Dewa Dewi yang ada di langit dan bumi, guru-guru dan leluhur, mohon cabut kutukan ini. Aku sama sekali tidak berniat jahat kepadanya, aku berjanji tidak akan menyakitinya, mohon jangan membuatnya selalu menjadi penyebab kesulitanku. Ya ya tadi aku memang sudah bersuka ria dengan uangnya tapi itu bukan kemauanku. Aku ingin membayar bagianku tapi dia tidak bersedia. Ya ya tadi aku egois dan meninggalkannya tapi dia bilang dia senang….
“Hei apa yang kau lakukan di situ.” Xiaoshuai yang baru masuk kamar terkejut melihat Dayu membungkuk di depan meja belajar. Di atas meja ada sepiring makanan kecil sebagai sesaji. Di kamar mereka tidak ada altar atau patung dewa, tapi Dayu yakin dewa selalu ada, dimanapun dan kapanpun, dia bisa memohon ketentraman dan perlindungan.
Dayu memutar tubuhnya, “Xiaoshuai kurasa aku harus ke kuil membakar dupa dan berdoa.”
“Kenapa?”
”Baju-bajuku hilang semua...” penjelasan yang tidak nyambung.
“Hah? Asrama kita dibobol maling?” Xiaoshuai bergerak ke lemari bajunya. “Tidak ada yang hilang.”
“Baju-bajuku di ruang cucian….”
“Ah maling yang sial. Bajumu tidak akan laku dijual di pasar loak. Semua barang palsu. Ku kira malingnya tidak pro, membahayakan diri untuk hal sia-sia...”
Dayu mengambil bantal kursi kecil dan melemparnya mengenai kepala Xiaoshuai. “Kau tidak kasihan kepadaku?”
“Tentu bodoh.” Xiaoshuai melotot, menggosok-gosok kepalanya berlebihan seakan-akan bantal empuk itu bata keras yang menyakiti kepalanya.
“Tidak ada yang melihat baju-baju itu.” Li Wang yang baru masuk ke kamar bersama Guo Cheng Yu mengumumkan. “Aku sudah bertanya pada pengurus asrama dan mencari siapa yang menggunakan mesin cuci setelah Dayu. Tapi karena ini hari minggu pengurus pulang ke rumah jadi tidak ada yang mengawasi ruang cuci.”
Dayu putus asa, “Aku tadi juga sudah berkeliling ke kamar-kamar bertanya kemana-mana tidak ada yang melihatnya. Seseorang pasti sudah mengeluarkan baju itu dari mesin cuci dan meletakkannya sembarangan.” Dayu sedih teringat ada beberapa baju yang masih tergolong baru di cucian yang hilang itu.
“Kenapa kau tidak menitipkan cucian itu kepadaku?” Xiaoshuai kini mengerti apa yang terjadi.
“Aku terburu-buru….” Dayu mendelik pada Xiaoshuai. “Meskipun barang palsu, tetap butuh uang.”
Sahabatnya itu berdiri di sampingnya dan menepuk-nepuk punggung menghiburnya. “Ya ya kau sungguh malang.”
Dayu teringat sesuatu, bertanya galak. “Kapan aku bilang kalau aku suka pergi ke taman bermain?”
Xiaoshuai sejenak tak mengerti tapi kemudian dengan bergairah bertanya, “Oh jadi hari ini kau pergi ke sana? Apa kau senang?”
Tentu dia senang sampai dia mengetahui kalau pakaiannya hilang.
Dayu cemberut, “Aku tidak pernah bilang.”
“Eh kau pernah bilang. Sewaktu kita baru masuk kau bilang ingin pergi ke Happy Valley tapi kemudian tidak jadi karena memikirkan uangnya.”
Dayu kini ingat ketika dia baru datang ke Beijing dia memang ingin mengunjungi tempat itu. Tapi itu sudah lama dan dia melupakannya karena sikap hidup irit dan ekonomis. Dia tidak tahu kalau Xiaoshuai masih mengingatnya.
“Bagaimana kau senang? Akhir-akhir ini kau sangat pelit tapi karena sekarang kau punya teman kaya yang siap mewujudkan semua impianmu, yah kau bisa sedikit menikmati hidup. He he he kau harus berterima kasih pada ibu perimu.”
Dayu putus asa. “Xiaoshuai, jika kau sungguh ingin aku menikmati hidup, tolong jaga mulutmu.” Dayu kini tahu orang yang membuat hidupnya ruwet bukan hanya laki-laki itu, tapi juga sahabat paling dekatnya. Sepertinya mereka berdua berlomba memperkeruh hidupnya.
☆—☆—☆Dayu menyandarkan kepala di lengan. Dia tidur-tiduran di atas meja perpustakaan.
“Sungguh kau tidak ingin makan siang?” bisik Wang Qing sepelan mungkin tidak ingin menimbulkan keributan.
Dayu melambaikan tangan memberi tanda tidak dengan malas. Hari ini dia sedang tidak punya nafsu makan. Setiap kali mengingat bajunya yang hilang dan dia harus berbelanja baju baru yang berarti memboroskan uang simpanan, dia sungguh bad mood. Dia tidak bisa meminta uang pada orang tuanya. Meskipun keluarganya hidup lumayan makmur tapi dia merasa beban keluarganya sudah cukup besar. Biaya sekolah dan asrama, biaya hidup sehari-hari, dia tidak ingin menambahi beban pengeluaran. Dan sekarang karena dia sibuk dengan final stagenya dia tidak bisa ikut pementasan teater komersil yang bisa memberinya sedikit tambahan uang saku.
“Kenapa kau tampak sedih?” bisik Wang Qing lagi.
Dayu memandangi laki-laki di sebelahnya dengan kesal. Dulu kapanpun perasaanya menjadi buruk dan tidak ingin bicara pada siapapun dia selalu pergi ke perpustakaan. Teman-temannya tidak bisa mengajaknya bicara di tempat yang bunyi sehelai kertas jatuh saja bisa menarik perhatian dan lirikan tidak senang. Di sini dia bisa menikmati kesendirian tanpa gangguan. Namun sejak dia memiliki pengikut setia yang mengekornya kemana-mana Dayu tidak menemukan ketenangan itu lagi.
“Bajuku kemarin hilang.” Dayu menjawab karena tahu kalau Wang Qing akan terus bertanya sampai menerima jawaban.
“Bagaimana bisa hilang?”
“Kemarin aku mencuci dan meninggalkannya saat masih di mesin, lupa menitipkannya pada teman. Saat aku pulang baju-baju itu sudah tidak ada. Semalam kami mencari tapi tidak ada yang melihatnya.”
“Pasti ada yang memindahkannya tapi tidak mau mengaku.”
“Sudah pasti.” Dayu mengangguk.
“Aku bisa membantu menanyakannya pada penghuni asrama.” Wang Qing seperti biasa mengajukan diri memberi pertolongan.
Dayu bisa membayangkan Wang Qing menendangi pintu-pintu kamar menakuti seisi asrama. “Katakan dimana kau menyembunyikan baju Dayu?” Dia mencengkram kerah mangsanya yang ketakutan, yang berusaha mengatakan kalau dia tidak tahu namun hanya sanggup megap-megap. Dayu menyembunyikan muka di lengannya, uh dia terlalu banyak nonton film gangster keluhnya. Sejak ‘berteman’ dengan Wang Qing Dayu tidak mengerti mengapa anak itu bisa ditakuti di sekolah.
“Bukankah sudah kukatakan kami sudah mencari. Tidak akan ada bedanya,” tolaknya.
Dayu mengambil buku yang sedari tadi tergeletak tak dibaca. Mengembalikannya ke rak sebelum keluar. Dia tidak ingin menggangu orang-orang yang ingin membaca atau belajar. Suara mereka terutama Wang Qing makin lama makin keras. Meskipun tidak ada yang berani melirik tajam Dayu tahu diri karena dia termasuk yang senang bersembunyi di perpustakaan saat mengharapkan kesendirian.
“Eh, Dayu,” Wang Qing yang berjalan di sebelahnya mendapat ide. “Latihan soremu masih lama kan? Temani aku berbelanja sebentar.”
Dayu mengangguk, dia sedang tidak punya kerjaan. Ketenangannya sudah jadi impian yang tak akan bisa terpenuhi, jadi kenapa tidak melakukan hal lain yang mungkin bisa menghiburnya. Mereka berjalan kaki ke halte dan naik bus ke mall terdekat.
“Apa yang ingin kau beli?” tanya Dayu.
“Aku perlu beberapa pakaian,” kata Wang Qing.
“Hem…” Dayu memutuskan untuk ikut melihat-lihat dan mungkin berbelanja juga jika ada yang bagus dan murah. Sebetulnya dia sudah berjanji dengan Xuaoshuai untuk ke pasar hari sabtu depan (Xiaoshuai sangat pandai menaklukan hati bibi-bibi penjual hingga mereka memberikan diskon yang banyak). Namun dalaman baru termasuk prioritas utama, karena celana dalamnya ikut hilang kini dia harus mencuci setiap hari, merepotkan. Dayu berharap bisa membeli beberapa siang ini.
Mereka masuk ke toko pertama yang menjual baju casual bermerek. Wang Qing mencari-cari di rak dan Dayu mengikuti. Ada baju kaos yang menarik hatinya. Dia mengecek harga dan mengembalikannya ke gantungan. Dengan uang sebanyak itu dia bisa membeli semua barangnya yang hilang.
Karena di toko pertama tidak ada yang menarik hati Wang Qing, mereka beralih ke toko berikutnya lalu toko berikutnya lagi terus seperti itu. Di toko-toko tersebut Dayu sudah tidak berminat melihat-lihat dia langsung tahu levelnya jelas jauh berbeda, jadi dia hanya menonton Wang Qing yang mencari-cari baju. Dayu teringat saat menemani teman wanita berbelanja, kesana kemari berpindah-pindah untuk sepotong gaun terbaik?
Mereka sekarang sudah berada di toko ke lima. Di sini Dayu duduk sambil membuka-buka katalog yang disediakan toko. Dia berpikir seandainya nanti dia sukses dan banyak uang, jika dia bisa mewujudkan mimpinya menjadi seorang aktor terkenal apakah dia juga akan berbelanja barang-barang bermerek seperti ini. Dayu memutuskan iya jika untuk penampilan publik tapi jika di rumah dia tetap lebih suka kesederhanaan.
Dayu membayangkan hidupnya yang mandiri setelah tamat kuliah. Dia mungkin harus kerja freelance untuk menyokong biaya hidup, sambil melakukan audisi di sana-sini. Biaya sewa kamar, biaya makan, transfortasi, dan lain-lain. Alangkah baiknya jika dia bisa menemukan teman sekamar. Xiaoshuai kelihatannya akan bergabung dengan kakak perempuannya yang sudah menikah. Li Wang sudah pasti pulang ke rumah orang tua dan Guo Cheng Yu kemungkinan besar kembali ke daerah asalnya. Dayu merasa sedih membayangkan itu semua. Dia merasa suram saat memikirkan masa depannya yang masih tidak menentu. Jalan hidup yang dipilihnya sungguh berat dan berliku.
“Dayu bagaimana menurutmu baju ini.” Wang Qing memamerkan kemeja di tangan kanan dan celana panjang di tangan kiri.
Ah, pikir Dayu dia sungguh mirip perempuan. “Bagus.” Dayu memuji sepenuh hati.
Pramuniaga yang berdiri di belakang Wang Qing berkomentar, “Baju ini model terbaru. Hari ini baru masuk ke toko.”
Wang Qing senang. “Kurasa ini sangat cocok untukmu. Ayo kita coba.”
Dayu menggeleng, “Aku tidak punya uang.”
“Tidak apa ayolah,” bujuk Wang Qing. “Aku akan membelikannya untukmu.”
“Tidak usah,” tolak Dayu halus. Dia bercanda menutupi perasaan yang mulai terusik, “Aku tidak sedang ulang tahun jadi kau tidak perlu memberiku hadiah.”
“Oh ayolah, tidak perlu menunggu ulang tahun untuk memberi hadiah.”
Wajah Dayu menggelap dia bangkit dari duduknya dan berjalan meninggalkan Wang Qing.
“Dayu?” panggil Wang Qing. Ketika Dayu tidak menggubris panggilannya dan berjalan cepat, Wang Qing mengembalikan pakaian itu ke pramuniaga toko. “Maaf,” katanya buru-buru mengejar Dayu.
“Dayu?”
Dayu diam saja hanya wajahnya yang menunjukkan kalau dia marah. Jalannya makin cepat, seperti ingin meninggalkan Wang Qing. Tapi kakinya yang lebih pendek kalah, dengan mudah Wang Qing menjajarinya.
“Dayu…” Wang Qing menyentuh pelan tangan Dayu.
Walau Dayu tidak suka bertengkar di jalan dan jadi tontonan publik, dia tetap mengibaskan tangan Wang Qing kasar.
“Maaf jika aku membuatmu marah. Aku tidak berniat buruk hanya …..”
“Kau selalu merendahkanku. Meskipun aku tidak punya apa-apa aku bisa mengurus diriku sendiri. Kapan aku memintamu membelikan pakaian?” desis Dayu sambil tetap tidak mengurangi kecepatannya.
“Dayu tunggu dulu, Dayu…” Wang Qing memegangi tangannya. “Aku tidak bermaksud merendahkanmu. Aku hanya ingin menunjukkan perhatian.….”
“Ah, aku tahu apa yang ada di kepalamu. Kau pasti berpikir aku sangat senang menerima pemberianmu dan berharap aku membalasnya dengan sesuatu, seperti … seperti perempuan murahan.” Dayu terbakar amarah.
“Dayu kau salah aku tidak menginginkan apa-apa darimu…”
Dayu tidak memberi Wang Qing kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya, “Aah, atau kau ingin membeli cintaku? Kau tahu cintaku tidak bisa kau beli dengan uang. Itu bagian dari perasaanku. Meskipun kau meletakkan segunung uang di hadapanku aku tidak akan tergerak.”
Wang Qing terdiam, berhenti melangkah, berhenti mengejar dan membiarkan Dayu berlalu. Dia menunduk. “Dayu, sungguh. Aku tidak menginginkan apa-apa darimu hanya izin untuk mencintaimu. Kau tidak perlu membalasnya bahkan jika kau tidak mencintaku juga tidak apa. Asalkan kau izinkan aku selalu di sampingmu, itu sudah cukup bagiku.”
Dayu naik bus yang kini penuh sesak karena sudah jam pulang kantor. Dia tadi berputar-putar tidak karuan membiarkan kaki menentukan arah membawanya ke tujuan yang tidak jelas (kebiasaannya jika dia sangat marah atau bingung). Kaki yang letih sering kali menjernihkan pikirannya, seperti sekarang.
Akhir-akhir ini hidupnya penuh masalah. Dia kerap menyalahkan orang lain tapi dia inti dari semua itu. Dia menyeret Wang Qing dalam kekacauan yang dibuatnya. Melukainya karena ketidakmampuannya.
Selama ini kisah cintanya selalu berakhir karena hubungan yang dijalinnya selalu menjadi dingin kemudian suatu hari mereka sepakat menyudahinya dan memutuskan lebih baik berteman saja. Dia selalu menganggap hal itu terjadi karena dia tidak merasakan cinta tapi sekarang dia sadar kalau sesungguhnya dia tidak pernah berusaha. Cinta berarti dua arah, cinta memberi dan menerima. Bagaimana cinta bisa berkembang jika kau tidak pernah berkorban, bagaimana hati bisa tergerak jika kau buta, tuli dan mati rasa.
Kini dia bisa melihat apa yang Wang Qing lakukan. Hal yang kerap membuatnya curiga, merasa tidak seimbang adalah karena Wang Qing seorang pria. Perhatian yang diberikannya, kasih sayang yang ditunjukkannya, menyakiti dan menjadi beban karena dia tidak terbiasa dengan semua itu.
Seumur hidupnya dia diajarkan untuk bertanggung jawab atas pribadinya dan suatu saat keluarganya. Bahwa harga dirinya tergantung pada usahanya sendiri, berarti kerja keras, berarti kemandirian, tidak manja, tidak cengeng, tidak bergantung pada siapapun. Itu adalah kebanggaannya sebagai seorang pria.
Dia bukan gay, pikir Dayu. Dia tidak tahu apakah dalam hubungan antara sesama pria ada kesetaraan tapi saat ini dia merasa di posisi yang lemah seperti perempuan dan dia sangat tidak menyukainya.
Ini tidak akan berhasil. Bahkan jauh lebih sulit dari semua kisah lamanya bukan semata karena dia egois, mengutamakan pendapatnya sendiri, dan tidak memperdulikan perasaan pasangannya seperti yang selama ini terjadi. Apa yang dilakukan Wang Qing dengan setulus hati karena perasaan cinta, akan selalu berbenturan dengan prinsipnya dan menjadi bumerang yang memukul balik.
Aku harus mengakhiri ini, pikir Dayu, harus mengakhirinya karena tidak ingin melukai lebih lama lagi, lebih banyak lagi.
Dayu turun dari bus berjalan ke apartemen Wang Qing. Dia punya akses masuk ke apartemen itu, namun setelah memastikan Wang Qing belum pulang dia memilih menunggu di luar, duduk bersandar di pintu memeluk lutut dengan kedua tangan dan membaringkan kepala ke lengannya. Dayu tidak menghitung jam yang telah dilaluinya menunggu, yang pasti dia melewatkan latihan dan kemudian jam malam. Dia juga tidak memperdulikan penghuni apartemen lain yang melewatinya memandang dengan curiga.
“Dayu.”
Seseorang berdiri di depannya, membuatnya mendongak.
“Aku menunggumu di asrama ….”
Hatinya sakit. Dia tidak merasakan kaki yang kaku dan kesemutan karena terlalu lama tidak bergerak. Dia bersandar ke pintu berusaha berdiri dengan berpegangan pada gagang pintu dan kemudian memeluk pria yang ada di hadapannya. Seribu kata yang ingin diucapkannya, seribu alasan yang ingin dimengerti, seribu penjelasan dengan akal sehat, menghilang menguap saat memandang wajah lelah itu menatap sabar dan sayang kepadanya.
“Maaf …. maaf….maaf. Maaf aku selalu melukaimu.”☆—☆—☆
KAMU SEDANG MEMBACA
Qingyu fanfic
FanfictionDalam hidup ini, hanya perlu waktu sekejap untuk jatuh cinta, namun apakah itu cinta sejati perlu waktu yang sangat panjang untuk membuktikannya. Sepuluh tahun, dua puluh tahun, tiga puluh tahun hanya hitungan sementara karena batas sebenarnya ada d...