja disisihkannya bukan karena tidak penting namun karena dia ingin mengorek keterangan yang lain lebih dulu. “Ceritakan apa yang kau alami saat tidak sengaja menonton film itu?”
        Dayu memejamkan matanya, kembali ke apartemen Wang Qing. Di dalam benaknya kejadian itu terulang kembali. “Kepalaku berputar dan gelap. Aku merasa ada yang jahat menangkapku, badanku berkeringat dingin. Aku dicekam ketakutan yang membuat nafasku sesak. Aku ingin lari tapi tidak bisa bergerak.”
        Dokter Huang melihat wajah Dayu yang agak memucat. Satu lagi petunjuk lain yang sudah dikiranya. Dia menulis di catatan. “Apa yang sebenarnya kau lihat di film itu?”
Dayu membuka matanya. “Eh? Dokter ingin tahu apa yang kulihat? Itu adegan film porno.”
        “Ah ya, maksudku apa itu hal yang normal atau mereka memainkan sm yang tidak semua orang bisa mentolerirnya.”
        “Ah,” Dayu mengerti. “Hal biasa. Eh... anal sex.”
        “Baiklah.” Dokter Huang mengalihkan pertanyaan, “Kau bilang kau pacaran dengan Wang Qing. Apakah kau melakukan kontak fisik?”
        “Seperti apa yang dokter maksud?”
        “Apapun yang dilakukan orang pacaran, kau tidak perlu membatasi diri.” Dokter Huang tersenyum sebelum mengingatkan Dayu. “Oh iya, jangan lupa perasaanmu tentangnya.”
        “Ehmm…kami bergandengan tangan. … Aku memeluk dan …mencium pipinya. Aku merasa nyaman seperti dengan keluarga.” Dayu ingin tahu mengapa dokter ini terus-terusan membahas topik yang membuatnya malu. Jika bukan karena rekomendasi Yue Yue pasti dia sudah berpikir dokter ini agak menyimpang.
        “Apa kalian pernah berhubungan intim?” dokter Huang langsung ke bagian sensitif. Dia masih harus mengali informasi apakah Dayu selain bermasalah dengan komitmen juga mengalami masalah dalam hubungan badan.  
        “Tidak pernah.”
        “Jadi sampai sejauh mana?”
        “Kami berciuman satu kali.”
        “Ciuman yang dalam seperti layaknya orang dewasa?”
        “Ya.” Dayu merah padam. Dia berharap dokter Huang mengubah materi pertanyaannya. 
        “Apa yang kau rasakan?”
        “Marah, juga pusing dan gelap.”
        “Kenapa kau marah?”
        “Saat itu kami sedang bertengkar dan itu ciuman yang dipaksakan.”
        “Kau bilang pusing tadi dan gelap. Apa sama dengan yang kau rasakan saat menonton film itu?”
        Dayu menggigit bibirnya saat mengingat kembali ciumannya di depan club dan kejadian di apartemen, dia mulai merasa dingin. “Mirip tapi tidak sama.”
        “Berapa lama kalian pacaran?”
        “Kurang lebih empat bulan?” Dayu mengira-ngira.
        Dokter Huang ingin meringankan suasana, dia bisa melihat setiap kali Dayu mengingat film itu dia diserang rasa ngeri. “Kurasa kau banyak memberi pacarmu cobaan. Kalian dua orang dewasa, pacaran empat bulan namun belum melakukan apa-apa.”
        Yue Yue yang sedari tadi diam berkata. “Jangan samakan denganmu yang baru seminggu sudah mau a sampai z.” Yue Yue tersenyum kecil, pura-pura berbisik pada Dayu, “Dia ini mantan pacarku.”
        “Hah? Benarkah?” Dayu terkejut dengan informasi itu.
        Dokter Huang ikut tersenyum. “Ah, aku lupa kalau ada ex di sini.” Dia tahu maksud Yue Yue dan tujuannya sama. “Yue Yue jangan membocorkan hal yang tidak penting. Itu bisa mempengaruhi perhargaan kepadaku di mata Dayu. Aku ingin dia menganggapku hebat. Dokter keren yang bisa diandalkan.”
        “Hah kau gila hormat.” Yue Yue mencibir.
        Dayu tersenyum mendengar dua orang ini bercanda, perasaannya kembali relaks.
        “Sekarang balik ke persoalan kita.” Dokter Huang merasa ini bagian yang sangat penting. Dia akan menemukan banyak petunjuk di sini. “Aku ingin kita membicarakan tentang hari itu saat nenekmu mengatakan kau harus menikah dengan seorang pria. Kau sudah menceritakan seperti apa, namun aku ingin tahu apa yang kau pikirkan?”
        Dayu mengingat-ingat. “Waktu itu aku masih kecil. Aku rasa aku tidak mengerti.”
        Ah, dia menutup dirinya tidak ingin berpendapat, pikir dokter Huang. “Apa kau masih ingat bagaimana reaksi orang-orang di sekitarmu?”
        “Ehmmm… mama sangat marah, baba terkejut namun menahan dirinya, dan kakak seperti biasa tidak peduli.”
        “Sekarang apa yang kau rasakan?” dokter Huang mengulang kembali pertanyaannya.
        Dayu mengerutkan kening berusaha mengingat kembali, “Kurasa aku tidak mengerti.”
        “Berapa usiamu saat itu?”
        “Dua belas…. Aku ingat berapa hari lagi tahun baru. Uh itu tahun baru yang paling kelam di keluarga kami. Meskipun banyak makanan tapi tidak ada kegembiraan.”
        “Apa kau ingat yang kau lakukan sehari sebelum kejadian?”
        “Ehmmm,” Dayu mengerucutkan bibirnya. “Baba mengantar aku dan kakak menggunting rambut dalam rangka ritual tahun baru. Seperti biasa baba bercanda, kita tidak boleh membuat paman sakit karena mencukur rambut setelah tahun baru. Setelah dari situ kami bermain ke rumah teman kakak.”
        Dokter Huang takjub dengan ingatan Dayu. Ingatannya sangat jelas dan dia bicara tanpa ragu. Terlihat sekali kejadian itu sangat penting baginya. Begitu banyak tahun baru yang dilewati di masa muda dan itu bertahun-tahun yang lalu, kita tidak akan bisa mengingat semuanya kecuali ada yang sangat istimewa yang terjadi.
        Yang tidak diingat Dayu, dokter Huang menambahkan catatannya, adalah perasaan dan pikirannya. Padahal dua belas usia yang cukup untuk memahami pembicaraan orang.
        “Apa kau mengalami perubahan setelah mendengar keinginan nenekmu?” Dokter Huang bertanya.
        “Aku sering mimpi buruk sejak nenek mengatakan kalau aku harus menikah dengan pria. Aku begitu ketakutan di mimpi itu, dan melihat seorang pria dengan wajah yang tidak jelas berusaha mencium dan menggerayangi tubuhku. Aku ingin bangun dan menjerit namun tidak sanggup bangun. Seperti ada yang menghimpit. Sampai sekarang kadang-kadang aku masih memimpikannya dan makin parah sejak melihat video itu.”    Dayu mencubiti bibirnya, “Kurasa nenek membuatku takut.”
        Ah, akhirnya dia mengatakannya pikir dokter Huang yang melanjutkan pertanyaan. “Kau bertambah takut?”
        “Selalu. Setiap aku mengingat potongan film itu, ada sesuatu yang menyeramkan tapi tidak aku mengerti.” Dayu menghela nafas, “Karena mimpi-mimpi itu aku menjadi sulit tidur atau bisa dibilang takut tidur. Dan sekarang entah mengapa aku merasa harus terus waspada terhadap sekitarku, seperti ada yang mengancam, seperti ada yang mengawasi.”
        Dokter Huang mengangguk. Dia sudah menarik kesimpulannya. Dia menatap pria muda yang duduk di depannya yang memandangnya dengan mata bening yang menjadi daya tarik luar biasa di wajahnya. Mata itu begitu kuat mengekpresikan diri walau tanpa bicara. Ketidakberdayaan, putus asa untuk mengerti dan terbebas dari bayangan masa lalu yang muncul kembali ke permukaan yang tadinya mengendap dalam alam bawah sadarnya yang paling dalam.
        Dokter Huang berkata, “Dayu kurasa kau bukannya homophobia.”
        “Kalau begitu apa?” tanya Dayu.
        “Kau kehilangan ingatan.”
        “Eh? Amnesia?” Dayu terkejut dia tidak mengira dan tidak percaya kalau dia mengalami amnesia. “Dokter apakah kau yakin? Tidak sedang main-main?”

                                                                     ☆—☆—☆

Qingyu fanficTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang