BAGIAN 22

798 80 2
                                    

        Dayu menjulurkan tangannya tinggi-tinggi. Dia memutar tubuhnya ke kanan dan ke kiri sambil menggoyang-goyang kaki, melemaskan otot-otot yang kaku. Selagi dia menunduk dan mendongak, Xiaoshuai mengeluh.
        “Aku sudah tidak sanggup lagi. Aku bosan.” Xiaoshuai berdiri dari kursinya. Dia menutup laptop di meja belajar. “Bagaimana kalau kita main sebentar. Tampang kita sudah seperti kol yang kelamaan direbus, pucat dan layu.”
        Guo Cheng Yu yang meja belajarnya bersebelahan dengan Xiaoshuai memundurkan kursi. Dia juga capek terus-terusan membaca. “Bagaimana kalau kita nonton?” usulnya.
Sebelum Dayu menjawab, Xiaoshuai menyambar. “Dayu pasti tidak mau ikut. Dia pasti tidak punya uang.”
        “Hai, apa yang sedang kalian lakukan?” Fang Xin muncul di depan pintu. Dia berjalan masuk, terlihat segar dan riang.
        “Sialan, mengapa kau masih bertanya? Tidak kau lihat kami semua berkutat kesulitan menulis sebaris dua baris pikiran yang menunjukkan keintelekualan..,” jawab Cheng Yu terdengar kasar namun senyumnya mengembang menyambut temannya yang datang.
        Xiaoshuai bersamaan dengan Cheng Yu berkata hangat. “Kau menghilang tanpa memberi kabar. Kemana saja?”
        “Kami merindukanmu.” Dayu meringkas kedua temannya. Mereka semua gembira, saat Fang Xin datang biasanya kebosanan lenyap. Fang Xin paling kreatif merencanakan sesuatu yang menghibur.
        “Sorry aku sibuk dan sekarang tidak pernah ke asrama atau kampus lagi.” Fang Xin memberitahu. “Aku pulang ke rumah.” Dia tersenyum lebar, seperti teman-temannya, dia juga merindukan mereka.
        Dari semua orang yang sedang berjuang menyelesaikan tahun terakhir, Fang Xin yang paling gampang menjalaninya. Dia tidak perlu memikirkan thesis karena ada yang mengerjakan (dia punya uang untuk membayar orang dan tidak pernah mau repot dengan urusan kejujuran). Masa depannya jelas cemerlang di dunia entertaiment. Wajah tampannya modal utama. Meski buta nada saat bernyanyi dan aktingnya tidak begitu bagus sedikit kaku, namun Fang Xin yang kaya raya punya banyak kenalan yang akan membantunya saat dia debut sebagai idol. Sudah bisa dipastikan dalam waktu singkat dia akan mendulang banyak penggemar wanita yang memujanya sebagai pangeran impian dan bersedia bekerja keras mensupport apapun yang dilakukannya bukan karena Fang Xin berbakat tapi karena bermimpi menjadi istri atau kekasihnya. Orang seperti Fang Xin contoh ketidak adilan dunia saat dia lebih mendapat perhatian dan mengalahkan orang-orang yang punya kemampuan dan kecakapan baik berasal dari anugerah Tuhan ataupun hasil kerja luar biasa keras, penuh keringat dan air mata.
        “Oh ya,” kata Fang Xin menarik kertas terlipat dari saku celana. “Kalian mau ikut audisi?” Seperti biasa Fang Xin selalu memikirkan teman-temannya.
        Dayu yang meja belajarnya ada di sisi lain menghampiri Xiaoshuai dan Cheng Yu yang sedang membaca tulisan tangan di kertas tersebut. Saat Dayu mendekat, Xiaoshuai memberikan kertas itu padanya.
        Dayu terkejut. “Dari mana kau dapat ini? Ini teater besar, mereka selalu rutin mengadakan pertunjukan di Beijing dan beberapa kota lain. Kadang-kadang mengundang aktris atau aktor ternama sebagai permeran utama, meskipun anggota teater mereka sendiri juga terkenal dan banyak fans-nya.”
        “Kenalanku anggota teater ini,” jawab Fang Xin. “Mereka melakukan audisi terbatas yang tidak diumumkan terbuka karena hanya perlu beberapa pemeran tambahan untuk pertunjukan baru mereka.”
        Dayu memandang Fang Xin kagum. Fang Xin seperti kaki gurita, kenalannya ada dimana-mana. “Kau tidak ikut?” tanya Dayu.
        “Aku sudah ada job. Semacam variety show di tv.”
        “Wah hebat, apa nama programnya?” Xiaoshuai semangat.
        “Masih rahasia tapi aku akan memberitahu kalian untuk nonton jika waktunya tiba.”
        “Oh, kami pasti nonton,” janji teman-temannya bersamaan.
        “Bagaimana denganmu Xiaoshuai kau mau ikut audisi? Cheng Yu?” Dayu bertanya sementara memutuskan dia pasti tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
        “Aku akan melamar di perusahaan penerbitan tempat aku selama ini freelance.” Xiaoshuai menggeleng. “Hanya formalitas, karena editorku sudah menjanjikan pekerjaan untukku.”
        “Yah,” Dayu bertanya sesuatu yang sudah dia ketahui. Dari dulu Xiaoshuai senang menulis. Meski begitu Dayu tetap berharap siapa tahu melihat teater yang terkenal Xiaoshuai bisa berubah pikiran. Bagi Dayu memiliki teman seperjuangan lebih menyenangkan dari pada berjalan sendirian. Dayu mengalihkan pandangan pada Guo Cheng Yu.
        “Menarik,” Guo Cheng Yu memandangi selebaran itu. Dia sama seperti Dayu mencintai seni peran dan bercita-cita menjadi aktor. “Sayangnya di Beijing.”
        “Kau jadi pulang betulan setelah lulus?” tanya Fang Xin pada Cheng Yu. Dia sudah agak lama menghilang dan tidak begitu tahu kabar terakhir.
        Temannya itu mengangguk dan suasana langsung agak muram membayangkan mereka semua terpisah-pisah oleh jarak dan kesibukan masing-masing.
        “Hei, kita masih bisa bertemu kapanpun kita mau. Cheng Yu bisa berkunjung ke Beijing sekali-sekali.” Xiaoshuai melingkarkan tangannya di bahu Guo Cheng Yu.
        “Betul juga. Bagaimana kalau kita janji untuk bertemu sebulan sekali,” usul Dayu  merasa akan jadi yang paling kesepian saat mereka tercerai berai. Dia tidak punya keluarga dekat di Beijing, selama ini teman-temannya yang menjadi pengganti keluarganya.
        “Aku setuju,” kata Xiaoshuai, “ Bahkan jika kau mengajakku seminggu sekali aku tidak keberatan.”
        “Kita lihat saja,” kata Fang Xin yakin pasti sulit mengatur waktu. “Sebaiknya disesuaikan dengan saat luang dan kesepakatan nantinya.”
        “Hah, Fang Xin kelihatannya bakal sibuk,” goda Guo Chen Yu, “Jika kau sudah ngetop jangan lupakan kami.”
        “Mana mungkin aku bisa melupakan kalian.” Fang Xin meninju lengan Cheng Yu pelan. “Kita saudara kan?”
        “Ah, aku tahu sekarang.” Xiaoshuai menepuk tangan. “Bagaimana kalau kita main basket?”
        “Oke.” Dayu langsung setuju. “Ajak yang lain biar ramai.”
        Teman-temannya mengangguk. Xiaoshuai membuka hpnya mengirim pesan pada Li Wang, bertanya, “Dimana?”
        “Lapangan basket fakultas,” jawab Fang Xin cepat. Dia juga sibuk mengetik menghubungi kenalannya yang bejibun sambil bicara. “Aku akan menyuruh Li Wei membawa perlengkapan amplifiernya dan anak-anak seangkatan kita dari jurusan lain yang ingin ikut main. Kita buat pertandingan antar jurusan. Oh ya, cewek-cewek bikin suasana tambah ramai. Dan wajah-wajah cantik, segar, junior baru bisa meluaskan pilihan cinta.”
        “Oi oi. Kau sudah punya pacar? Apa kau ingin putus?” Dayu mengingatkan.
        “Bukan buat aku. Tapi buat senior tua yang tidak laku macam Cheng Yu dan Xuaoshuai yang sudah lama single. Siapa tahu bisa ketemu jodohnya.” Fang Xin berjalan memimpin sambil tetap menunduk mengirim pesan di beberapa grup chat fakultas. “Ayo kita bersenang-senang melupakan semuanya.”

Qingyu fanficTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang